× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#HUMANIORA

Pilkada: Desember atau Tunda

Alarm kecil di tengah pandemi.

Pekerja Pemilu
Pilkada: Desember atau Tunda
Facebook Rusly Saraha.

03/05/2020 · 15 Menit Baca

Zoom cloud meetings akhir-akhir ini benar-benar optimal. Ia datang beri solusi di musim pandemi. Mereka yang hendak rapat langsung bisa stay on zoom, tak perlu sibuk atur meja dan kursi, apalagi menyiapkan suguhan teh kotak, kue maupun berbungkus-bungkus nasi. Semuanya menjadi serba sederhana dan tara makan biaya, kecuali yang paket datanya mulai rata. Semuanya jadi serba online, teknologi kali ini telah ikut meminimalisir kecemasan, ia hadir dalam ruang inovasi tiada henti.

Ada yang menarik di tengah badai covid-19 ini, hentakan agenda diskusi via zoom malah makin tinggi gairahnya. Akhir April hingga di awal Mei ini sudah berentetan hajat diskusi yang dibikin, banyak tema dibicarakan. Pun begitu dengan kalangan penggiat pemilu/ pemilihan, tak henti terlibat dalam ajang diskusi yang selalu berkutat di antara Pandemi dan Pilkada 2020.

Pada selasa terakhir April, kompatriot saya di KPU Ternate, Jainuddin Ali memoderatori diskusi daring  bertema “Pandemi dan Pilkada, efektifkah di tahun 2020”. Narasumber yang bicara cukup berkompeten, yakni Ahmad Doli Kurnia Tanjung (Ketua Komisi II DPR RI), Peneliti LSI Ikrama Masloman dan Kornas JPPR Alwan Ola Riantoby. Di Rabu sore, 29 April, Netfid Maluku Utara juga menggelar diskusi yang menghadirkan tiga ketua, yakni Ketua Netfid Indonesia, Ketua KPU Provinsi dan Ketua Bawaslu Provinsi Maluku Utara.

Pada jumat pertama di bulan Mei, Forum Diskusi Toadore membentangkan tema Pandemi 19 dan Lanskap Demokrasi Indonesia di Tahun Pilkada. Dua pembicara nasional, Aktifis LP3ES, Wijayanto dan Anggota DPR RI Zulfikar Sadikin berpadu dengan Safrina Rahma dari KPU Maluku Utara. Diskusi Toadore ini dipandu oleh Ardiansyah Fauji. Ian yang seorang politisi dan diembani tugas menjadi Jubir AMAN, salah satu bapaslon di Tidore hari itu tampil cukup profesional melepas jas politiknya, mengganti dengan takoa sebagai Jubir IMAN atau juru bicara orang-orang  beriman yang sedang berpuasa sambil diskusi.

Jika mengikuti pandangan mayoritas, maka banyak kalangan sebenarnya lebih memilih pelaksanaan Pilkada ditunda hingga tahun 2021 (masa coblosnya). Survei Litbang Kompas pada 24 – 25 Maret 2020 terhadap 1315 responden di 27 Provinsi menyebutkan hanya 16,9 % responden yang setuju coblos pada tanggal 9 Desember 2020. Paling banyak responden memilih masa coblos pada September 2021 dengan total 36,9 %. Sedangkan yang mau coblos di Maret 2021 juga tak kalah sedikit yakni 32,3 %.

Senada mayoritas pilihan, Kornas JPPR, Alwan Riantoby mengurai argumen perihal ketidakefektifan jika Pilkada dipaksa jalan di tahun 2020, alasannya terkait partisipasi masyarakat dengan dua situasi yang saling sikut. “Demokrasi prosedural menganjurkan partisipasi langsung masyarakat, sedangkan pandemi mewajibkan orang untuk jaga jarak”. Alwan mengikhtiarkan terkait kualitas demokrasi yang direngkuh nanti, juga bagaimana tentang anggaran dan nasib penyelenggara pemilihan adhoc yang merupakan garda paling muka dalam medan kerja kepilkadaan.

Dalam gerak itu, maka tidak menutup kemungkinan biaya Pilkada akan menjadi lebih mahal sebagaimana pandangan Direktur Perludem, Titi Anggraini, “ada yang harus disediakan antiseptik, alat pelindung diri, bagaimana menjamin setiap tahapan benar-benar aman dari Covid-19” (Liputan 6.com). Perludem teguh dalam pandangan agar proses tahapan Pilkada digelar setelah kasus pandemi covid melandai oleh karena arena penyelenggaraan pemilihan sudah pasti selalu dan senantiasa melibatkan banyak orang. Seirama dengan itu, Veri Junaidi dari Kode Insiatif juga berpandangan bahwa Pilkada semestinya ditunda pada tahun 2021 demi kesiapan yang matang paska situasi normal. Veri bahkan mengungkap penundaan Pilkada di tahun 2021 adalah momentum yang tepat untuk melakukan penataan siklus keserentakan Pemilu Nasional dan keserentakan Pemilu Lokal. Pemilu nasional yang dihelat pada 2024 untuk Pilpres, DPR dan DPD, sedangkan Pilkada dan Pemilu anggota DPRD pada tahun 2026.

Pandangan nyaring juga dikumandangkan oleh Direktur Eksekutif IPR, Ujang Komaruddin. Dikutip di CNN Indonesia 21 April 2020, Ujang menyodor usul agar Pilkada ditunda hingga 2021 atau 2022 dengan tujuan meminimalisir politikus menunggangi corona untuk mendongkrak elektabilitas. Bahaya yang disebut Ujang sebagai upaya untuk “mencari panggung” ini juga diingatkan oleh Ketua Bawaslu RI, Abhan dalam diskusi “Mewaspadai malapraktek dalam penundaan Pilkada" pada 23 April lalu. Abhan mensinyalir terdapat 224 petahana di 270 daerah yang menggelar pilkada berpotensi melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan “berkampanye” untuk kepicikan politiknya di tengah sodoran bantuan kemanusiaan yang datang dari Pemerintah yang sejatinya bersumber dari uang rakyat.

Potensi lainnya yang tak kalah mengkhawatirkan menurut Big Boss Bawaslu ini adalah potensi pembelian suara. Jika dipaksa dan terpaksa coblos Pilkada digelar pada 9 Desember 2020, maka bisa dimungkinkan standar NPWP atau “Number Piro – Wani Piro” akan telanjang di hadapan kepala. Akan ada pula spanduk-spanduk liar bertuliskan “Kami siap menerima serangan fajar dan serangan petang”. Situasi membabi butanya praktek politik uang akan mendapatkan ruang besar manakala para pemilih berada pada situasi ekonomi yang tidak stabil. Di tengah dan atau di bulan-bulan paska wabah yang menutup ruang aktifitas sosial dan ekonomi itu, akan banyak jurus yang dilakoni oleh mafia politik dalam menceburkan diri pada tindakan sesat memakai cara-cara instan meraih suara warga pemilih.

Pola pemanfaatan kesempatan di tengah kesempitan dan kehimpitan ini telah banyak memakan korban. Konon karena himpitan hidup sebagai budak, seorang lelaki dari Habsyi bernama Wahsyi harus turun di medan Uhud tidak untuk berperang tapi membunuh. Wahsyi datang di perang Uhud dengan satu sasaran membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasul Agung, Muhammad SAW. Dalam perang Uhud itu, Hamzah menemui syahidnya setelah lemparan belati Al Wahsyi menusuk tubuhnya, Wahsyi kala itu terbuai pada  janji untuk dimerdekakan oleh majikannya, juga tawaran pemberian emas dan permata yang melingkari lengan dan leher Hindun Binti Uthbah, istri pemuka Quraisy Abu Sufyan. Hindun termasuk yang paling tinggi dendamnya karena kekalahan kaum kafir pada perang Badar yang menewaskann ayah, paman dan saudara laki-lakinya. Emosinya terhadap Hamzah yang merupakan salah satu aktor utama kemenangan kaum Muslimin pada perang Badar telah mencapai tingkat dewa, ia dengan segala cara dan rayuan materi telah mampu menggerogoti hati, pikiran dan jiwa Al Wahsyi. Meski dalam jejak kisah berikutnya paska Fathu Makkah, Hindun dan sumainya, juga Al Wahsyi mendapatkan hidayah masuk Islam.

Dalam buku Half Full – Half Empty, Parlindungan Marpaung mengulas praktek yang disebut sebagai “kenikmatan yang mematikan”. Kali ini, saya mengutip kisahnya “Suku eskimo yang mendiami kutub Utara memiliki teknik yang unik untuk berburu serigala sebagai santapan hariannya. Mereka menggunakan pisau yang sangat tajam, lalu merendamnya di dalam darah hewan lain. Darah yang menyelimuti pisau itu mereka biarkan membeku. Selanjutnya pisau tersebut ditanam di dataran tinggi tempat serigala sering bermain dengan bagian ujung (mata pisau) mencuat keatas”.

Bung Parlin melanjutkan kisahnya “Dengan trik seperti itu, acapkali serigala datang dan mengendus-endus bau darah yang menyelimuti pisau tersebut. Tentu saja, mata pisau yang tajam dengan sendirinya melukai lidah si serigala. Walaupun demikian, udara yang dingin membuat sang serigala tidak merasa sakit, meski ia menjilati pisau yang tajam dan darahnya sendiri. Lama-kelamaan serigala mati lemas karena kehabisan darah. Selanjutnya dapat ditebak, suku eskimo dapat dengan mudah membawa serigala itu untuk dijadikan santapan”.

Di musim pandemi ini, demokrasi kita akan diuji, termasuk di dalamnya ujian terhadap harga diri dan martabat pemilih. Profesor Emil Salim dalam seminar “Konsolidasi Demokrasi menuju Keadilan Sosial” di Jakarta pada medio Februari mengulas bahaya demokrasi mahal yang terjebak kepentingan pemilik modal. “Terjadi sandera calon politik dari mereka yang memiliki dana untuk membiayai calon. Pemilu semakin lama semakin bergeser dari rakyat ke calon-calon pemilik uang. Yang muncul bukan calon wakil rakyat, tapi kepentingan pemberi dana itu” (Berita Satu, 17 Februari 2020).

Di tengah mayoritas pilihan yang meminta penundaan Pilkada menuju 2021 itu, DPR RI melalui komisi II dalam rapat dengan Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu pada tanggal 14 April menyetujui usulan Pemerintah untuk menggelar hari coblos pada tanggal 9 Desember 2020. Opsi ini oleh Pemerintah dalam hal ini Mendagri, Tito Karnavian, disebut sebagai opsi optimis, meski sebagian kalangan menganggapnya sebagai opsi terburu-buru. Tentu tak ada yang keliru dari pilihan ini selama ada garis besar langkah kedepan yang jelas didetilkan melalui penerbitan Perppu. Pemerinah menjanjikan akhir April ini, Perppu terbit, namun hingga matahari terbenam di awal Mei ini belum terlihat tanda-tanda.

Beberapa kabar baik tentang situasi Covid-19 yang mengurai posisi kasus positif yang menempatkan sembuhnya banyak orang yang terpapar adalah sebuah peletup semangat. Situasi global yang dikabarkan mulai melandai memberi efek bagus bagi publik. Media Spanyol bahkan mengabarkan para pemain La Liga akan mulai berlatih mulai 4 Mei 2020. Saya memperkirakan Gerrard Pique dan Lionel Messi akan berlatih dengan sesama pemain Barcelona dengan tenang demi mematangkan strategi merengkuh kembali gelar juara La Liga maupun Liga Champions. Ini tentu kabar baik dan sekaligus berita buruk bagi fans-fans Real Madrid.

Di Maluku Utara, Doktor One Polisiri dengan Persakmi-nya merilis hasil kajian epidemologi dan permodelan Covid-19 di jazirah raja-raja ini. Di grafik analisis menunjukkan puncak epidemi terjadi pada 17 Juni dengan angka prakiraan terpapar corona sebanyak 574 orang. Ini adalah perangkat analisa, yang tentu tak mesti membuat kita terlampau cemas dan tegang. Kabar tenangnya adalah pada bulan Juli grafiknya mulai menurun. Lalu, bagaimana dengan Agustus? Apakah sudah benar-benar normal seperti sedia kala, saya tak punya kapasitas untuk menjelaskannya.

Sambil menunggu Perppu muncul, kita masih tetap menyandarkan kepala pada kesepakatan Pemerintah dan DPR RI untuk Pilkada di Desember 2020, mestinya semua pihak harus mulai pasang kuda-kuda. Kita perlu mengikhtiarkan beberapa hal diantaranya: 1). Kelanjutan tahapan pencalonan Bapaslon Perseorangan yang akan menjalani proses verifikasi faktual (Verfak) dengan metode sensus atau seluruh dukungan yang lolos verifikasi administrasi akan diverifikasi,  2). Pencalonan di gerbang partai politik yang memerlukan SK Persetujuan Parpol di level pusat mengenai pasangan calon yang diusung di tengah ancaman mahar politik, 3). Efektifitas pemutakhiran data pemilih yang dimulai dengan proses Coklit data pemilih oleh petugas yang dibentuk KPU yang mendatangi pemilih dari rumah ke rumah, 4). Kualitas kampanye yang belum seutuhnya mendidik dan mencerahkan, salah satunya debat publik/ debat kandidat yang berbiaya mahal.

Sampai disini, saya tak kuasa lagi melanjutkan kata-kata. Aroma puding coklat terus mengganyangi rongga perut dan kepala, menggangu kebeningan pikiran. Adzan ashar belum terdengar, puasa masih tiga jam lagi. Tetap dalam kesabaran dan penuh dengan doa, semoga ujian pilkada nanti tak menempatkan rakyat seperti serigala di kutub utara dalam kisah kenikmatan mematikan di atas. Seperti puding coklat di hadapan saya, memang begitu nikmat. Tetapi alangkah nikmat jika "diratakan" pada maghrib nanti. Selamat Berpuasa.


Share Tulisan Rusly Saraha


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca