× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#HUMANIORA

Virus Corona, Manusia Bisa Menghindari Kematian?

Virus corona mengubah cara pendang akan kematian.

Metafisikawan
Virus Corona, Manusia Bisa Menghindari Kematian?
Pemakaman korban Covid 19. Foto: @BPBD_kabjepara

21/04/2020 · 3 Menit Baca

Seorang sejarawan Israel yang juga profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem, Yuval Noah Harari, kembali mengajukan argumen tentang kehidupan manusia fisik yang diyakininya akan kekal. Argumen tersebut menyikapi wabah virus corona yang saat ini menyerang ke hampir seluruh dunia.

Menurut Harari, virus corona kemungkinan membawa cara pandang manusia di abad modern dalam memaknai kematian secara lebih teknis. Kematian yang selama ini rahasia Tuhan diyakini akan menjadi bernilai di tangan para saintis untuk kepentingan kehidupan umat manusia yang lebih kekal.

Setidaknya itulah padangan Yuval Noah Harari dalam ulasannya menyikapi virus corona yang dipublikasikan di laman The Guardian, 20 April 2020, dengan judul: “Yuval Noah Harari: Will coronavirus change our attitudes to death? Quite the opposite”.

Yuval Noah Harari penulis dua buku best seller Sapiens dan Homo Deus tersebut, di era saat ini terkenal dengan pandangan-pandangannya yang cenderung penganut materialisme dalam filsafat, yang memungkinkan mengarah pada pandangan-pandangan ateisme dalam teologi.

Harari berpandangan bahwa dunia modern dibentuk oleh keyakinan bahwa manusia dapat mengelak dari kematian. Menurutnya, hal itu adalah suatu sikap baru yang revolusioner, meskipun sejarah mencatat bahwa manusia tunduk kepada kematian. Tunduk dalam arti tidak dapat mengelak dan secara pasti akan menjumpai kematian.

Bahkan, kata Harari, agama dan ideologi dalam melihat kematian tidak hanya sebagai sebuah takdir, tetapi sebagai sumber utama makna dalam kehidupan. Kematian dianggap sebagai peristiwa paling penting dari keberadaan manusia setelah embusan napas terakhir. 

Menurut Harari, kalangan agama yakin hanya dengan kematian, rahasia kehidupan akan tersingkap. Karena dengan cara itu manusia mendapatkan keselamatan yang kekal, atau mendapatkan penderitaan yang kekal. 

“Untuk sebagian besar sejarah, pikiran manusia sibuk memberi makna pada kematian, bukan berusaha mengalahkannya,” katanya.

Namun bagi Harari, sejak kedatangan revolusi ilmiah, para ilmuwan meyakini kematian bukanlah keputusan Ilahi. Kematian hanyalah persoalan teknis. Kematian adalah menyangkut kesalahan teknis seperti jantung berhenti memompa darah, kanker yang menghancurkan hati, dan juga virus yang menggerogoti paru-paru. Dan semua persoalan teknis tersebut tidak ada kaitannya dengan hal-hal metafisik.

“Jantung berhenti memompa darah karena tidak cukup oksigen yang mencapai otot jantung. Sel kanker menyebar di hati karena kemungkinan mutasi genetik. Virus menetap di paru-paru saya karena seseorang bersin di bus. Tidak ada yang metafisik tentang itu,” tulisnya.

Dalam keyakinan Harari, sains percaya bahwa bahwa setiap persoalan teknis memiliki solusi teknis. Semuanya persoalan teknis tidak membutuhkan hal-hal yang bersifat metafisis untuk menyelesaikannya.

Bagi seorang Harari, mungkin seraca jelas mutlak menolak sesuatu yang metafisik dan menerima sepenuhnya sesuatu yang fisikal. Pandangan ini cenderung fatalistik. Jika pandangan-pandangan fisik yang diterima Harari secara mutlak bagaimana dengan fenomena ilusi optik, fatamorgana dan fenomena-fenomena lain di luar jangkauan fisik yang terjadi? 

Itu artinya, segala sesuatu yang tidak terjangkau dengan fisik bisa menimbulkan sesuatu yang dianggap nyata secara fisikal, padahal sejatinya tidak nyata secara fisik.

Atau apakah fenomena-fenomena tersebut sebagai sesuatu kesalahan teknis? Apalagi, jika hal-hal fondasi keyakinan fisikal yang belum jelas tersebut bercampur aduk dengan pandangan ideologi dan agama.

Seperti dalam pandangan Harari, bahwa sains percaya setiap persoalan teknis memiliki solusi teknis. Namun, hal itu terlalu sempit jika kematian dimaknai hanya sebagai persoalan teknis. Jika kematian hanya persoalan teknis, salah satu contoh kematian yang seharusnya bisa terjawab dalam sains adalah batas proses kematian seseorang. Dengan kata lain sampai mana tubuh seseorang bisa dikatakan mengalami kematian?

Sains meyakini jika tubuh seseorang yang mengalami kematian sel-sel dalam tubuh tidak langsung mengalami kematian seluruhnya, namun mengalami proses dan tahap. Itu sebabnya, jika seseorang mengalami kematian akibat virus mematikan akan dimakamkan sesuai protokol kesehatan. Petugas yang memakamkan harus menggunakan alat pelindung diri, karena sel-sel yang ada dalam tubuh seseorang yang akan dimakamkan baru akan mati dalam beberapa jam. Infeksi virus tersebut terhenti bersamaan dengan kematian sel-sel yang ada di seluruh bagian tubuh. 

Harari seharusnya dapat mendefinisikan kematian secara fisikal secara jelas guna membangun argumentasi secara jelas sebelum beranjak membangun argumen bahwa kematian merupakan kesalahan teknis. Menganggap metafisik bukan realitas agaknya akan menjadi persoalan bagi para saintis dan ilmuwan. Para filsuf mengingatkan, mereka yang hanya meyakini fisik sebagai realitas satu-satunya akan terjebak pada kerancuan berargumen secara logis, argumentasi tak berujung atau argumentasi yang hanya berputar-putar.

Dalam pandangannya yang lain, menurut Harari, pencapaian penyelesaian persoalan teknis untuk mengekalkan kehidupan manusia, Harari mengajukan sejumlah data yang dijadikan bukti dalam usaha memperpanjang hidup manusia. Menurutnya, selama dua abad terakhir, harapan hidup rata-rata telah melonjak dari di bawah 40 tahun menjadi 72 tahun di seluruh dunia, dan lebih dari 80 tahun di beberapa negara maju. Hingga abad ke-20, setidaknya sepertiga dari anak-anak tidak pernah mencapai usia dewasa akibat disentri, campak dan cacar. Pada abad ke-17 di Inggris, sekitar 150 dari setiap 1.000 bayi baru lahir meninggal di tahun pertama, dan sekitar 700 yang mencapai usia 15 tahun. Kini hanya lima dari 1.000 bayi di Inggris yang meninggal di tahun pertama.

Terkait pergeseran nilai sebuah kematian, menurut Harari, saat pandemi virus corona seperti sekarang, muncul fenomena yang dinilai menggeser kepercayaan masyarakat dari tokoh agama kepada ilmuwan. Untuk keberlangsungan hidup manusia dan terhindar dari virus. Pahlawan saat ini adalah petugas medis yang menyelamatkan jiwa.

Pahlawan super pada saat ini adalah para ilmuwan di laboratorium. Mungkin dalam waktu satu tahun ke depan orang-orang di laboratorium akan lebih efektif menangani virus corona karena telah menemukan vaksin.

Menurut Hariri, kecenderungan sikap manusia terhadap kematian hari ini adalah sebagai kegagalan manusia yang dapat dicegah. Dia juga meyangkal bencana seperti kecelakaan, kebakaran, hingga bencana alam sebagai hukuman Tuhan terhadap manusia.

Anggapan bahwa kepercayaan terhadap agama akan luntur dan manusia lebih mempercayai ilmuwan sepertinya tidak sepenuhnya benar. Pew Research Center di Amerika pernah membuat penelitian tentang perkembangan agama-agama di dunia selama 40 tahun ke depan. 

Dalam kajian tersebut, dua agama yang diprediksi paling banyak pemeluknya adalah Islam dan Kristen. Pada 2050, pemeluk Islam diprediksi akan berkembang pesat menjadi 2,76 miliar. Sementara pemeluk Kristen di tahun itu diperkirakan 2,92 miliar di tahun 2050. Angka tersebut setara dengan hampir 30 persen jumlah populasi dunia. Atau dengan kata lain pada 2050, 6 dari 10 orang di dunia yang akan memeluk agama Islam atau Kristen. 

Kajian yang dilakukan Pew tersebut membutuhkan waktu enam tahun dan mengumpulkan data dari 234 negara yang terdiri dari lima agama yang utama di dunia, Buddha, Kristen, Hindu, Yahudi, dan Islam. Pew mengkaji populasi, tingkat kesuburan, angka kematian, kecenderungan berganti agama.


Share Tulisan Achmad Kirin


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca