Dua video pendek berkedipan di media sosial. Isinya tentang penanganan coronavirus. Jika melihat sekilas, kita mungkin akan terjebak bosan. Sejak pandemi ini mengepung kehidupan orang ramai, banyak sekali testimoni dari mereka yang berkuasa, mereka yang punya ilmu, pakar ini-itu atau mereka yang sekedar ikutan arus berkomentar tentang wabah ini. Mencari panggung. Isinya ada edukasi, himbauan sana-sini tetapi juga ada pergunjingan yang saling menyalahkan, penuh purbasyangka dan tak ada ujungnya. Kebosanan kerap muncul karena komentar-komentar itu sejatinya tak memberi “harapan baru”. Hanya mengulang dan mengganti istilah. Kontennya semu. Belakangan “prank” juga mendominasi percakapan.
Tapi dua video pendek ini berbeda. Dua-duanya diawali dengan permintaan maaf. Yang berbicara adalah Benny Laos. Orang nomor satu di Morotai, sebuah kabupaten kepulauan di Utara Indonesia yang lepas dari pulau besar Halmahera. Jika menyimak video ini, netra sang Bupati mengisyaratkan ketulusan. Ada tanggungjawab yang dipertaruhkan. Ia sadar akan ada pro dan kontra. Tapi pilihannya sungguh terbatas. Tak ada cara lain untuk melindungi warganya selain “menutup” semua akses masuk ke Morotai. Karena itu, Ia mengawalinya dengan permintaan maaf. Kita tak pernah tahu, di setiap pengambilan keputusan yang berkenaan dengan orang ramai, si pengambil keputusan selalu berada dalam keadaan genting. Ada semacam keyakinan tetapi waktu dan ketidaklaziman yang akan mengujinya.
Menutup di sini bukan melarang. Orang boleh berkunjung ke Morotai tetapi siapapun dia ketika menginjak kakinya di pulau eskotis yang pernah jadi markas jenderal Douglas Mc Arthur dan tentara sekutu dalam Perang Dunia II ini, wajib menunjukan hasil negatif Polymerase Chain Reaction (PCR). Sebuah prosedur untuk mengkonfirmasi keberadaan coronavirus. Pemerintah secara nasional mewajibkan penumpang pesawat melakukan PCR tetapi Benny mengambil jalan lain. Penumpang kapal juga harus PCR. Kebijakan ini diambil setelah Morotai mengalami lonjakan kasus sepanjang bulan Juni dan Juli. Varian Delta memang tengah menggila. Mulanya hanya beberapa, lalu meninggi jadi ratusan orang yang positif coronavirus di Morotai.
Secara matematis, biaya PCR terbilang sangat mahal dibanding harga tiket kapal atau pesawat ke Morotai. Akses untuk PCR juga terbatas. Dengan kebijakan ini, Morotai sejatinya “me-lockdown” dirinya. “Sejauh yang memungkinkan, karantina wilayah akan menjadi bagian dari langkah penting bagi pemerintah dalam menghadapi penyebaran kasus”, begitu pendapat Nicholas Thomas, Profesor di bidang keamanan kesehatan City University, Hongkong.
Konsekwensi dari yang me-lockdown itu, akses ekonomi akan tertutup. Warga terkunci. Benny sudah menghitungnya. Ia menyiapkan berbagai bantuan. Mereka yang tengah isolasi mandiri mendapat sentuhan. Sebuah paket lengkap diberikan kepada warga. Isinya segala macam kebutuhan pokok. Mereka yang terdampak secara ekonomi juga dapat bagian. Sektor informal seperti pedagang dibantu. Sekolah diberi gadget agar bisa belajar daring. Benny mengulang apa yang dilakukan setahun lalu. Saat gelombang pertama pandemi mengepung, Ia juga “menutup” daerahnya. Bantuan sosial dibagikan. Makan minum warga hingga urusan mandi diperhatikan. Dampaknya, Morotai relatif aman dan terkendali.
Benny menurut saya adalah sosok yang tak banyak bicara. Ia tengah melakonkan sebuah “perlawanan” melalui optimisme kehendak, bukan pesimisme pemikiran. Benny memilih “menyelamatkan” orang ramai saat sejawatnya ragu-ragu untuk bertindak hingga Menteri Dalam Negeri marah-marah. Ia berkreasi saat dana penanggulangan coronavirus “tersesat” di rekening-rekening Pemda yang lain. Saat recofusing - kebijakan memangkas anggaran oleh pemerintah pusat - seperti pisau bedah yang mengiris tanpa bius. Ia bekerja saat para elit dengan hulubalangnya sibuk berdebat dan menyebarkan prank. Saat purbasangka politik meretas akal sehat. Dan agama dijadikan tameng, terkadang juga diseret untuk mengadudomba.
Apakah ini zaman paska empati?. Ketika manusia saling membutuhkan hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan kekuatan. Naomi Klein dalam “The Shock Doctrine”, mendokumentasikan fakta betapa seragamnya tanggapan kekuatan kapital terhadap krisis apapun - dengan menuntut lebih banyak ruang, kekuasaan dan otonomi untuk kapital. Lebih banyak ruang itu, kekuasaan dan otonomi itu - sayangnya tidak didermakan untuk melayani dan memperbaiki kemanusiaan. Ada sekat kepentingan yang bermain dengan gimik yang menggoda. Kekuasaan bertengker di puncak hasrat politik. Saya selalu teringat pesan Om Jo Leimena ; Politik bukan semata hasrat untuk berkuasa tapi (jauh lebih penting) adalah etika untuk melayani.
Beny adalah anak kandung Maluku Utara. Lahir di Ternate saat orang ramai bersiap merayakan kemerdekaan bangsa ini hampir lima dekade lalu. Mungkin karena itu, sejak kecil Ia memilih “merdeka”. Bebas menentukan masa depannya sendiri. Karakternya kokoh. Tak ada kompromi untuk sesuatu yang tak sejalan dengan dirinya. Benny selalu yakin dengan setiap langkah yang ditempuh. Ada konsistensi yang berkelindan dengan optimisme. Sesuatu yang bertahun-tahun telah teruji dalam hidupnya. Dan karenanya, Ia berani melakukan keputusan-keputusan besar yang bertanggungjawab.
Latar belakang keluarganya sederhana. Orang tuanya bukan pengusaha sebagaimana kebanyakan orang Tionghoa. Karena itu, terkadang kesulitan jadi teman hidup. Saking sulitnya hidup, fitnah dan hinaan kerap dialami. Benny kecil pernah dituduh mencuri uang saat Ia bermain di rumah temannya. Alasan yang menuduh itu karena Benny miskin. Ia juga harus berhenti saat kuliah di Malang karena kehabisan biaya. Beruntung Ia punya sosok perempuan hebat bernama Mama Lian. Seorang perempuan dengan kerendahan hati yang membiayai hidup anak-anaknya dengan menjahit dan berjualan kue.
Sejak kecil, Benny sangat dekat dengan mamanya. Mamanya yang mengokohkan banyak sekali prinsip hidup dan kebaikan. Tak pernah letih mendorong Benny agar maju dan mandiri. Dia adalah malaikat penyelamat dalam kehidupan Benny. Mamanya juga yang jadi sosok yang dicari saat terpuruk. Dalam otobiografinya “Jalan Hidup Benny Laos“, Ia bercerita ; pernah suatu saat dirinya terjebak pada kesulitan bisnis. Usahanya yang baru setengah jalan nyaris gagal karena kehabisan modal. Tak ada yang tersisa. Ia kemudian pulang ke rumah. Mama yang melihat putera kesayangannya terpuruk seperti tahu jalan keluar. Perempuan hebat itu memberi seuntai kalung emas. “Ambil ini dan jadikan modal”. Benny terpengarah. Tapi sorot mata mamanya memberi keyakinan. Rantai emas itu kemudian digadaikan dan jadi modal menyelesaikan usahanya.
Ia merintis bisnis dengan modal pas-pasan. Keuletan yang jadi pembeda. Terkadang bisnisnya seret. Tapi Benny tak pernah menyerah. Keyakinannya tak goyah sebagaimana syair lagu Mandarin “Ming Tian Hui Geng Hao - Hari Esok Pasti lebih Baik”. Lagu yang sering dinyanyikan Mamanya. Sikap inilah yang membuatnya bergelimang sukses. Grup Bela adalah koorporasi bisnis miliknya yang kini menggurita. Tahun 2012, organisasi pengusaha muda memberinya tribute sebagai salah satu pengusaha muda yang sukses. Gegara jejak pengusaha pula, Ia akhirnya bertemu perempuan hebat kedua dalam hidupnya. Namanya, Sherly Tjoanda. Kisah pertemuan mereka terutama momen yang bikin Sherly jatuh cinta mirip cerita dalam drama Korea. Mereka diperkenalkan keluarga.
Sherly yang baru pulang kuliah dari Amsterdam menjalani “kebersamaan” dengan santai sambil mengukur seberapa serius Benny memilihnya. Hingga suatu ketika, banjir merendam rumah keluarga Sherly. Mobilnya tergenang dan hanyut. Benny nekad menerobos banjir yang deras itu dan “menyelamatkan” mobil. Gaya “madai” ini membuat Sherly terpesona. Benny dinilai punya tanggungjawab dan kesetiaan. Pilihan yang tak pernah salah karena setelah resmi menikah, rumah tangga mereka selalu bahagia. Bisnis Bennypun makin berkembang berkat sentuhan sang Isteri.
Mapan sebagai pengusaha, tahun 2013, Benny beralih ke dunia politik. Berpasangan dengan mendiang Syamsir Andili, keduanya mengikuti kontestasi pemilihan Gubernur Maluku Utara. Mereka kalah. Tapi banyak “pelajaran” politik yang didapat Benny dari Ko Syam. Gagal dalam pemilihan Gubernur tak menghentikan langkah politik Benny. Tiga tahun kemudian, Ia memilih bertarung dalam pemilihan Bupati Morotai. Kali ini Ia menang. Tahun-tahun pertama memimpin Ia banyak “diserang” mereka yang kalah. Protes sana-sini. Benny tak goyah. Menurut saya, protes-protes itu justru dimanfaatkan Benny untuk mengukur kekuatannya. Memetakan posisi para lawan. Dan Ia kemudian tak lagi digoyang. Ia membungkam yang melawan dengan program dan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Saya pernah berdiskusi dengan Benny beberapa waktu lalu. Tetiba anak buahnya datang membawa sekardus uang. Sang Bupati hanya tersenyum saat dilaporkan berapa jumlah uang itu. Lalu dengan enteng Ia meminta agar segera membaginya kepada mereka yang butuh. Saya spontan bertanya, “Dari mana uang itu?. Benny hanya menjawab pendek, “Dari gaji saya sebagai Bupati”. Rupanya Benny selama menjadi Bupati tak pernah menerima gajinya. Uang itu dikumpulkan untuk kemudian dibagikan saat Lebaran atau Natal.
Menjadi Bupati paling kaya di Indonesia dengan total kekayaan lebih dari setengah trilyun rupiah - dan tentunya urusan uang bukan masalah baginya - ternyata tak merubah Benny. Meski bicaranya meledak-ledak sehingga kadang dipersepsikan sebagai sosok yang arogan, Benny di mata saya tetap pribadi yang rendah hati. Pertemanannya melintasi batas agama dan sosial. Ia tak pernah lupa masa lalunya. Masa ketika Ia jatuh bangun berjuang mewujudkan mimpinya. Memang dalam sebuah landskap kemanusiaan yang besar, Benny juga punya kekurangan. Dirinya bukan super hero. Tetapi Ia telah melukis sebagian jejak hidupnya dengan warna-warna cerah dan goresan optimisme. Ia akan terus bergerak dengan punca yang sederhana sebagaimana tuturnya ; “Ketulusan dan keikhlasan kita dalam menjalani hidup, itulah yang menentukan masa depan kita”.