Hari Bumi diperingati setiap 22 April. Namun, tahun ini berbeda dari biasanya. Dimana bumi memiliki waktu yang lebih akrab dengan dirinya sendiri. Bumi sedang menikmati waktunya sendiri, dan tentunya sangat bermanfaat bagi manusia sebagai makhluk berakal budi sebagai penghuninya.
Sejak 50 tahun silam atau pada 1970, bumi baru kali ini menghadapi dua krisis yakni wabah virus corona (Covid-19) dan perubahan iklim. Selain itu, bencana yang mengancam iklim.
Setidaknya, itulah yang dialami bumi sebagai tempat manusia berpijak untuk hidup. Namun, sejak peradaban modern muncul, bumi seolah hanya menjadi sasaran ekspolitasi untuk keserakahan perut manusia.
Sebuah program yang diberi nama "The Value of Land" merilis laporan terbarunya tentang kerusakan lingkungan yang dialami Bumi saat ini. Organisasi yang digagas organisasi Economics of Land Degradation Initiative (ELDI) itu menyertakan 30 organisasi lingkungan dalam penelitian di berbagai penjuru Bumi selama 4 tahun terakhir.
Dalam hasil penelitian itu menyebut, kerusakan lingkungan akibat ulah manusia sejak tahun 2000 telah menghilangkan 75 persen nilai ekonomis alam yang bisa dimanfaatkan manusia. Nilai ekonomis itu diperkirakan bisa mencapai Rp 1 triliun per satu kilometer persegi.
Selain itu, pemerintah harus menyuntikkan investasi di dunia pertanian sampai Rp 400 triliun per tahun agar lahan-lahan pertanian tetap menghasilkan bahan pangan untuk seluruh manusia di Bumi. Hal itu akibat kerusakan lahan pertanian sebesar 52 persen di berbagai negara.
Luas lahan di Bumi yang dilanda kekeringan parah meningkat hingga dua kali lipat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir (tahun 1970-an hingga tahun 2000-an).
Lagi-lagi, kerusakan tersebut tersebut akibat ulah manusia yang katanya disebut sebagai makhluk berakal di jagat ini. Hal itu terlebih lagi menjadi miris, karena sebagian besar penduduk bumi menyatakan mereka memeluk satu agama tertentu. Berdasarkan data, terdapat 7,167 miliar manusia di muka bumi ini memeluk satu agama atau kepercayaan tertentu.
Dalam agama apa pun setidaknya memiliki konsep teologi yang mampu membangun hubungan mereka dengan Tuhannya, dan lingkungan ataupun manusia klainnya. Teologi kerap dimaknai cabang dari ilmu agama yang membahas tentang ketuhanan.
Dalam Islam (meskipun belum diterima semua kalangan), teologi kerap diberi pengertian sesuai dengan konteks pembahasan, baik antara manusia, alam dan Tuhan.
Teologi dapat diartikan sebuah nilai yang berkaitan dengan eksistensi atau keberadaan Tuhan. Dalam hal ini, teologi bisa juga dikatakan cara menghadirkan Tuhan dalam seluruh aspek kegiatan manusia, termasuk pengelolaan lingkungan. Atau dalam arti yang lebih praktis, teologi merupakan pedoman manusia menjalin hubungan dengan alam dan lingkungan.
Dalam hal ini alam sebagai objek kajian dan relasinya dengan ketuhanan menjadi penting, karena dalam Islam alam semesta merupakan manifestasi dari Yang Maha Ghaib. Dalam pandangan Islam, realitas alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku.
Sayyed Hosein Nasr, memiliki konsep lain terkait teologi lingkungan. Menurutnya, cara pandang antroposentrisme adalah salah satu pemicu munculnya krisis lingkungan. Antroposentrisme menganggap manusia merupakan sebagai pusat ekosistem. Bagi Nasr, cara pandang ini menentukan tatanan ekosistem adalah manusia dan kepentingannya.
Dengan kata lain, segala sesuatu di luar manusia hanya akan menjadi penunjang bagi kepentingan manusia itu sendiri. Nasr dalam Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968) mengatakan, krisis lingkungan yang saat ini tejadi akibat ketamakan manusia. Bahkan, krisis ekologi saat ini akibat akibat dari gaya hidup saintisme.
Untuk menghindari krisis lingkungan tersebut, cara pandang itu sejatinya harus Teosentrisme, Tuhan sebagai pusat alam semesta. Dalam arti lain, segala perilaku manusia di atas muka bumi ini merupakan pengabdian kepada Tuhan sebagai realitas pusat, bukan manusia. Sementara segala yang diciptakan Tuhan di alam semesta ini hanya cara atau alat untuk menuju kepada Tuhan itu sendiri.
Jika kita merefleksikan wabah virus corona yang tengah terjadi, tentunya sangat disadari bahwa manusia tidak bisa berbuat apa-apa, selain menghindari penyebaran virus yang mematikan itu. Selain itu, harus disadari pula, alam punya cara sendiri untuk membuatnya tetap terjaga dari kerusakan.
Bahkan para peneliti tentang bumi dan lingkungan punya cara pandang berbeda terkait bumi yang saat ini tengah melakukan perbaikan.
Mohammad Darvish, anggota dari Dewan Keamanan Nasional untuk lingkungan merujuk dampak wabah virus corona (Covid 19) yang menyebar ke hampir seluruh belahan dunia, mengatakan penyebab-penyebab kerusakan lingkungan akibat ulah manusia mulai menurun sejak wabah virus tersebut.
Melansir Tehran Times, sejak awal tahun 2020, dan untuk pertama kalinya secara berturut-turut, emisi gas rumah kaca, konsumsi bahan bakar fosil, lalu lintas udara, darat dan laut secara drastis telah menurun.
Kondisi tersebut menurut dia membuat emisi gas rumah kaca berada dalam kondisi yang sama dengan tahun 1990-an pada Maret 2020. Darvish mengatakan, kurangnya pergerakan manusia di alam dan lingkungan luar ruangan secara signifikan juga mengurangi jumlah polusi suara. Kondisi tersebut juga memudahkan ahli geologi untuk mempelajari kondisi kerak luar bumi.
Darvis juga mengatakan, pergerakan sekitar 3,5 miliar orang di bumi yang bepergian menggunakan alat transportasi seperti kereta api, mobil, pesawat, kapal, serta kegiatan konstruksi memberi dampak tekanan pada kerak luar bumi.
Sejak wabah virus corona, kata dia, hampir semua operasional tersebut dihentikan. Hal tersebut mengakibatkan tidak ada gempa yang terjadi karena pergerakan manusia. Sehingga hal itu membantu memudahkan para ahli geologi melakukan riset dan studi. Darvish juga mencatat akibat baik yang ditimbulkan bagi kondisi bumi.
Salah satu hal yang paling penting penyebab lapisan ozon berlubang adalah penggunaan gas chlorofluorocarbon (CFC) yang biasa digunakan pada kulkas.
Menurut Darvish, selama satu dekade penggunaan gas tersebut telah berkurang. Hal itu menyebabkan lapisan ozon telah diperbaiki selama lebih dari satu dekade.
Protokol Montreal untuk Konvensi Wina, mengakui tanggung jawab negara-negara dalam memperbaiki lapisan ozon dan telah menjadi salah satu konvensi lingkungan paling sukses. Gerakan itu telah menyelamatkan bumi dari kerusakan lapisan ozon.
Selain itu, pergerakan satelit, pesawat terbang, rudal dan aktivitas semacamnya juga mempengaruhi lapisan ozon. Selama dua bulan terakhir aktivitas itu telah menurun secara drastis.
Penurunan keberadaan manusia di habitat alami sejak wabah virus corona, kata Darvish, membuat tingkat kehidupan satwa liar meningkat secara drastis.
Sementara itu, populasi satwa liar di sejumlah negara menurun dari 29 sampai 40 persen selama dekade terakhir. Peningkatan populasi satwa liar sejak wabah virus corona mulai meningkat.
Selain itu, berkurangnya wisatawan di habitat alami juga menjadi pemicu meningkatnya keanekaragaman hayati sejak penurunan industri pariwisata. Kegiatan berkemah dan berwisata di habitat alami satwa liar berkurang drastis dan mengurangi kebakaran hutan.
Wabah virus corona membuat bumi mampu “bernapas lebih dalam” karena ketidakhadiran manusia di sejumlah habitat alaminya. Menurut Darvish, semua spesies tumbuhan dan hewan bahkan serangga berkontribusi pada ketahanan bumi.