× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#RESENSI

Judi dan Belajar Menantang Takdir


Volunteer
Judi dan Belajar Menantang Takdir
Gramedia

12/11/2019 · 5 Menit Baca

Awalnya adalah rolet. Menjadikan Alexis Ivanovitch, lelaki Rusia, bertekuk lutut karena kecanduan bermain. Baginya rolet bukan sekadar judi tapi sebuah dialog yang panjang tentang makna kehidupan. Pemain rolet sejati punya rasa hormat terhadap permainan mereka. Keseriusan dan bahkan kerendahan hati yang mereka punya ditunjukkan ketika berdiri di sekitar meja judi.

Alexis Ivanovitch, sang tokoh utama dalam novel, membuat perbedaan jenis pemain: permainan para lelaki untuk mencari keuntungan dan permainan para Pleb: mengaggap permainan hanya hiburan saja. Sebenarnya perbedaan ini ia simpulkan karena permainan sendirilah yang dengan tidak sengaja menampilkan kedua jenis pemain tersebut.

Para Pleb, yang notabenenya orang sangat kaya dalam permainan, bertaruh lebih karena hanya kecintaannya terhadap judi. Semacam berolahraga, hanya untuk menikmati proses menang atau kalah, dan paling ketusnya lagi, mereka seakan tidak begitu tertarik pada kemenangan. Kemenangan baginya adalah sebuah kebebasan, pun mereka akan melampiaskan hanya dengan tertawa. Mereka juga akan membagikan kemenangannya kepada para penonton atau kembali bertaruh dengan lebih banyak lagi untuk menikmati drama peluang, perhitungan, dan keberuntungan dalam permainan rolet. Atau hanya bermain-main dengan takdir saja.

Pemandangan manusia yang seakan tidak berdosa ini, penuh dengan kewibawaan yang memandang semua pemain sama kayanya dengan dirinya menunjukkan aristrokasi yang sesungguhnya bagi sang tokoh utama.

Bagi seorang aristoktrat, bagaimanapun besarnya kekalahan mereka harus bisa menyembunyikan kekecewaannya dengan senyum bahkan menampakkan keceriaan. Baginya, uang tidak boleh menjadi beban pikiran. Tentu saja hanya rakyat jelata yang terbebani soal itu. Di sini tergambar perbedaan yang jauh antara kaya dan miskin, bangsawan dan jelata. Jarak sosial yang jauh sekali.

Bahkan Fyodor Dostoyevsky mengungkapkan sebuah kalimat yang sarkastik, “bahkan seolah-olah melihat keramaian dan kemiskinan sebagai tontonan yang langka, yang khusus diadakan sebagai hiburan para pria bangsawan.”

Dalam meja judi ada kesenjangan sosial, bahwa seorang bangsawan hanya memandang dengan kacamata hitam. Selain dirinya, semua sama, hanya sebuah tempat menampung hinaan. Dan sang aristokrat akan disambut dan diperlakukan dengan baik.

Alexis Ivanovitch tidak termasuk di dalamnya. Ia hanya bermain untuk orang lain. Dia biasa bermain untuk sang Jendral atau bermain untuk Polina Alexandrovna (seorang yang sangat dicintainya walaupun Polina terlihat hanya memanfaatkan Alexis).

Bermain untuk orang lain sama saja menghancurkan keberuntungan diri sendiri. Perasaan ini yang menyesaki Alexis kala malam itu ia bermain untuk Polina. Ada sebuah sensasi yang tidak mengenakkan. Malam itu ia menang dengan membawa 1600 gulden (mata uang Belanda selama beberapa abad sebelum digantikan dengan euro pada 1 januari 2002). Baginya, seorang pahlawan dikatakan sebagai pahlawan hanya saat membantu orang lain. Dan ada rasa bangga ketika ia berhasil memenangkan permainan untuk orang lain, apalagi untuk Polina.

Menghitung peluang, taruhan, dan kemenangan; dan hilang persis seperti hidup kita yang bermain tanpa perhitungan sama sekali. Seperti menjalani kehidupan yang penuh dengan tafsir terhadap segala gejala-gejala alam maupun sosial, begitu juga dengan rolet yang segala putarannya harus dimakanai bahkan memaksakan jika kemunculan angka atau warna itu terdapat sebuah pola. Pola itu yang para pemain coba baca: mereka biasa menghitung, mencatat, dan menyimpulkan keberuntungan.

Astley menunjukkan sebuah matematik rolet kepada Alexis: setelah belasan angka tengah akan disusul dengan belasan angka luar. Bolanya akan berhenti  dua kali di belasan luar, kemudian akan lolos ke selusin yang pertama, dan begitu lagi. Merah akan bergantian dengan hitam tapi hampir tanpa ada urutan.

Tapi tak ada kepastian di meja rolet. Saat kemunculan seorang nenek berumur tujuh pulu lima tahun , Antonida Vassilievna Tarassevitcha, pemilik tanah dan wanita terhormat dari Moskow, Ibu dari sang Jendral. Kekayaannya dinanti-natikan sang Jendral untuk diwariskan padanya apabila dia mati. Begitulah kemungkinan harapan anaknya. Mula-mula ia hanya menyaksikan permainan rolet dan mendengar penjelasan dari Alexis aturan bermainnya. Ia tertarik, dan memasang taruhan tanpa perhitungan sama sekali dan seperti sudah yakin akan keberuntungan berpihak padanya saat itu.

Si Nenek bertaruh pada angka nol dan selanjutnya warna merah. Keduanya membawa kemenangan baginya. Dengan 4200 gulden yang didapatkan kemudian bertambah lagi dengan dual belas ribu florin, dan sebuah cek. Kemenanganlah yang membuat orang menjadi terus bermain tapi kemenangan tak selamanya datang. Begitulah yang selanjutnya dialami Antonida. Kalah.

Ia menghabiskan kemenangannya yang lalu disebuah permainan yang sama. Begitu terjadi berulang-ulang dalam judi, menang-kalah-menang-kalah-kalah-kalah….

Melalui si nenek, sebenarnya kita bisa melihat sesuatu kemungkinan menang datang dalam judi bukan dari paksaan. Ia sebenarnya seperti anugerah yang datang secara tiba-tiba. Bag ahli nujum, nenek merasa kemenangan bisa didapatkan. Dengan diantar Polina, tanpa Alexis, nenek pergi ke kasino. Ia tidak menyadari bahwa di meja judi juga orang hanya memikirkan kemenangan dan keuntungannya sendiri.

Belum lagi banyak penonton tendang bola, seperti mengetahui sebuah kepastian dalam ketidakmungkinan. Ia menawarkan jasa menerawang kemungkinan pada si nenek yang akhirnya hanya membuat kekalahan telak. Memang judi selalu memunculkan sebuah perasaan untuk mencoba menantang takdir.

Fyodor Dostoyevsky tidak hanya terpaku pada cinta kepada judi. Kurang lengkap memang jika tak ada percintaan di antara para tokoh. Sang Jendral (seorang duda yang berumur lima puluh lima tahun) yang begitu tergila-gila dengan Nona Blance (wanita Prancis berusia dua puluh lima tahun dengan kecantikan yang mempesona, memiliki tubuh yang proporsional).

Alexis yang melakukan apa saja untuk Polina. Dan sebuah cinta membawa seseorang untuk melakukan ketakmungkinan. Kadang hal yang paling gila dan yang paling tidak mungkin tiba-tiba muncul sebagai pemecahan di dalam pikiran seseorang yang percaya. Pada akhirnya bisa menjadi kenyataan. Hipotesa ini juga berlaku sebenarnya di meja judi. Ini sama halnya sebuah kenekatan yang diubah menjadi tekad.

Persis seperti yang dikatakan penulis novel ini, jika keyakinan dan usaha digabungkan dengan kuat, bergairah, dan sungguh-sungguh, hal itu akan dilihat sebagai takdir. Tidak terelakkan, dan telah digariskan.

Lalu kemudian ia melanjutkan dengan sebuah pernyataan apakah hal ini ada kaitannya dengan firasat, besarnya kemauan, atau harapan yang begitu besar. The Gambler memang tidak hanya menyajikan keasikan bermain judi, diluar itu, ada kemasygulan yang hadir dalam setiap tokoh.

Eksistensi tokoh begitu memikat, dengan generalisasi dari Dostoyevsky, misalnya memanggil Astley “si Inggris”, nona Blanche “wanita prancis”, De Griers “si Prancis”. Bentuk generalisasi yang dilakukan misalnya, “jarang berbicara adalah kesopanan alami orang prancis.” Ia berhasil membangun anggapan kita tentang seorang Prancis yang memiliki sifat positif sehari-hari yang menjadikannya orang membosankan. 

Lalu dalam dialog Alexis dan si Prancis, si tokoh utama juga menggambarkan bagaimana pandangan dan cara hidup Barat yang sudah menjadi sejarah, walaupun bukan sesuatu yang besar tentang kemampuannya untuk menampung kekayaan. Dan juga ia mengakui bahwa selalin tidak mampu mengumpulkan harta, orang rusia juga sering bertindak bodoh dan ceroboh. Bagi saya ini berupa humor. Yang tentu saja sebagaimana lelucon pada umumnya menyiratkan sebuah kejujuran.

Sebuah ungkapan yang cukup anarki dari tokoh utama semakin menunjukkan kepiawaian seorang novelis abad 19, Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky dalam menghidupkan karakternya, “dari dulu aku tidak begitu suka jika segala tindakan dan pemikiranku harus dinilai dengan standar moral yang ada. Ada standar lain aku berlakukan sebagai tuntunan hidup.” Kata Alexis Ivanovitch.


Share Tulisan Arief Bobhil


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca