× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#GAYAHIDUP

Delusi Aktivis Lingkungan dan Kelestarian Alam

Manusia modern menolak melihat Tuhan sebagai alam yang tertinggi.

Metafisikawan
Delusi Aktivis Lingkungan dan Kelestarian Alam
Foto: Ilustrasi Hutan Larangan/Pixabay.

05/12/2019 · 3 Menit Baca

Manusia yang saat ini tinggal di bumi ini mungkin sekarang sedang gusar dengan istilah krisis lingkungan. Bahkan belakangan spesies itu meneliti planet lain sebagai salah satu tempat tinggal alternatif. Seperti drama keserakahan yang tiada akhir.

Dalam tulisan sebelumnya yang berjudul Go Green dan Mimpi Manusia Modern penulis menyinggung beragam istilah yang merujuk kepada kampanye penyelamatan lingkungan. Kedua kelompok manusia itu hakikatnya sama, kesadaran akan krisis lingkungan.

Mereka yang gemar kampanye peduli lingkungan masih merasa betah untuk tinggal di bumi, sehingga ibarat “pelacur” yang menua akan kembali indah jika diberi polesan make up. Sementara kelompok lain yang mimpi pindah ke planet selain bumi ingin mencari “pelacur” baru untuk dinikmati karena bumi sudah tak lagi mampu memuaskan hasrat keserakahan.

Demikian kritik filsuf muslim kontemporer Seyyed Hosein Nasr yang menganggap manusia modern dengan segala kegalauan rasionalitasnya menganggap alam tidak sakral sama sekali. Bahkan menurutnya manusia dalam mengeksploitasi alam layaknya pelacur, menggantikan segala kesakralannya dengan uang. Nasr membandingkan kesakralan relasi lingkungan alam dengan manusia, semestinya seperti pernikahan seorang lelaki dan perempuan, penuh tanggung jawab dan berkeadilan.

Kritik lain yang lebih prinsip diungkap Nasr terkait isu krisis lingkungan. Menurutnya, manusia modern menolak melihat Tuhan sebagai alam yang tertinggi. Mereka bahkan memahami alam sebagai realitas yang berdiri sendiri dan tidak memiliki nilai spiritual dan metafisik. Manusia modern pemuja rasionalitas justru menilai sisi spiritual alam sebagai bualan.

Pendangkalan realitas terhadap alam semesta yang mengesampingkan metafisik sebenarnya bukan persoalan baru. Seorang filsuf Prancis Rene Descartes (Dekart) menganggap alam semesta hanya sederet mekanisme dan terbuat dari bahan mati. Untuk itu tak perlu takjub karena tidak ada yang ajaib di alam semesta (Gerry Van Klinken, Revolusi Fisika dari Alam Gaib ke Alam Nyata: 2004).

Menurutnya di alam semesta terdapat dua realitas nyakni Materi dan Roh. Sementara roh mampu berpikir yang hanya dimiliki manusia. Sementara Materi, dapat mengisi ruang. Sementara seluruh isi alam semesta materi belaka. Bisa dikatakan, Descasrtes sebagai bapak filsafat modern atau pendiri rasionalisme di Barat tentunya banyak membawa pengaruh bagi perjalanan persepsi manusia tentang alam semesta. Terutama terkait desakralisasi alam semesta yang direduksi pada struktur mekanistis.

Lagi-lagi jika ditilik secara lebih mendalam, beberapa filsuf muslim terutama yang consern dalam metafisik dan sufistik, meyakini bahwa tidak ada benda mati di alam semesta. Secara logis, seluruh benda di alam semesta ini hidup jika definsi itu diambil dari definisi hakiki. Sebut saja spesies manusia jika didefinisikan adalah hewan (genus) yang berakal (diferensia). Sementara spesies hewan adalah tumbuhan (genus) yang bergerak/berpindah posisi (diferensia). Sementara tumbuhan adalah benda (genus) yang berkeinginan, sementara benda adalah materi yang memiliki potensi.

Bahkan, jika diambil dari sudut pandang saintifik, molekul, atom, dan partikel, sedang bergerak. Sehingga, benda mati hakikatnya layak disebut makhluk hidup karena cirinya bergerak sementara definisi gerak adalah berpindahnya sesuatu dari titik kemungkinan tertentu menuju titik yang dimungkinkan. Anggapan Descartes terkait mekanis sebenarnya terbantahkan. Sisi spiritual sebenarnya terdapat pada alam semesta.

Mitos, Sisi Metafisik Alam Semesta

Manusia kuno yang tak pernah mengkampanyekan kelestarian lingkungan, sejatinya sangat mempercayai spirit pada setiap sesuatu. Dalam agama apapun bahkan meyakini manifestasi Tuhan dalam alam semesta. Belakangan sebagian kalangan yang gagap literasi menyebut hal itu disebut sebagai ajaran animisme dan dinamisme.

Jika boleh jujur, agama Islam juga meyakini kehidupan seluruh makhluk baik yang dipersepsi sebagai benda mati ataupun benda hidup. Karena langit dan bumi beserta isinya bertasbih kepada Tuhan.

"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka."[QS. Al-Israa': 44]

Demikian pula manusia yang dalam persepsi modern disebut manusia kuno mengenal adanya mitos atau mite yang merupakan cerita rakyat tentang kisah lampau tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya. Pada umumnya mitos dianggap benar-benar terjadi dan mengacu kepada kejadian alam semesta, dunia dan para makhluk penghuninya.

Sebuah penelitian Universitas Pendidikan Indonsia yang dipublikasikan dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mengungkap bahwa cerita rakyat menjadi media konservasi pelestarian alam dan penyadaran lingkungan. Objek kajian tersebut menjadikan Situ Cibeureum dan Situ Gede. Hasil penelitian itu ditemukan bahwa cerita rakyat memiliki caranya tersendiri dalam menjaga keseimbangan alam yaitu dengan memunculkan hal-hal yang ditabukan dalam bentuk mitos dan pemali.

Dalam cerita Situ Gede dan Situ Cibeureum terdapat korelasi dalam hal media penjaga keberlangsungan sumber daya alam (air) berupa mitos Si Layung dan Si Kohkol. Kehadiran makam keramat membuat masyarakat menjaga area danau karena menghormati adanya makam yang dikeramatkan dan dijadikan sebagai tempat ziarah.

Tak hanya lingkungan hewan dan tumbuhan yang lestari, adanya pemali dengan larangan berkata serampangan dan bersikap sombong memberikan dampak positif bagi keberlangsungan lingkungan manusia dalam hal sosial. Lingkungan alam tetap terjaga dan kelangsungan sumber daya alam tetap terpelihara.

Ada pula bukti lain yang tak terbantahkan terkait mitos sebagai penjaga kelestarian alam. Dalam kepercayaan masyarakat Cilacap, Jawa Tengah, terdapat sebuah hutan larangan di Pegunungan Pembarisan perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Barat. Lokasinya terletak di kawasan hutan antara Gunung Pojoktiga hingga Sungai Ci Jolang.

Hutan Larangan Hulu Sungai Cibeet berupa hutan tropis yang dianggap masyarakat adat Dayeuhluhur Cilacap sebagai hutan keramat. Jika berkunjung ke hutan ini masyarakat dilarang meludah atau berkata kasar. Hingga kini hutan tersebut masih terjaga keasriannya dengan beragam kekayaan hayati di dalamnya.

Pada akhirnya, kampanye aktivis lingkungan yang menuju kepada kesadaran kelestarian lingkungan dari krisis, akan hanya menjadi delusi. Bahkan kampanye-kampanye tersebut hanya akan menjadi seremoni tahunan menyambut hari bumi, jika menghapuskan mitos dari alam. Justru dengan mengkampanyekan mitos sebagai local wishdom menumbuhkan kembali kesadaran akan kecintaan pada alam dan lingkungan.


Share Tulisan Achmad Kirin


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca