Sebuah bus besar berfasilitas mirip rumah melaju di jalanan berkelok. Satu keluarga pergi tamasya. Lokasi yang dipilih adalah sebuah danau eksotis yang di kelilingi hutan. Ketika tiba di pos penjagaan, Paul melonggok dari kaca pintu mobil dan memperkenalkan dirinya bersama isterinya, Wendy. Perempuan berambut pirang itu dengan antusias menambahkan jika dalam “rombongan mereka” juga ada puterinya. Taylor dan anjing kesayangan keluarga, Lucky. Saat tiba di lokasi, Wendy bergegas mencari persediaan makanan. Paul menyiapkan acara mancing bersama Taylor. Ia tak sengaja bertemu Miranda yang tengah mandi. Plot bergerak lambat dengan percakapan sana-sini.
Wendy kembali dan berkenalan dengan Miranda. Tetiba Wendy yang masuk ke bus menyadari jika Taylor menghilang. Keduanya panik. Mencari sambil memanggil. Tak ada hasil. Polisi datang setelah mendapat laporan. Sheriff Baker menyambangi bus keluarga, meminta keterangan dan berjanji akan menemukan Taylor. Tak ada sejarah anak hilang selama liburan di tepi danau. Namun sebelum pergi, Baker menyebut Paul dan Wendy mesti tetap di bus, biar polisi yang bergerak karena ada satu buronan yang lari dan bersembunyi di hutan dekat danau.
Malam kedua setelah Taylor hilang, Paul dan Wendy nekad mengelabui polisi dan mencari anak mereka. Keduanya menyusuri hutan dan menemukan seseorang yang tidur dengan pistol dekat perapian. Wendy mengambil pistol orang itu yang kaget terbangun namun langsung ditembak mati. Pasangan ini ketakutan dan balik ke bus. Paginya, Baker datang dan menyebut buronan yang lari telah ditangkap. Ada juga satu pekemah yang tewas ditembak di hutan. Makin menegangkan.
Paul dan Wendy yang mulai frustasi jadi curiga Miranda dan suaminya yang busnya bersebelahan, telah menculik Taylor. Miranda dan suaminya diajak Taylor ke tengah danau. Di atas perahu, Wendy tetiba memaksa Miranda mengaku. Pertengkaran meletus. Miranda tewas tertembak. Suaminya mati ditikam Paul. Polisi makin pusing.
Plot film berganti dengan beberapa pengulangan yang menjebak. Wendy juga mencurigai Tom, pengelola taman wisata itu yang misterius. Suatu malam Wendy nekat masuk ke toko milik Tom. Dirinya menemukan kamar rahasia. Ada banyak video penjualan anak kecil dalam ruang itu. Tom datang. Terjadi pergumulan. Wendy memukul Tom dengan sebuah palu. Tom tewas. Polisi yakin teka-teki hilangnya Taylor makin jelas. Sangat mungkin anak kecil berusia sepuluh tahun itu berada di tangan sindikat penjualan anak. Pencarian dilanjutkan dengan melibatkan FBI.
Sheriff Baker yang masih “depresi” karena anaknya juga mati gegara narkoba jadi bersemangat. Ia mulai belajar “merelakan” anaknya dan berjanji akan menemukan Taylor. Hingga sebuah foto keluarga ditemukan Baker. Paul dan Wendy yang tengah hamil tua berpose di depan gedung WTC sebelum menara kembar itu runtuh dibombardir teroris. Baker menghitung, Taylor mestinya telah beranjak remaja. Kakak Paul dikonfirmasi dan jawabanya sungguh tak terduga. Taylor ternyata sudah meninggal enam tahun lalu. Paul dan Wendy tak pernah menerima kematian Taylor. Mereka selalu merasa Taylor “selalu bersama” kemanapun mereka pergi.
Polisi bergegas ke tepi danau. Di jalan, anak buahnya mengabari Baker jika forensik menemukan petunjuk penting bahwa Paul-lah yang membunuh suami Miranda. Sayangnya polisi tak menemukan pasangan ini karena keduanya terlanjur pergi. Ending film ini sungguh mengejutkan. Di bus yang melaju, sama-samar ada percakapan antara Paul, Wendy dan Taylor. Lalu keluarga kecil itu menyanyikan sebuah lagu dengan riang. Kegembiraan membuncah sepulang tamasya.
Ketika kamera mendekat, yang nampak hanya Paul yang sedang menyetir, disebelahnya ada Wendy. Dimana Taylor?. Anak manis ini hanya ada di video yang diputar di sebuah perangkat yang menempel di kaca depan bus itu. Saya yang tengah serius menonton sambil makan kuaci bersungut kesal. Merasa tertipu.
“Vanished” adalah film produksi Amerika setahun lalu. Skenarionya ditulis oleh Peter Facinelli yang juga menyutradarai film bergenre “thriller psikologis” ini. Bintang utama film ini dimainkan dengan wajah tak berdosa oleh Thomas Jane (Paul) dan Anne Heche (Wendy). Judul asli film Vanished atau “Yang Hilang” adalah “Hour Of Loud”. Sebuah frasa yang dicomot dari puisi karya Emily Dickinson. Dickinson memang misterius. Hidupnya tertutup. Penyair perempuan ini suka menggunakan pakaian putih, enggan meninggalkan kamarnya dan hanya berbicara kepada tetamu lewat pintu. Tidak bertatap muka secara langsung.
Film yang “menipu” netra dan nalar dengan banyak perdebatan psikologis ini sejatinya menceritakan tentang “delusi”. Sejenis gangguan mental serius yang juga dikenal dengan psikosis. Seperti Paul dan Wendy, mereka yang terpapar delusi memiliki ketidaksinambungan antara pemikiran, imajinasi dan emosi dengan realitas yang sebenarnya. Mereka cenderung berpegang teguh pada pemikirannya. Menganggap apa yang dialami, dilihat atau didengarnya benar-benar terjadi dan meyakinkan orang lain bahwa hal tersebut adalah fakta. Delusi bisa disebabkan oleh stress, frustasi berkepanjangan yang berkelindan dengan depresi, rasa kehilangan yang memukul atau putus asa akibat besarnya tekanan dalam situasi sulit.
Delusi hari-hari ini seperti tengah mencengkram nalar banyak orang. Saat pendemi mengepung tanpa jeda. Angka kesakitan turun naik. Kematian menyelinap dalam diam sambil terus merengut. Kemanusiaan lintang pukang. Kebijakan pemerintah membatasi sana-sini dengan penamaan yang berganti seperti membentur tembok. Warga makin terpuruk. Menteri Sosial secara terbuka menyebut negara tak mungkin secara terus-menerus membagikan bantuan. Utang luar negeri kian menumpuk. Presiden Jokowi dalam sebuat rapat terbatas telah meminta agar warga saling membantu.
Kedaruratan kita bertambah bising dengan banyak laporan yang menyebut pandemi ini akan bertahan lama. Entah sampai kapan. Indonesia diprediksi sebagai negara terakhir yang akan bebas dari pagebluk berkepanjangan seturut angka-angka kasus positif yang melonjak tak beraturan. Belum lagi, kesiapan menghadapi darurat itu, yang compang-camping karena keterbatasan peralatan, alat pengaman, tabung oksigen, obat-obatan dan vitamin yang tak terbagi merata. Vaksin yang digadang jadi senjata pamungkas untuk survive sementara hingga kini terus diperdebatkan. Protokol kesehatan dilubangi. Tak ada kepatuhan.
Lalu sebuah berita menarik afinitas. Ada sebuah donasi untuk membantu penanganan pandemi. Yang bikin banyak mata terbelalak dan bergegas mencari berita itu adalah adanya narasi pendek yang “angkuh” seraya menyebut besarannya mencapai dua trilyun rupiah. Angka dua dengan limabelas angka nol berderet di belakangnya. 2000 milyar cing!. Orang baik yang bermurah tangan itu adalah sebuah keluarga dengan latar pengusaha. Nama kepala keluarga itu, Akidi Tio. Sudah meninggal lebih dari satu dekade lalu. Sumbangan itu sebagaimana yang diberitakan, khusus diberikan untuk warga Sumatera Selatan melalui puteri bungsunya. Berita itu kian hari menggelinding bak bola salju. Kian membesar dengan sihir yang memikat. Puja-puji dialamatkan ke keluarga super dermawan ini.
Orang ramai terpukau. Siapa Akidi Tio?. Dahlan Iskan, pengusaha media yang rajin menulispun tersedot pesona dua trilyun. Empat edisi DisWay mengulas dua trilyun ini sejak pekan lalu. Sesuatu yang tak biasa. Agar tak “tertipu”, Dahlan berburu. Semua koneksinya dipakai, dokter keluarga Akidi dikontak. Ada jaminan uang itu ada meski masih di Bank. Namun seminggu berlalu, dua trilyun itu tak juga berwujud. Keraguan mulai berbisik. Dahlan tak menyerah. Mungkin juga penasaran sebagaimana kita merasakan hal yang sama. Belakangan ada perempuan “cantik” yang juga memberi garansi. Perempuan cantik ini punya tagihan pinjaman kepada puteri Akidi Tio. Jumlahnya tiga Milyar. Dan karena Ia percaya ada uang dua trilyun itu, Dahlan bimbang dan teseret lagi.
Perburuan latar Akidio juga tak berbekas. Sungguh samar. Ada pengusaha dengan kekayaan berlimpah, bisnis yang menggurita tetapi tak dikenal oleh pengusaha lainnya. Rekam jejak Akidio Tio juga tak terendus otoritas pajak. Siapa dia?. Bagaimana caranya menabung?. Mengapa uang itu tetiba dibicarakan setelah dirinya sudah tak ada?. Publik yang terlanjur tersihir terus memupuk harapan. Kebenaran dinantikan. Plato pernah bertanya : “Apakah kebenaran itu?. Hari-hari ini, di tengah kecemasan yang melingkar, kita seperti menunggu datangnya Hermes - si pembawa pesan dalam mitologi Yunani - yang memastikan kebenaran berada pada bibir-bibir manusia yang sudah mati. Tak bergerak. Sebuah Inersia.
Konon, uang dua trilyun itu ada di Bank Singapura. Hasil menabung Akidio selama puluhan tahun. Mungkin saat dia meninggal, warisannya bertuliskan syarat : hanya bisa dicairkan saat pandemi mengepung dan warga kelimpuhan bertumbangan. Tokh, wasiat itu hanya rumor. Yang agak terang benderang adalah fakta jika pihak keluarga sebenarnya sudah lama berusaha mencairkan harta karun ini. Namun selalu gagal. Mungkin prosedurnya berbelit. Apalagi tersimpan di sebuah bank di negeri tetangga yang jadi salah satu pusat bisnis dunia. Mungkin, jalan pintas yang bisa “memaksa” otoritas disana adalah alasan paling suci bahwa uang itu akan digunakan untuk membantu kemanusiaan.
Negara ditarik masuk ke pusaran pesona dua trilyun. Dan yang muncul adalah senyum sumringah mereka yang akan mendapat kuasa. Tapi seturut pergantian hari, sayup-sayup yang muncul adalah ketidakpastian. Kebenaran harta karun itu makin diragukan. Dan Selasa pagi, Dahlan mulai memberi batas. Di laman DisWay-nya, Ia menulis untuk kelima kalinya, puteri bungsu Akidio ditahan polisi. Belum jelas statusnya tetapi sepertinya ada yang mulai gerah. Tak mau dipermalukan. Negara harus bertindak. Jika pesona dua trilyun ini yang sejak awal saya yakini “mustahil” memang ternyata tak ada, maka hukum patut ditegakkan. Telah terjadi “public deception”. Mendeklarasikan ketidakbenaran ke publik dengan dengan rayuan yang menyuburkan delusi. Meski kisah seperti ini bukan yang pertama.
Tahun 2000, ketika Republik belum sepenuhnya pulih dari kisruh pergantian rezim. Ketika warga masih terpuruk akibat “turbulensi” ekonomi dua tahun sebelumnya. Ketika kita di Maluku Utara masih dikungkung kondisi darurat sipil akibat konflik berkepanjangan, hidup serba sulit. Ekonomi negara belum bergeliat, utang luar negeri bejibun. Lalu seorang Menteri Agama membawa angin surga. Said Agil Husin Al Munawar, Menteri Agama saat itu mengklaim ada harta karun berupa emas batangan peninggalan kerajaan Pajajaran yang tersimpan di bawah sebuah prasasti di Batutulis, Bogor. Orang ramai bersorak. Indonesia yang lagi terbelit utang sebentar lagi akan bebas. Krisis akan berlalu.
Jusuf Kalla, pengusaha yang terbiasa menghitung detail bisnisnya dengan matematika sederhana memanggil Menteri Agama itu. Di kantornya, “Puang” bertanya berapa utang luar negeri yang akan dibayar?. Said Agil terpekur tak menjawab. JK - saat itu Menko Kesra - yang jadi “bos” Said di jajaran kabinet Presiden Gus Dur lalu memberi tahu angka yang lumayan fantastis. Utang Indonesia berjumlah 1500 trilyun. Menurut JK, pasaran emas saat itu berkisar 250.000 per gram. Dengan demikian, Indonesia butuh sekitar 6000 ton emas untuk membayar utang yang membelit itu. JK memberi sebuah metafora, bila emas itu diangkut dari Bogor menuju Jakarta, butuh truk pengangkut yang berjejer dengan panjang sekitar lima kilometer. Kepala truk di Bundaran HI, ekornya masih di kawasan Kebayoran Lama.
Asumsinya satu truk dengan panjang lima meter mampu mengangkut 4 ton emas. Jejeran truk yang panjang itu akan sangat menyolok, butuh pengamanan ekstra dan kunci dari pertanyaan JK adalah ; “apakah ada batangan emas sebanyak itu di Bogor?. Menteri Said masih tetap menunduk dengan gaya yang sama. Tak ada jawaban. Dan berita gegap gempita itu berakhir tanpa menunggu hari berganti.
Tentang harapan palsu dan delusi yang menipu, saya jadi ingat kisah satire yang ditulis Nasruddin Hodja. Filsuf legendaris Turki yang hidup di abad ke 13. Suatu malam, Nasruddin bermimpi. Seorang lelaki datang mengetuk pintu rumahnya dan bertanya apakah Ia bisa menginap di rumah Nasruddin. Belum sempat dijawab, lelaki itu sudah memberi garansi, Ia akan membayar sepuluh koin emas untuk menginap satu malam. Nasruddin setuju. Lelaki itu berterima kasih dan mulai mengeluarkan koin emas dari sakunya sambil menghitung. Ketika sampai pada koin ke sembilan, lelaki itu berhenti menghitung.
Nasruddin yang menyadari itu mendadak kesal dan mengajukan protes. “Kau bilang tadi mu memberiku sepuluh koin”, bentak Nasruddin. Saat itu pula Ia terbangun. Ia menatap sekeliling kamarnya namun tak ada orang. Cepat-cepat Nasruddin kembali menutup matanya. “Baik. Baiklah. Sembilan sudah cukup. Berikan padaku”.