
Senin, 4 November 2019 pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Halmahera Utara dan Pulau Morotai menandai akhir rangkaian Pelantikan anggota DPRD di Provinsi Maluku Utara mulai dari DPRD Provinsi hingga Kabupaten/Kota. Tulisan ini hendak mengajukan discursus bagi para anggota DPRD di Provinsi Maluku Utara baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Falsafah Parlemen
Secara teoritis, cabang kekuasaan menurut Jhon Locke dibagi dalam tiga cabang kekuasaan yakni Cabang Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Federatif. Cabang kekuasaan ini kemudian mendapatkan modifikasi oleh Montesque menjadi Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Dari ketiga cabang kekuasaan, pada kesempatan ini penulis hendak membangun discursus khusus mengenai cabang kekuasaan legislatif yang dalam keseharian Indonesia lebih dikenal dengan sebutan parlemen.
Akar ketatanegaraan parlemen melekat dengan sejarah ketatanegaraan Inggris. Sistem parlemen sangat kental dengan negara-negara sistem pemerintahannya berdasarkan sistem Westminster dari Britania Raya. Istilah bahasa Inggris berasal dari Anglo-Norman berasal dari abad ke-14, selain Inggris, berasal pula dari Parlemen Prancis abad ke-11, dari “Parler”, yang berarti "untuk berbicara". Makna ini berkembang dari waktu ke waktu, awalnya mengacu pada setiap diskusi, percakapan, atau negosiasi melalui berbagai jenis kelompok deliberatif atau yudisial, sering kali dipanggil oleh seorang raja. Pada abad ke-15, di Inggris, itu secara khusus berarti badan legislatif. (Wikipedia.org)
Jauh sebelum Britania Inggris mempraktikan model parlemen, demokrasi Republik Romawi bahkan Athena Kuno telah mempraktikkan model parlemen. Pada masa Romawi Kuno dikenal majelis legislatif.
Fungsi Majelis Legislatif pada masa itu memiliki fungsi sebagai penentu keputusan akhir mengenai pemilihan hakim, pengesahan undang-undang baru, pelaksanaan hukuman mati, deklarasi perang dan perdamaian, dan penciptaan (atau pembubaran) aliansi. Keputusan tersebut diambil setelah sebelumnya diajukan oleh Raja Romawi. Sehingga, fungsi majelis legislatif pada masa Romawi Kuno persis merupakan bentuk pengawasan terhadap Raja.
Jauh sebelum Republik Romawi, Yunani Kuno atau dikenal juga dengan Athena Kuno telah mempraktikkan model lembaga pengawas. Sebab itu, dalam kajian demokrasi, Yunani Kuno disebut sebagai tempat lahirnya demokrasi.
Masa itu, telah ada Majelis Athena atau lebih dikenal dengan ekklesia. Ekklesia adalah lembaga perwakilan yang unik. Tidak seperti model Majelis legislatif pada masa Romawi atau model parlemen sekarang yang diisi oleh wakil rakyat. Cara ekklesia tidak hanya diisi oleh wakil rakyat namun pula setiap warga negara dapat datang dan menyampaikan pendapatnya. Pada konsep inilah disebut dengan demokrasi langsung (direct democracy).
Cara demikian, dapat dimaklumi karena Yunani Kuno negara terbentuk hanya dalam batas territorial yang kecil (city state) dengan warga negara yang relatif masih sedikit. Sebab itu, kehadiran setiap warga negara dalam kerja pengawasan yang dilakukan oleh ekklesia sangat mungkin. Berbeda dengan desain negara di masa sekarang yang cenderung lebih luas serta jumlah warga negara yang jauh lebih banyak.
Mengukur Kerja Parlemen
Sebagaimana telah disebutkan oleh penulis di atas, secara harfiah, parlemen diartikan “untuk berbicara”. Sejarahpun mencatat sejak Yunani Kuno, kehadiran parlemen adalah untuk mengawasi kerja pemerintah. Sebab itulah fungsi utama parlemen adalah pengawasan.
Perkembangannya, fungsi parlemen tidak hanya melakukan pengawasan terhadap kerja pemerintah, namun juga ditambah fungsi legislasi dan fungsi anggaran. Namun, makna filosofis penambahan fungsi legsilasi dan fungsi anggaran tidak dapat dilepaskan dari fungsi pengawasan.
Fungsi legislasi diberikan kepada parlemen dimaksudkan untuk memisahkan pembentuk UU dari pelaksanan UU (eksekutif) berada pada satu tangan. Hal ini, untuk menghindari praktik pemerintahan yang korup terlaksana. Sebagaimana aksioma Politik Lord Acton “Power tends to corrupt, absolute power tend to corrupt absolutely”. Sebab itu, fungsi legislasi diletakkan kepada parlemen. Dengan demikian, pembentukan UU yang dilakukan oleh parlemen mutatis mutandis merupakan bentuk pengawasan parlemen terhadap kerja pemerintah.
Seperti halnya fungsi legislasi, fungsi anggaran diberikan kepada parlemen untuk memastikan penyusunan dan penggunaan anggaran tidak diselewengkan oleh pemerintah. Karena, sumber keuangan negara adalah pajak rakyat. Dengan kehadiran parlemen dalam penyusunan anggaran maka diharapkan anggaran yang bersumber dari rakyat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Pada titik ini, penulis tidak setuju jika kinerja parlemen diukur dengan menghitung seberapa banyak jumlah produk hukum yang dibuat oleh parlemen. Karena, persoalan daerah tidak melulu dapat diselesaikan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebab itu, menurut penulis mengukur kinerja parlemen yang tepat adalah dengan melihat seberapa kuat parlemen mengawasi pemerintah.
Closing Statement
Sebagaimana sejarah kelahirannya, lembaga parlemen dimaksudkan untuk mengawasi kerja pemerintah. Sebagaimana akar kata parlemen dari bahasa Prancis “Parlere” yang berarti bicara. Bicara untuk pengawasan, bicara untuk kepentingan rakyat, bicara untuk mengontrol pemerintah. Jangan sampai bicara “Parlente” apalagi “Pardidu” dengan modus studi banding.[]