
Manusia menghadapi krisis biut, tak hanya karena virus corona, tetapi juga kepercayaan antara manusia itu sendiri. Lagi, Li Wenliang di negeri Tirai Bambu sana paling baik dijadikan contoh awal untuk meng-uppercut ulu hati ke-bebal-an manusia di bumi.
"Untuk mengalahkan epidemi, orang perlu mempercayai para ahli ilmiah, warga negara perlu mempercayai otoritas publiknya, dan negara-negara harus saling percaya." Ini dituliskan Yuval Noah Harari jauh sebelum awal tahun ini, sebelum corona naik panggung.
Selama beberapa tahun terakhir, para politisi yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja merusak kepercayaan pada sains, otoritas publik dikata-katai dan dimaki-maki, dan dalam kerja sama internasional dibangun rasa saling curigai bahkan dikompori dengan sentimen-sentimen rasis. Dan kita tahu, itu tak hanya terjadi di sini.
Saat jasad renik ini datang menabok muka para pengambil kebijakan--tampang bebal yang petantang-petenteng itu kini ciut. Air mata meluncur pelan di pojokan. Lalu teriak-teriak solidaritas.
Sekarang, kita menghadapi krisis karena kehilangan saling percaya itu. Respon global dan lokal sami mawon, matero bato, rusak tak terkoordinasi. Bahkan pada negara-negara yang disebut maju pun, kini tampangnya seperti sedang menonton pertandingan voli dari bawah net dengan mulut menganga.
AS pernah memimpin perlawanan saat epidemi Ebola 2014. Sebelumnya, AS juga berperan saat krisis keuangan pada 1998 dan 2008, mencegah krisis ekonomi global (katanya). Namun belakangan ini AS nyender di dinding sambil bergeser menyamping, mundur sebagai pemimpin dunia.
Tak hanya mundur, Pemerintah AS saat ini bahkan memotong dukungan dana untuk organisasi internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia dan itu adalah pernyataan jelas bahwa AS kini adalah penyanyi solo – tak punya harmoni sebuah big band—tak punya sekutu. Tak seperti saat kampanye dahulu menghantam teroris sebagai polisi bumi. Ia kini hanya memiliki kepentingan.
Ketika krisis virus corona meletus, AS sunyi senyap, tidak mengambil peran utama. Jadi bloon, kata anak kampung rawa. Kata anak sini, naunau. Negara adidaya, adilaga itu, jadi aling-alingan.
Ketidakpercayaan kini menjadi ciri sebagian besar sistem internasional. Tanpa kepercayaan dan solidaritas global, kita tidak akan bisa menghentikan epidemi virus corona, dan kita cenderung melihat lebih banyak epidemi seperti itu di masa depan. Itu sudah ditulis Yuval Noah Harari dalam Homo Deus empat tahun lalu dan isme-isme ngawur dalam Sapiens delapan tahun lalu.
Tetapi harapan harus tetap ada, karena setiap krisis juga merupakan peluang, begitu yang tersurat dalam Homo Deus. Itu diajarkan sejarah. Sapiens sudah pernah membuktikan mampu dalam mengahdapi epidemi. Semoga epidemi saat ini juga bisa membantu umat manusia menyadari bahaya akut yang hakiki yang ditimbulkan oleh perpecahan global ini.
Jika masing-masing negara dibiarkan berjuang sendiri, maka epidemi itu mungkin akan menjadi lonceng kematian seluruh umat manusia. Yang jelas terlihat di pelupuk mata saat ini, ekonomi, sekarat. Ada menteri keuangan yang bunuh diri. Jika lebih lama menyadari pentingnya solidaritas dunia, maka tak menutup kemungkinan layar bumi ini akan bertuliskan Game Over. Andaikan saja petaka itu tiba dan kita bisa langsung dengan sekejab menggesek powercard seperti saat main game di Timezone, silakan saja teruskan kebebalan itu.
Di saat krisis ini, perjuangan krusial terjadi di dalam kemanusiaan itu sendiri. Jika epidemi ini menghasilkan perpecahan yang lebih besar dan ketidakpercayaan di antara manusia, itu akan menjadi pawai kemenangan virus. Dan kemudian di tahun-tahun mendatang, mereka mungkin bikin acara panjat pinang, lari karung, menembakkan kembangapi ke udara dan rayakan kemenangannya sambil minum darah kita.
"Ketika manusia bertengkar, virus berlipat ganda. Sebaliknya, jika epidemi menghasilkan kerja sama global yang lebih dekat, itu akan menjadi kemenangan tidak hanya terhadap virus corona, tetapi juga terhadap semua patogen di masa depan."--Yuval Noah Harari.
Logika yang dibangun Harari dalam berbagai tulisannya tentu berdasarkan riset: ada ratusan juta orang di seluruh dunia yang bahkan tidak memiliki layanan kesehatan dasar. Ini membahayakan kita semua. Negara maju sudah terbiasa memikirkan dan menerapkan kesehatan secara nasional dengan modern dan canggih, tetapi itu percuma saja jika layanan kesehatan yang lebih baik tidak ada di negara-negara lain. Kita mau bukti? Ya corona ini.
Membantu Wuhan yang tak semodern Eropa dan AS, juga sama dengan membantu dan melindungi Eropa dan Amerika itu sendiri, bahkan seluruh dunia dari wabah. Secanggih apapun protokol kesehatan negaramu dan membuat virus di negaramu jadi tak ganas, bahkan mungkin bisa berhadiah sekalipun, tidak menjamin virus brutal buta hati yang tak terdeteksi di negara lain datang bertamu lewat bandara-bandara, pelabuhan-pelabuhan tanpa tiket. Kebenaran sederhana ini harus jelas bagi semua pengambil kebijakan.
Pada Financial Times, Harari menuliskan pula dalam perang melawan virus, manusia perlu menjaga perbatasan dengan cermat. Bukan perbatasan antar negara, tapi perbatasan yang memisahkan ruang virus itu dari dunia manusia yang melintas di dalam tubuhnya dalam mutasi gen dan berevolusi. Nah, jika virus berbahaya berhasil menembus perbatasan atau kekebalan manusia di mana pun di bumi ini, itu akan membahayakan seluruh spesies manusia.
Masih dengan Harari, "ketika sebuah negara dilanda epidemi, negara tersebut harus bersedia untuk jujur berbagi informasi tentang wabah tanpa takut akan bencana ekonomi. Sementara negara-negara lain harus dapat mempercayai informasi itu, dan harus bersedia untuk memberikan bantuan daripada mengucilkannya." Setuju! Jika itu tidak, mari lihatlah sekelilingmu sekarang. Nyamankah kamu Beb?