Sie Kong Liang menjadikan rumahnya di jalan Kramat Jaya no. 106 Jakarta sebagai tempat indekos bagi mahasiswa di tahun 1925-an. Awalnya kebanyakan diisi oleh pemuda Jawa yang berkuliah di STOVIA - sekolah pendidikan kedokteran di Hindia Belanda. Setelah 1927 banyak pemuda dari berbagai wilayah yang berkuliah di STOVIA dan RHS (Rechtshoogeschool te Batavia) atau Sekolah Tinggi Hukum Jakarta memilih indekos di rumah itu, termasuk Muhammad Yamin.
Rumah itu kemudian menjadi pusat kegiatan para mahasiswa dan mereka menamakannya sebagai Indonesische Clubgebouw juga biasa disebut Indonesische Clubhuis (IC). Artinya gedung pertemuan. Bangunan itu juga populer dijuluki Langen Siswo. Para pemuda di IC bergerak mendekati basis-basis pergerakan pemuda waktu itu. Misalnya ke gedung milik Husni Thamrin di Gang Kenari dan Gedung Perguruan Rakyat di Salemba. Merekalah yang memprakarsai lahirnya kongres Pemuda II pada 28 oktober 1928.
Dari sinilah Indonesia sebagai bangsa yang plural berkumandang sampai penjuru negeri. Ada tiga poin pemersatu yang mereka rumuskan dengan tiga kata, “tanah air, bangsa, dan bahasa.” Dalam kemajemukan, kita dipersatukan dalam satu wilayah dan budaya. Lalu di mana agama? Gender? Suku? Semuanya itu adalah bahasa. Mungkin bahasa kontemporer.
Tapi ternyata, setelah 90 tahun berlalu, menjaga sumpah pemuda itu rasanya begitu sulit. Manusia kontemporer terlalu sering menggantikan simbol dengan kenyataan. Eric Weiner penulis buku Geography of Faith mengibaratkan kita memasuki restoran mewah, duduk - lalu langsung menyantap daftar menunya bukan makanannya. Karena simbol telah menjadi kebenaran dan sebuah hal tak terbantahkan, asumsi dipaksa menjadi kepastian. Bagi kita dan bagi orang lain. Diskusi berhenti, lupa bahwa setiap orang memiliki referensi yang beragam dan pengalaman yang berbeda. Karena itu setiap orang bisa tak sama menafsirkan sesuatu.
Satu kejadian terjadi di bulan Oktober tahun 2018 tanggal 8. Sebuah tempat bimbingan belajar di desa Cicareuh, kabupaten Sukabumi ditutup. Alasannya hanya karena pemiliknya beragama Kristen.
Kita bisa melihat dari coretan hitam di dinding tempat bimbel itu, "Les punya kristen hentikan."
Oleh Kepala Desa Cicareuh, Ketua BPD, Anggota BPD, Anggota Kapolsek Cikidang, Anggota Koramil Cikidang, Forum Pendidikan Non Formal, Aparat Desa Cicareuh, Ketua RW 05, Tokoh Agama, dan tokoh masyarakat Kp. Sampalan dalam musyawarahnya bersepakat untuk memberhentikan tempat bimbingan belajar itu. Agar keputusan itu bersifat legal, Kepala Desa Cicareuh mengeluarkan surat. Dalihnya tentu agar kondisi lingkungan setempat aman tentram.
Setiap saat gelombang kebencian terhadap yang “berbeda” bisa meninggi kapan saja. Akan terjadi konflik di antara sesama manusia. Terjadi persekusi. Satu dasawarsa lalu kerusuhan di Masohi pecah. Lantas Wilhelmina Holle, seorang guru SD dituduh telah menghina Islam dan Nabi Muhammad. Waktu itu sekira tanggal 10 November 2008 saat memberikan les privat di depan murid-muridnya.
Lantas rumor bahwa Si Guru menghina Islam dan Nabi Muhammad mengakibatkan terjadinya penyerangan dan pembakaran Letwaru. Sebuah desa Kristen yang tersisa dari konflik Maluku.
Dari laporan The Indonesia Legal Resources Center (ILRC) tahun 2012 dengan judul KETIDAKADILAN DALAM BERIMAN: Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia, hal. 41 menuliskan bahwa kerusuhan ini disebabkan oleh selebaran penggalangan tanda tangan dan ajakan demonstrasi yang dilakukan oleh Koordinator Forum komunikasi Islam Maluku Tengah pada waktu itu.
Dua kejadian di atas memiliki rentang waktu yang jauh. Bukan berarti itu menandakan perisitiwa ini jarang terjadi tapi itu menandakan bahwa kasus ini telah terjadi sejak dulu. Kita ingat misalnya kasus HB. Jassin, ada kasus Arswendo, kerusuhan di Situbondo, pengusiran terhadap kelompok Ahmadiyah, dan lain sebagainya.
Kita hidup dalam dunia yang dipenuhi simbol. Simbol dibungkus dalam kata dan makna. Dan kita ada di perantaraan kata-kata dan makna - konsep, yang justru menjebak karena tujuannya sungguh politis. Kita menjadi manusia antara gampang percaya dan diperdaya. Mungkin konsep meragu dalam jurnalistik menjadi satu keyakinan yang harus kita miliki. Bukan meragukan Tuhan dan Agama tapi meragukan laku manusia terhadap keduanya. Teks itu sudah membuktikan bahwa manusia Indonesia (tanpa maksud untuk menggeneralisasi) terjebak dalam pengkultusan simbol.
Jika melihat gejalanya, asumsi saya ialah gelombang peristiwa ini bisa meninggi dan mengecil karena ada yang menggerakkan. Entah siapa, tapi rerata mereka akan cepat-cepat memberi fatwa dengan penilaian macam-macam. Mungkin trendnya sekarang kebanyakan dari kita lebih mendengar apa perintah sang guru agama ketimbang sang Maha. Mungkin jika disuruh meneriakkan kata-kata penghakiman “sesat” atau “kafir”, suara kitalah yang paling mentereng. Sementara teriakan itu pertama kali berdengung di telinga sendiri. Dan bisa saja merefleksikan diri sendiri.
“Hanya manusia sama manusianya,” Kata FSTVLST, satu band rock dari Jogja. Masing-masing dari kita adalah sebuah makhluk dari susunan jaringan. Jaringan dibentuk oleh sel yang banyak jumlahnya. Sel dapat diuraikan lagi menjadi beberapa komponen. Dalam sel manusia terdapat kromosom, dan di dalam kromosom ada DNA, DNA adalah susunan gen dan gen adalah susunan asam nukleat dengan urutan tertentu. Hanya itu. Selebihnya kita cari sisanya, apakah anda memilih baik atau jahat.
Di atas hanya sebuah fragmen kecil dari sekelumit isu keberagaman dan kesetaraan. Sering orang sebut sebagai problem identitas: di mana yang banyak cenderung bersewenang-wenang terhadap kelompok yang sedikit.
‘Identitas’ bisa menjadi satu bahasa untuk memperjuangkan kesetaraan dan keberagaman. Karena identitas menurut Hannah Arendt adalah bentukan atau hasil dari relasi-relasi dalam ruang publik. Misalnya kesiapaan itu baru tersingkap ketika berada di ruang publik. Karena itu problem kesetaraan dan keberagaman harus diperjuangkan dengan moral publik.
Tujuannya tidak dimaksudkan untuk menguatkan satu identitas terhadap identitas lain. Itu sama saja melahirkan persekutor baru. Tapi yang ingin dicapai adalah terlindunginya kebebasan satu identitas terhadap yang lain. Kebebasan yang dimaksud adalah “merdeka”. Hanya kata ini satu-satunya yang bisa mewakili sebuah perjuangan atas keseteraan dan keberagaman.
Seperti hari pertama Kongres Pemuda II, kata yang mereka dengungkan saat itu adalah “Merdeka” dan berulangkali dikumandangkan. Sampai-sampai polisi Belanda, yang mengawasi ketat jalannya Kongres, mengeluarkan larangan kata “Merdeka” dalam Kongres tersebut. Karena kata “merdeka”, secara serampangan penguasa mengangapnya sebuah perlawanan.
Kesetaraan dan keberagaman harus merdeka dan membuatnya tidak merdeka adalah sikap ketidaktahuan dan itu akan menjadi satulangkah menuju ketakpedulian. Hanya orang yang memilki kepedulian yang mau merawat ke-publik-an. Semoga Anda salah satu dari mereka.