
Jakarta di penghujung Maret dengan langit malam yang kelabu. Jasad renik itu entah di mana. Beton-beton pencakar langit di sana terlihat seperti gerigi kota yang menggigil. Bintang-bintang menghilang, mungkin sedang lockdown. Hanya ada satu dua yang terlihat redup nun jauh di sana, mungkin pula dalam program social distancing. Sementara televisi di dalam sana teriak-teriak soal pro-kontra lockdown; imbauan yang tak digubris; dan Covid-19 yang makin meluas bla...bla... bla....
Dunia serasa sempit. Kabar berita terus menyuarakan kegiatan di berbagai belahan dunia yang nyaris seragam. Serentak warga bumi dilaporkan kerja bakti, membersihkan lingkungan masing-masing. Ini bukan lagi imbauan ketua rukun tetangga. Semua diambil alih presiden, raja, perdana menteri masing-masing negara. Dunia gentar pada sesuatu yang tak terlihat mata telanjang.
Tak ada satupun negara yang siap. Semuanya gagap, gugup dan panik hadapi si jasad renik ini.
Tak mengenal strata. Warga biasa, artis, menteri, wakil presiden dan pangeran juga terinfeksi virus ini. Tidak mengenal pangkat dan kedudukan. Pengamanan ketat badan intelejen, pasukan pengawal terlatih yang berlapis-lapis jadi tak berarti.
Lockdown, social distancing, quarantine dan berbagai istilah tanggap darurat diterapkan untuk membendung wabah ini. Doa segala agama dipanjatkan. Manusia hilang nyali. Ekonomi mabuk. Kekuatan persenjataan nuklir yang dahsyat, buat apa. Nganga di gudang-gudang persenjataan.
Dunia seperti mengalami gatal di punggung dan tak tahu bagaimana harus menggaruknya. Sudah hampir 10 hari ini bumi mandi disinfektan namun gatal itu belum menunjukan tanda-tanda menghilang.
April sedikit lagi tiba dan kita masih berkutat dengan kecemasan yang sama sejak awal tahun. Bahkan kini makin cemas, berdampak pada berbagai sektor.
Waspada! Itu saja hendaknya tetap kita tinggikan untuk mencegah tertular virus ini. Bersih lingkungan dan diri. Kerap cuci tangan dan menerapkan etika saat batuk dan bersin adalah hal mudah untuk kita lakukan. Hal mudah yang kini menjadi perisai bumi.
Mesin perang, letoy. Etika dan kebersihan jadi senjata yang ampuh bagi warga bumi yang bertahan. "Saling Mendengar" menegur kita dengan wajahnya yang lain. Menegur kesadaran kita yang bebal akan pentingnya "saling mendengar" itu. Agar waspada dan tahu diri akan nilai-nilai keutamaan masing-masing kita.
Dokter Li Wenliang adalah contoh awalnya. Bahwa betapa bahayanya jika kita tak saling mendengar. Bahkan dari seorang ahli sekalipun. Ia orang pertama yang memperingatkan masyarakat dan Pemerintah Cina mengenai wabah virus corona di Wuhan sana. Ia kini sudah almarhum akibat terpapar virus tersebut pada 7 Februari 2020.
Ia pahlawan. Bukan hanya sebagai orang pertama yang memberi peringatan akan wabah Covid-19 yang kini bikin seisi dunia terseok-seok. Namun ia jualah pemicu kesadaran kita akan arti saling mendengarkan itu. Peringatan pada pentingnya keselamatan manusia akan bahaya virus corona ia dengungkan bahkan sebelum mewabah. Eh, ia justru dipanggil dan diinterogasi polisi Cina. Ia dituduh sebagai penyebar hoaks yang meresahkan publik.
Semoga amal ibadahnya diterima Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita berdoa saja untuk Li Wenliang dan para korban virus corona yang meluas kini, sambil terus mengingat apa yang diperingatkannya tentang "saling mendengar" itu. Sejumlah temuan baru penting untuk diketahui dan semoga segera diupayakan solusi penanganannya. Jangan lagi, bebal.
Kini, para dokter dan perawat sedang bertarung di garis depan dengan cara-cara darurat menurut kita yang awam. Menurut mereka, paramedis, merekalah justru benteng terakhir. Bukan garda terdepan. Kitalah masyarakat luas ini adalah garda terdepan dalam melawan Covid-19. Benar saya rasa.
Masa ini, mata penduduk bumi yang memelas, mengarah pada para peneliti. Mereka yang kini sedang menggencarkan penelitiannya untuk mengungkap virus ini berikut pencarian vaksinnya. Seluruh mata warga bumi yang mulai berkunang-kunang pun menaruh harap pada mereka--para pejuang kemanusiaan itu.
Semoga Tuhan memudahkan para peneliti itu dalam menemukan vaksinnya. Juga mereka paramedis yang kini sedang berjibaku menyelamatkan jiwa-jiwa, meski lidah maut sedang menjilatinya. Kita, baiknya, patuh saja pada kepakaran mereka. Saran juga masukan dari para ahli itu. Ahli dibidangnya.
Keahlian merekalah tempat kita bersandar pada ikhtiar sesama umat manusia yang diberi akal dan keahlian oleh Sang Pencipta. Semoga vaksin itu segera ditemukan, maka bencana ini bisa segera surut. Semoga kabar baik itu menghampiri kita dengan segera. Amin.
Salam Juang.