× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#ESAI

Saturasi


Direktur LSM RORANO
Saturasi
Tabung Osigen Untuk Batang Dua / Foto Istimewa

26/07/2021 · 15 Menit Baca

Dua laki laki muda itu bergegas menurunkan dua tabung besar dari mobil. Tabung setinggi hampir dua meter itu ditaruh di depan kantor. Besoknya tabung itu dicat putih dan diberi beberapa tulisan penanda. “ini dibeli dari hasil pengumpulan koin”, ungkap Keegan Lopulalan, Ketua Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku - Ternate yang menginisiasi gerakan pengumpulan koin. Untuk apa dua tabung bekas ini?. Pendeta Donny Toisutta, sekretaris Klasis GPM Ternate memberi arah. Tabung bekas ini adalah tabung oksigen yang akan diisi ulang. Setelah dilengkapi dengan alat untuk menyalurkan oksigen, dua tabung ini akan dikirim ke Batang Dua, kecamatan terjauh puluhan nauticalmile dari ibukota Ternate.

“Warga sangat butuh, Puskesmas di Mayau tak punya. Begitu juga Pustu di Tifure. Kami hanya melakukan apa yang bisa untuk menolong warga Batang Dua”, jelas Donny. Empati untuk menolong itu bermula dari berita perkabungan yang datang dari Mayau. Delapan warga, umumnya orang tua, meninggal dalam rentang sepuluh hari dengan gejala awal sesak nafas. Tak ada peralatan untuk menolong. Warga hanya bisa pasrah. Maut terus mengintai. Pandemi nyatanya telah mengepung dua pulau itu. Kondisi darurat kesehatan dan mungkin nanti darurat ekonomi mengancam kemanusiaan. Kita tak tahu kapan akan berakhir.

Ini masa yang “a very sad time” - sangat sedih. Saya tak tahu apakah Francis Fukuyama menuliskan ini dalam bukunya ; The End of History and the Last Man, semata hanya untuk memotret narsisme yang akan mengakhiri demokrasi - sekaligus mengakhiri dunia yang bakal centang perenang oleh kerakusan manusia -  atau “kesedihan itu” untuk sesuatu yang universal. Sebuah akhir. Lalu muncullah “the last Man”. Manusia terakhir yang letih itu. yang cenderung berkompromi dan memilih posisi yang nyaman, Ia bahkan bisa melupakan kemerdekaanya sendiri.

Manusia terakhir itu menikmati kebebasan tetapi cemas dengan yang bebas itu. Ia miskin ide, tak punya empati. Yang biasa dilakukan adalah menyebar pernyataan yang tak humanis dan suka sekali “ba carlota” di media sosial. Nietzsche menyebut “manusia terakhir” telah kehilangan keberanian untuk mengubah dirinya jadi makhluk yang ulung. Suka membikin segalanya menjadi kecil. Tak ada cinta dalam hidupnya. Mungkin yang dilakukan Keegan dan mereka yang peduli, yang mengumpulkan koin untuk membeli tabung oksigen sejatinya tengah melawan “manusia terakhir” itu. Sebuah antithesa. Berusaha tetap bersama melewati masa yang sedih.

Tentang tabung oksigen bekas, kita harus berterima kasih kepada mendiang Arif Harsono. Lelaki asal Toli Toli ini adalah pemilik Samator, produsen oksigen terbesar di Indonesia. Samator punya kemampuan memproduksi 800 juta ton oksigen dalam setahun. Saya membayangkan, Arif ketika pertama berbisnis ini mungkin hanya ingin memenuhi kebutuhan rumah sakit di masa normal.  Tak berhitung jika pandemi ini membuat oksigen jadi sesuatu yang diburu bak permata. Sebulan ini, seiring melonjaknya kasus coronavirus dengan varian deltanya, kebutuhan oksigen jadi tak terpenuhi. Antrian dan keluhan berkelindan dengan ketakutan.

Sehari sebelum meninggal, Arif masih berkutat dengan kerja. Ia tak ingin kita mengalami krisis oksigen yang parah sama seperti di India saat coronavirus mengamuk. Sebuah ironi yang menyesakkan karena Arif dipanggil “pulang” dengan sesak nafas yang menyiksa. Kadar oksigennya menurun hingga 94 persen.  Ketika mau di bawa ke ruang ICU, semua ICU rumah sakit yang ada di Surabaya ternyata penuh. Arif “berpulang” meninggalkan warisan yang tak terpermai. Pabriknya yang berjumlah 48 buah terus berproduksi. Berkejaran dengan waktu.  Oksigen jadi kebutuhan prioritas. Di rumah sakit yang besar, mereka tak lagi butuh tabung. Ada “bak penampung” berukuran besar, oksigen di salurkan ke ruang gawat darurat menggunakan jaringan mirip pipa air. Di Ternate, yang seperti ini belum ada. Tetapi kita sekali lagi bersyukur, Samator ternyata ada di Ternate.

Letaknya di Kalumata. Bukan pabrik besar. Hanya kantor cabang. Tetapi sungguh jejak mendiang Arif Harsono ini banyak membantu. Di masa sebelum pandemi mengepung, kebutuhan oksigen di Ternate dan Maluku Utara hanya semacam rutinitas yang guyub. Melayani yang diminta rumah sakit untuk memenuhi ventilator-ventilator. Sesekali akan ada klub selam yang datang membawa tabung mengisi oksigen untuk kebutuhan menyelam. Tetapi saat ini, permintaan oksigen meningkat drastis. Tak hanya di Ternate, orderan datang dari rumah sakit lain yang ada di  Maluku Utara. Ke tempat inilah, Keegan dan Pendeta Donny membawa dua tabung bekas itu untuk diisi kembali.

Kementerian kesehatan mengakui kebutuhan oksigen jadi sesuatu yang “darurat”. Darurat di sini bukan hanya karena alasan medis yang berbanding lurus dengan angka kematian yang melonjak tetapi juga karena persediaan oksigen yang terbatas. Tak semua bisa mengakses. Ratusan lembaga bahkan mensomasi Presiden Jokowi gegara masalah ini. Kedaruratan kita makin terpojok karena obat-obatan terbatas, peralatan medis di pelosok-pelosok negeri yang juga “sakit” tak ada, lebih dari seribu dokter dan tenaga kesehatan telah gugur sebagai martir. Kita diminta berjuang melawan tanpa senjata. Tak ada pertahanan diri. Di pucuk kekuasaan, korupsi dana bantuan sosial kian tak tersentuh. Debat yang membela kuasa dan mereka yang menentang tak usai. Kebenaran jadi mitos. Padahal untuk melawan coronavirus, kebenaran yang berwujud tindakan rasional yang nyata harusnya jadi pedestal. Tapi kemana kita mencontoh?. Kita juga disodori dengan gonta-ganti istilah selama pandemi. Yang terbaru, kita yang menderita ini juga diancam dengan hukuman jika tak patuh menjalankan PPKM berbagai level. Margaret Atwood dalam novel “Oryx and Crake”, menulis dengan muram ; “Kita tak pernah belajar, berkali-kali membuat kesalahan yang pandir. Mempertukarkan hasil jangka pendek dengan kesakitan jangka panjang”. Kita cenderung membungkus harapan-harapan yang riang di masa depan yang bergerak di antara “kebohongan dan kekeliruan”.

Di sekitar kita, masih banyak bendara putih yang membisu di tiang tenda tak bernama. Di laman media sosial, ungkapan duka mendominasi. Kematian terus dihitung dengan jemari yang gemetar. Pandemi ini seperti lorong yang tak berujung. Profesor Trudy Lang, guru besar kesehatan global di Oxford University menyebut, “Dari sudut pandang evolusi, virus ini butuh bermutasi supaya dia bisa menyebar ke lebih banyak orang. Virus yang berhasil adalah virus yang menyebar dengan mudah”.

Perkara “menyebar dengan mudah” inilah yang mestinya jadi fokus perlawanan. Karena yang “menyebar dengan mudah” itu tak butuh batasan geografi, kelas sosial dan agama atau hitungan usia. Coronavirus menyerang siapa saja. Yang paling rentan adalah mereka yang memiliki penyakit bawaan. Demam, flu dan batuk jadi penanda. Jika tak tertangani, anosmia atau hilangnya kemampuan seseorang untuk mencium bau mulai menyerang seturut lidah yang kehilangan rasa. Sesak nafas jadi gejala pembuka menuju gejala pemburukan. Lalu kita mulai menghitung asupan oksigen yang dibutuhkan tubuh jika ingin survive.

Pasien yang terinfeksi coronavirus sangat butuh asupan oksigen untuk menstabilkan saturasi oksigen. Saturasi secara medical berarti kadar atau tolak ukur untuk menakar besarnya ketersediaan oksigen dalam aliran darah. Alat mengukur saturasi adalah oxymeter. Alat ini tersedia di apotik. Biasanya gejala sesak nafas terjadi pada pasien peyakit paru yang kronis seperti asma, pneumonia, kanker paru-paru, anemia, gagal jantung dan serangan jantung. Jika saturasi oksigen yang diperlukan tubuh berada pada posisi 95 - 100 persen, maka kadar oksigen disimpulkan normal. Jika kurang dari 92 persen maka pasien butuh pertolongan medis. Saat mengukur dan posisi saturasi oksigen kurang dari 80 persen maka pasien sangat butuh ventilator. Tetapi titik kronisnya ada pada ketersediaan tabung yang terbatas dan sulit dicari.

Di tengah berbagai keterbatasan, Kementerian Kesehatan hanya bisa menganjurkan dilakukannnya tekhnik proning bagi mereka yang tengah melakukan isolasi mandiri. Proning dilakukan jika pasien memiliki saturasi oksigen antara 93-94 persen. Ini adalah teknik penapasan untuk menekan gejala pemburukan. Caranya cukup mudah. Pastikan pasien berada di ruang yang sirkulasi udaranya baik. Pada bagian pertama, pasien tengkurap menggunakan alas dan bantal. Satu bantal di bawah leher, satu bantal di pinggul dan satu lagi di kaki. Lakukan posisi ini selama 30 menit.

Setelah itu, ubah posisi dengan berbaring miring ke kiri atau ke kanan, posisi bantal tetap sama. Berbaringlah selama setengah jam. Dan terakhir. tidur dengan posisi setengah duduk dengan durasi waktu yang sama. Bagian punggung hingga tengkuk diganjal dengan bantal. Jika tak nyaman segera hentikan. Tekhnik proning tidak disarankan untuk ibu hamil dan pasien dengan gangguan jantung atau riwayat cedera tulang belakang.

Saturasi oksigen hanyalah statistik yang diam. Kita yang mesti mengubahnya atau setidaknya mempertahankan pada level yang ideal. Dalam potret yang universal, “saturasi” adalah wajah kemanusiaan yang terus mencari cara untuk melawan coronavirus. Kita bisa saja kalah saat ini dan terpojok di sudut yang penuh air mata. Tetapi untuk masa depan, optimisme - sebuah sikap berbalut keyakinan, meminjam Winston Churchill bahwa “orang-orang optimis selalu melihat kesempatan dalam setiap kesulitan” - harus jadi panglima perang. Saturasi itu ibarat bahan bakar pada kendaraan. Bayangkan jika kita kehabisan bahan bakar dan tempat menjualnya telah tutup.

Karena itu, kita tak boleh lalai. Mengulang yang sama - kehabisan bahan bakar. Jika tidak kita layaknya tengah mementaskan drama “Sisyphus”. Dalam mitologi Yunani, putera Raja Aeolus ini dikenal angkuh dan sangat percaya diri bisa menipu semua Dewa. Para Dewa yang murka lalu menghukumnya dengan hukuman yang abadi. Yang menyiksanya berkepanjangan.

Sisyphus diperintahkan menggulingkan sebuah batu besar ke puncak sebuah bukit yang curam. Batu itu sudah didesain para Dewa agar secepatnya terguling dan jatuh setiap menyentuh puncak bukit. Sisyphus yang malang tak pernah tahu. Ia terus mendorong batu itu ke puncak. Dan batu itu juga terus jatuh. Ada frustasi yang ajek namun Albert Camus menuliskan “Mitos Sysiphus” dengan penutup penuh optimisme yang epic ; “Perjuangan itu sendiri….sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Kita harus membayangkan bahwa Sisyphus berbahagia”.


Share Tulisan Asghar Saleh


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Asosial

#ESAI - 19/07/2021 · 15 Menit Baca