× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#ESAI

Mari Kita Bertimbang Rasa

Nasihati aku saat sendiri. Jangan di saat ramai dan banyak saksi.

Multimedia Editor
Mari Kita Bertimbang Rasa
Ilustrasi. Foto: pixabay.

18/01/2020 · 3 Menit Baca

Kritik, hujat, gunjing dan hasut, berlarik-larik, berwaktu-waktu di linimasa media sosial. Saya hanya ingin membahas yang pertama: kritik. Sisanya, baiknya dibahas kaum cerdik pandai para “Joguru”. Mari!

Teringat perkataan Imam Syafi’i: “Nasihati aku saat sendiri. Jangan di saat ramai dan banyak saksi. Sebab nasihat di tengah khalayak, terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak. Maka maafkan jika hatiku berontak….”.

Seorang Adolf Hitler pun pernah berkata begini, “Bila kamu punya kebenaran, maka kebenaran itu harus ditambah dengan cinta, atau pesan dan pembawanya akan ditolak”.

Mengkritik dengan cinta berbeda dengan mencela, menghujat, memaki-maki, menggunjing, menghasut, apalagi memfitnah, yang sama sekali tidak dilandasi rasa cinta, tetapi lebih banyak dilandasi rasa benci dan dendam.

Bagi mereka situ “kadara”.. kalangan penggerak, pembaharu, oposisi, barisan sakit hati, lawan politis dan sebangsanya, kritik adalah positif, bahkan kadang dipositif-positif kan. Mereka bilang, “Kritik itu perlu, demi perbaikan, demi ini…, demi itu…, dan seterusnya.”

Sebaliknya, bagi mereka situ “kalao”, kalangan status quo, penguasa dan yang semacamnya, kritik adalah negatif, bahkan sering dinegatif-negatif kan. Mereka bilang, “Kritik itu hasutan, cuma sampah, provokasi, karena ini…, karena itu…, dan seterusnya.” Begitu juga dengan yang situ kaatas dan situ kabawa.

Sementara di tengah-tengah pengharapan kami, rakyat jelata yang mendamba akan munculnya pertarungan ide dan gagasan besar menuju maslahat umat pada kontestasi politik belakangan ini, hanya miris melihat bersilewerannya perang kritik yang buruk dari kalangan dewasa namun “childish”.

Mulai dari yang mengaku kalangan intelek hingga dibo-dibo (yang ini tidak mengaku), tergabung dalam gerakan “haters and lover”, hanya berkutat saling menyindir, mengancam, memaki, bahkan fitnah di linimasa media sosial. Jadi bikin muak, tak terhindar mual.

Seyogianya, kritik adalah alat. Sebagai alat, ia dapat berguna untuk hal-hal yang baik dan tentu saja dapat pula berbahaya. Bukankah manfaat alat tergantung pada yang memanfaatkannya?

Pisau, gergaji, atau silet misalnya: ia alat yang dipakai untuk mencukur janggut, kumis dan lain-lain serupa itu yang tumbuh berantakan. Dengan silet itulah, membuat kita bisa bercukur rapi dan boleh berharap keren(?). Namun, silet juga bisa untuk mengiris urat nadi dan tenggorokan, jika ingin membuat “sone” orang lain atau diri sendiri.

Memang, ada satu jenis karakter manusia yang tak terbiasa mengendalikan kata-kata nya, acap kelupaan melewatkan lintas katanya ke pikir sejenak, sebelum di transfer ke sarana bicara atau tulis.

Sebagian mengira manusia seperti ini pemberani, lugas, saklek, ngomong apa adanya yang sesungguhnya lebih sering membuat banyak orang tersinggung, terhina, marah dan sebagainya akibat dari kata-kata nya itu. Lalu berdalih: kritik. Ini kritik. Dalam kasus model begini, kritik memang benar-benar alat. Alat untuk menjadi pembenaran atas kekasaran akhlak kata-kata nya.

Mengkritik-lah dengan ikhlas sekaligus pasrah Kepada Yang Maha Kuasa. Ini ajakan seremonial, pastinya. Tapi harus. Sulit memang untuk mengukur apakah seseorang itu mengkritik dengan ikhlas atau tidak. Bisa saja kita terdorong menilai ikhlas jika kritiknya mendukung pribadi kita. Sebaliknya, jika kritiknya melawan tujuan-tujuan pribadi kita, maka biasanya kita terpancing untuk mengatakannya tidak ikhlas, alih-alih; marah, merajuk lalu menyerang balik. Begitu seterusnya.

Meng-kritik-lah dengan ikhlas karena energi dari ikhlas mudah merangkul kebaikan. Namun jika sebaliknya, dengan energi hawa nafsu, umumnya disusup kejahatan. Dan sudah pasti, kontra produktif, jika itu diumbar terus-menerus dengan tujuan mengambil simpati rakyat jelata dengan menebar ajujah, dergama, gujirat, kebencian kepada pihak yang dianggap lain.

Tolonglah tunjuk ajar kepada kita dalam damai nan indah yang bersemayam dalam kearifan (meski) lokal kita, ia pasti punya nilai universal semisal “ino fo makati nyinga” (mari kita bertimbang rasa) dan renungkan kembali kearifan nasihat moyang Kie Raha nan luhur dalam berbagai aspek, termasuk hubungan ‘pemimpin dan rakyat’, yang sering terucap dalam sastra lisan berdimensi kearifan politik, yang disimbolkan melalui alam.

Ini punya kita. Sekali lagi, punya kita Maloko Kie Raha. Yang harusnya bisa ditebar ke seantero bumi, menuju maslahat umat yang mendamba negeri tamadun. Namun kita sendiri alpa atau sengaja mengalpakannya. Dari sekian ragamnya, saya kutip satu:

“ To tagi to kololi alam | To tike saya ma lako | Ahu toma ko konora, kari ngongano || Kusu to busu marua | Kano-kano ka ri ngongano | Afa mara kano hodu ngana | Kusu mai wigo ma cama||”

“Kita pergi keliling alam | Kita mencari bunga yang bermata | Hidupnya di tengah tengah yang kita harapkan || Alang-alang kita tidak senang | Kano-kano juga kita inginkan | Jangan sampai kano-kano juga tidak menyukaimu | Alang-alang akan menggoyang lehernya||”

Ino fo makati nyinga. Ino ma…!


Share Tulisan Ghazali Hasan


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca