× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#OPINI

Barat dan Timur

Membangun keterbukaan, keragaman dan kemajuan.
Barat dan Timur
Barat-Timur. Sumber: anginsegar.com

04/03/2020 · 15 Menit Baca

Dunia Barat dan Timur dari berbagai segi dan aspek, memang menjadi daya tarik tersendiri untuk dikaji dan diperbincangkan. Dari sisi sejarah, pembagian dunia Timur dan Barat perlu diketengahkan bahwa, itu adalah produk era kolonialisasi, Barat dalam hal ini identik dengan Eropa dan Amerika, menjajah dan menguasai wilayah Timur (Asia dan Afrika). Sedangkan dunia Timur, adalah masyarakat terjajah, terduduki, dan terampas kemerdekaannya. Inilah yang kemudian menjadi pemisah pandangan antara Barat dan Timur. Barat yang dilabeli dengan Kristiani dan Yahudi. Sedangkan Timur adalah masyarakat yang beragama lain, yakni: Isla. Maka secara sederhana, Barat dan Timur adalah Islam versus Kristen dan Yahudi, sehingga timbul pemikiran adanya konspirasi keduanya (Kristen dan Yahudi) untuk menghancurkan Islam.

Fenomena ini memanglah berlaku pada masa lalu era kolonial, namun pada era perkembangan zaman, kajian, pengetahuan, dan dunia sendiri juga berubah sehingga hal tersebut perlu dilihat se-objektif mungkin untuk memberi penilaian seperti itu. Memang, dari sisi sejarah, Barat pernah berlaku tidak adil pada Timur, perlu diketahui juga bahwa, Timur juga pernah berlaku tidak adil pada Barat, juga pada Timur itu sendiri, dan tentu saja Barat terhadap Barat sendiri. Fakta ini memang benar adanya, namun langkah untuk berpikir kedepan dan tidak lagi memikirkan hal yang sama adalah langkah objektif dalam menilai pandangan kita terhadap dua dunia ini.

Jika dilihat pada sisi sosiologis dan filosofis, pengertian Barat dan Timur itu sendiri juga terletak permasalahan di dalamnya, terutama pada konteks dunia masa kini. Barat tidak dapat dinilai dan dilihat secara utuh, atau bukanlah satu kesatuan adanya, tetapi Barat sendiri, di dalamnya menyangkut banyak negara, bangsa, ras, warna kulit, dan tradisi. Kekeliruan ini yang sering terjadi pada sebagian orang. Barat diidentikan dengan kelompok yang hendak menghancurkan Timur, terutama Islam. Barat mempunyai banyak negara yang berbeda, bahkan di antara mereka saja saling berbeda pandangan dan dalam sejarahnya mereka juga sering kali berperang. Begitu juga dengan Timur, yang tidak satu kesatuan, maupun Islam yang mempunyai setiap warna pada konteks wilayah di mana Islam itu hadir (merupakan bagian dari Timur), yang dilihat dari banyak faktor, pembagian, ragam, dan juga tradisi pada setiap wilayahnya. Islam tidak satu. Barat tidak satu. Timur juga tidak satu. Mereka beragam dan kompleks.

Kembali ke konteks sejarah. Dengan gambaran fakta yang tidak menyenangkan, banyak luka, coretan, sayatan, dan bau tidak sedap. Sejarah memberikan pelajaran yang berharga bukan karena indahnya, melainkan buruknya sejarah manusia itu hadir dan ditulis. Di dalamnya terlukis secara gamblang pertentangan antara Barat dan Timur, Barat dengan Barat, Timur dengan Timur, perang agama, perang sesama agama, saling membunuh antar ras dan etnis, sesama etnis dan ras, saling tikam antar saudara, tetangga dan tamu. Dapat dilihat juga bahwa sejarah Barat dan Timur, Barat dan Barat, juga Timur dan Timur, mempunyai sisi buruk, kelam, dan gelapnya masing-masing. Ini menjadi perhatian dalam menilai keduanya menjadi warisan yang kadang mengganggu proses berfikir kita secara lurus, pada pembagian dunia antara Timur dan Barat.

Sudah sepatutnya dapat disadari bersama, bahwa, saat ini kondisi dunia telah berubah, dan akan berubah terus. Pembagian dunia antara Timur dan Barat dapat dijadikan dan dipelajari sebagai ilmu sejarah, juga sebagai ilmu budaya kontemporer, karena faham pembagian itu memang masih banyak dipegang dan bertahan. Tetapi kenyataannya, perkembangan mutakhir, Barat dan Timur semakin dekat, juga sekaligus kompleks, bahkan sulit rasanya dalam dunia akademik terutama, membedakan Barat dan Timur dari sisi pandangan, karya, dan perbedaan nyata (mungkin nyata karena ideologi dan misi). Barat sekarang adalah Barat yang sudah majemuk karena hadirnya Timur di Barat, begitupula dengan Timur yang juga sudah majemuk.

Hal ini dikarenakan Barat yang sudah  bertambah dekat, terlihat dari manusia sendiri yang dengan mudah berkomunikasi antara satu dan lainnya. Dalam dunia akademik, kedua wilayah ini sudah tentunya adalah milik bersama, terlihat dari Barat dan Timur, saling bekerjasama dalam pendidikan, penelitian, dan penulisan. Semua bertemu, bekerja, dan menggunakan media yang sama. Barat dan Timur memang belum sejajar dari sisi ekonomi, politik, dan sosial, tetapi relasi itu jauh lebih kompleks daripada sekedar siapa yang di atas dan siapa yang di bawah. 

Dalam dunia akademik dan juga umum juga seringkali menjadikan Barat seperti momok traumatis bagi mereka sebagian orang yang meyakini dengan ideologi sempit, sampai pada menyatakan Barat adalah virus yang harus dibuang sejauh mungkin. Memang benar adanya, Barat menghasilkan banyak karya di masa lalu yang sangat bias, tidak obyektif, salah faham, dan menganggap Timur sebagai musuh, terbelakang, Barbar, terjajah, dan berbeda dengan peradaban, kemajuan, dan intelektual. Namun, perlu disadari bahwa, itu adalah bagian dari sejarah intelektual Barat. Sedangkan bagian dari intelektual Timur adalah menjadikan dirinya obyek semata. Dirinya terjajah, tidak mewakili dirinya sendiri, dan menghambat intelektual Timur itu sendiri (Hassan Hanafi). Hal inilah kemudian membuat gerakan revolusi dan progresifitas intelektual Timur datang dan bertempat tinggal di Barat, seperti, Arkoun, Rahman, Iqbal, Abu Zayd, Ramadan, dan lain-lain.

Kita yang hidup di Timur pun tentunya harus sadar dan perlu dibukakan pemikirannya agar ketika melihat ilmu-ilmu yang berdatangan dari Barat tidak dijadikan sebagai alergi, melainkan objek yang harus diteliti, dikaji, dan dimaknai secara lebih jauh sebelum menilai denga dalih sejarah kelam. Ini kemudian dikemukakan oleh beberapa tokoh intelektual Timur, seperti Hassan Hanafi dan Mukti Ali lewat ilmu Oksidentalisme (tentang Barat) dengan metode yang berbeda. Hanafi memfokuskan pada kajian tentang Barat, supaya Timur mempelajari Barat, sejarah, peradaban, dan pengetahuan. Mukti Ali, dengan menyadarkan pentingnya metode pengetahuan Barat untuk mempelajari Timur, sehingga tidak telihat bahwa Timur mewakili dirinya sendiri tetapi mewakili dunia secara utuh.

Barat mencapai kemajuannya sampai melahirkan wacana tentang ketimuran (Orientalisme), dan membentuk dunia, hal ini karena adanya keterbukaan pemikiran dan gagasan Barat itu sendiri. Barat bersedia belajar tentang Timur, dan dengan usaha dan waktu yang panjang. Itulah letak kehebatan Barat, bersedia belajar tentang Timur, mulai dari bahasa, tradisi, budaya, dan agama-agama Timur, yang dilakukan secara utuh, tanpa melihat belenggu yang ada setiap masanya. Hal ini tentu dengan tujuan melahirkan ‘Pencerahan’ yang menandai kebangkitan, dan membawa Barat pada pengetahuan, teknologi, politik, dan budaya.

Hal yang sama tentu akan terjadi pada Timur dengan bermimpi hal yang sama, membangun sifat keterbukaan untuk belajar, menerima, dan berdedikasi dengan Barat. Walaupun Barat saat ini sudah merasa di depan, tetapi keterbukaan itu terus pertahankan: bahkan membawa orang Timur ke Barat untuk mengajarinya (menjadikan para ilmuwan Timur warga Barat). Inilah keterbukaan yang dimaksud, keterbukaan terhadap keragaman, perbedaan dalam pandangan, perpsektif, tradisi, sehingga menjadi modal utama untuk kemajuan. Belajarlah dari cara intelektual Islam sendiri, ketika era Baghdad dan Damaskus, mengambil tradisi Yunani, Latin, Persia, dan India. untuk dipelajari, diakomodasi dan ditranformasikan sebaik mungkin.

Pada orientasi setiap negara-negara Barat sendiri terdapat kritik antara satu sama lain, sehingga dijadikan sebagai bahan yang serius dan berkembang. Kritik Orientalisme dan Oksidentalisme juga dilakukan di Barat dan kemudian diresponsnya dengan serius. Itulah tanda pengetahuan, terbuka terhadap kritik. Tentu berbeda dengan Timur, yang cenderung lebih defensive (mempertahankan ideologi dan tradisi sendiri), apologetic (membela dan membenarkan tradisi dan ideologi sendiri), dan romantic (mengagung-agungkan prestasi masa lalu). Timur setidaknya harus berani mengkritisi Timur itu sendiri, tidak hanya selalu mengkritisi Barat, dan menjadikan Barat sebagai orang yang bertanggungjawab atas  kemunduran yang terjadi pada Timur. Inilah yang membedakan antara tradisi yang dibangun antar keduanya.

Argumentasi di atas tidak hanya tentang perihal yang terjadi pada satu wilayah saja, melainkan terjadi di seluruh penjuru dunia, bahkan di Indonesia sendiri, namun perlu tinjauan lebih jauh, karena Indonesia mempunyai segala kelebihan dan kekurangan. Perihal di atas juga dapat dijadikan sebagai cerminan juga bahan refleksi dalam rangka kemajuan bangsa Indonesia kedepan menjadi negara dengan keterterbukaan, bukan lagi alergi atas keragaman pemikiran yang datang, baik di Timur sendiri maupun dari Barat. Menjadikan Indonesia negara yang penuh warna bukan berhenti pada satu warna saja.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak, dapat dijadikan sebagai modal dalam upaya melakukan keterbukaan demi keragaman sebagai pemicu pencerahan pada dunia yang lebih luas. Terlihat bahwa Indonesia mampu meracik tradisi dengan segala keterbukaan atas keragaman, perbedaan, dan akomodatif terhadap budaya dan tradisi berbeda-beda. Ini dapat menjadi unsur pendukung dalam membangun progres berpikir secara terbuka terhadap apa saja yang datang, agar Indonesia menjadi negara yang beragam, terbuka dan mampu menerima perbedaan antara satu sama lain, buka alergi terhadap satu sama lain, terutama pada hal yang datang dari Barat.

Indonesia harus menjadi tempat pencerahan Islam, dengan menghadirkan keterbukaan dalam menerima keragaman dan perbedaan. Indonesia dapat dijadikan sebagai tempat implementasi dari pemikiran tokoh intelektual Islam seperti, Arkoun, Hassan Hanafi, Abu Zayd, Rahman, Shahrur, dan lain-lain. Sebagai contoh, hadirnya hermeneutika, dekonstruksi, dan post-modernisme yang selalu menjadi pembahasan di kalangan intelektual Muslim Indonesia dapat digunakan sebagai langkah kemajuan Indonesia. Indonesia akan menjadi tempat berkumpulnya para cendikiawan dengan semangat keterbukaan dan keragaman dalam memandang dan menggabungkan tradisi Barat dan Timur, sekali lagi sebagai langkah untuk kemajuan Indonesia kedepan. Menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang mendunia.


Share Tulisan Muhammad Sakti Garwan


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca