Nostradamus meramalkan munculnya tiga kehancuran. Dan kehancuran terakhir datang dari “El Mabus” Sang Kiamat. Apakah Belanda merasakan kiamat datang bersama Jou Barakati di Maloko Kie Raha saat itu? Entah. Semoga Allah merahmati Nuku, orang yang mengenal kadar.
Kini tinggal bagaimana kita memaknainya. Menyerap makna-makna yang Nuku tinggalkan pada Jazirah Al Mulk ini tuk dijadikan ilmu meluruskan kalbu – teguh di jalan Allah.
Mari kita tengok bagian kecil ini(?) barang sejenak, tuk dijadikan pelajaran.
Patra Alam adalah pedang dengki yang menebas mati doa-doa dan nasihat moyang. Serakahlah ia, maka ia juga kita, punya kecendrungan yang sama akan ketamakan dan keserakahan.
Patra Alam lebih terasa hidup di diri kita dibanding Nuku. Ia lebih membumi karena bersarang lekat di jiwa-jiwa masing-masing kita. Sukar kita membuang sifat Patra, sesukar kita membuang nikmat duniawi.
Itu kiranya sebab, Nuku kita kagumi karena mampu melawan godaan nafsu yang kita tak kuasa membendungnya. Ia mampu menolak nikmat lalu berkarib dengan derita untuk tujuan maslahat umat. Di sini jelas, Nuku tak waras bagi pecinta surga dunia.
Kita mengagumi Nuku karena tak mampu berbuat sepertinya. Tak mampu untuk memikirkan dan memerdekakan banyak orang dari penindasan, jika nikmat merdeka untuk diri sendiri juga kelompok dan golongan tersua di depan muka dengan hanya membutuhkan jiwa tamak yang gampang menyeruak.
Jika kita mengatakan bahwa Nuku adalah orang yang keras; teguh dalam pendirian; mencintai bangsanya dengan ikhlas; mengutamakan kepentingan umum dari kepentingan pribadi; melawan penindasan; pemimpin yang hebat; jou barakati, maka kesemuanya itu kita bandingkan dengan apa kalau bukan dengan diri kita yang lembek, tamak, plin-plan, pamrih, mementingkan diri sendiri dan gelojoh.
Sementara keberanian Nuku jika ditelisik, hanyalah keberanian seorang anak manusia biasa, keberanian yang lahir dari rasa takut yang telah berdoa. Yang juga ada pada diri kita masing-masing namun tak memilih jalan terjal itu.
Jangan mengagungkan Nuku dalam retorika, jangan meninggikannya ke langit nun jauh hingga kita sendiri tak mampu menggapai. Bawalah ia ke bumi sebagai panutan hidup kita, sesuai hidupnya yang sederhana bersahaja dan jangan pura-pura lupa, ajak juga Patra Alam, sebagai pembanding baik dan buruk. Seperti gelap harus ada, agar kita tahu maknanya terang.
Mendamba generasi penerus nanti memiliki nilai-nilai ke-nuku-an sungguh mengandung paradoks, karena kehendak itu sesungguhnya juga menuntut pelaksanaan dari si pengharap. Mencontohkannya, bukan dengan teriak-teriak meyakinkan di podium-podium tipudaya. Percuma.
Kesadaran seperti itu mengajak kita mengembalikan makna kepahlawanan kekewajaran manusia. Dengan begitu, kepahlawanan tidak lagi jadi monopoli Nuku yang diberkati, bila setiap kita bersedia memeriksa cara dan makna perjuangan, maka semua orang di Maloko Kie Raha ini, punya peluang menjadi nuku-nuku baru yang teberkati. Semoga. Suba Jou!
* Pahlawan Nasional dari Tidore, Maluku Utara. Sultan Nuku (1797–1805): Sultan Saidul Jehad Muhamad El Mabus Amirudin Syah Kaicil Paparangan.
** Patra Alam: Sultan Tidore yang diangkat Belanda.