
Akhirnya Perpu yang dinanti muncul juga. Mulanya banyak spekulasi bergelimpangan terkait peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini, tak sedikit yang menduga ini Perpu pasti masih lama terbit. Sebabnya, karena negara masih fokus dan tak ingin pecah konsentrasi mengurus corona. Tanggal 4 Mei 2020, Perppu nomor 2 tahun 2020 yang merupakan perubahan ketiga Ketentuan Pemilihan Kepala Daerah ini ditandatangani Presiden Jokowi. Dalam salinan paling bawahnya terlihat tanda tangan Lidya Silvana Djaman, Deputi Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Kemensesneg. Adakah anda sekalian yang mengenal Lidya? Saya tak mengenalnya.
Perpu ini terbit tepat di dua puluh hari setelah Pemerintah dan Komisi II DPR RI menyepakati opsi penundaan Pilkada di bulan Desember 2020. Rapat pada 14 April itu juga melibatkan penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP). Komisi II DPR RI dibawah komando Ahmad Doli Kurnia Tanjung menopang penuh optimisme Mendagri Tito untuk menuntaskan pencoblosan Pilkada pada bulan terakhir di tahun ini.
Jika membuka isi Perpu sembilan halaman yang berlatar penundaan tahapan Pilkada karena pandemi corona itu, terdapat dua pasal yang berubah. Yakni Pasal 1 yang membuat penyesuaian terhadap urutan regulasi perubahan dan Pasal 120 yang menambahkan kata “bencana non alam” sebagai salah satu prasyarat dilakukan pemilihan lanjutan. Dalam regulasi Pilkada terdapat penamaan pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan. Keduanya berbeda, pemilihan lanjutan dipakai untuk melanjutkan proses tahapan pemilihan yang terhenti, sedangkan pemilihan susulan dilakukan untuk seluruh tahapan.
Nah, di Pilkada kali ini yang terjadi adalah pemilihan lanjutan. Sebabnya karena beberapa tahapan penyelenggaraan telah dimulai sebelumnya yakni pencalonan di jalur perseorangan. Proses ini terhenti setelah KPU di daerah selesai menggelar verifikasi administrasi (Maret 2020). Penjelasan lainnya pada Pasal 120 itu adalah terkait pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan. Poin ini dapat dimungkinkan sebagai bentuk ikhtiar pemerintah terhadap situasi wabah corona di tiap-tiap daerah yang berbeda.
Bisa saja, pada masa tertentu ada daerah yang telah normal kondisinya, bersih berseri dari aroma corona, ada yang mulai melandai posisinya, namun beberapa sedang menanjak menapaki situasi puncak pandemi. Poin ini entah bermakna Pilkada wajib dilakukan serentak di 270 daerah di Indonesia yang ber-Pilkada tahun ini ataukah dapat menyesuaikan dengan kondisi pandemi di tiap-tiap daerah, termasuk penundaannya apakah berskala nasional ataukah bisa secara parsial. Soal ini saya tak punya keahlian untuk menjawabnya.
Poin lainnya pada Perpu ini adalah terdapat penambahan dua pasal, yakni diantara Pasal 122 dan 123 disisipkan Pasal 122 A dan Pasal 201 A di antara Pasal 201 dan 202. Di Pasal 122 A menjelaskan prasyarat penundaan tahapan pemilihan serentak melalui keputusan KPU atas persetujuan Pemerintah dan DPR. Pada Pasal 201 A memuat jadwal coblos yang digelar di Bulan Desember 2020, pada ayat berikutnya mengungkap ruang terbuka jika coblos tidak bisa dihelat Desember, maka akan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam dengan alur syarat sebagaimana Pasal 122 A.
Sejenak sambil menyapu kumis dan jenggot, kita menyerap dua situasi yang berbeda. Ketua Bawaslu RI, Abhan menyebut situasi kepastian dan ketidakpastian. Sebab coblos yang teragenda pada Desember 2020 bisa saja ditunda oleh karena corona yang belum mereda. Serupa Abhan, Kornas JPPR, Alwan Ola Riantoby menyebut Perpu ini sebagai Perpu setengah hati. Alwan mungkin benar, tetapi di situasi ini memang selalu menyisakan ikhtiar di setiap optimisme, keraguan di antara keyakinan atau apa yang bisa kita sebut sebagai hati-hati. Saya akhirnya jadi ingat istilah “tertutup tapi terbuka” yang dipopulerkan kawan Taken Mustakim Jamal, Ketua Panwascam, Ternate Tengah.
Meski begitu Perpu 02 tahun 2020 adalah bukti konsistensi Pemerintah terhadap opsi optimisnya walau mayoritas penggiat Pemilu menancap bendera tak sepakat. Dengan dan melalui Perpu ini rakyat 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota di Indonesia yang mencumbui pesona pesta demokrasi mesti menyiapkan diri. Para petarung politik bisa saja telah mengatur tarikan nafas, menyusun ritme, trik dan strategi. Begitu pula penyelenggara pemilihan sudah mesti siap menegakkan kaki. Sebentar lagi hentakannya pasti bergemuruh kembali.
Tugas berikutnya adalah menanti keluarnya Peraturan KPU yang mengatur jadwal tahapan maupun skema pelaksanaan tahapan ideal dan realistis. Untuk Peraturan KPU mengenai program, jadwal dan tahapan ini telah beberapa kali berubah semenjak PKPU 15 Tahun 2019 hingga yang terakhir adalah PKPU 02 Tahun 2020. Tentu dengan posisi pencoblosan di Desember akan ada pergeseran waktu dan jadwal tahapan. Kapan tahapan itu di-starting kembali semuanya berpulang pada Arief Budiman dan kawan-kawan di Jalan Imam Bonjol.
Yang menarik dinanti adalah mengenai skema dan standar pelaksanaan tahapan. Di hadapan kita terdapat dua tahapan yang dipastikan melibatkan banyak orang, yakni verifikasi faktual (Verfak) syarat dukungan bakal pasangan calon perseorangan dan pelaksanaan pencocokan – penelitian (coklit) data pemilih. Pada Verfak bapaslon perseorangan sebagaimana Keputusan KPU terakhir (Kep KPU Nomor 82/PL.02.2-Kpt/06/KPU/II/2020, PPS akan melakukan verfak dengan metode sensus. Artinya seluruh pendukung bapaslon yang lolos di tahap verifikasi administrasi akan di verfak.
Di Maluku Utara, dari delapan kabupaten/kota yang berpilkada, hanya Kota Ternate yang ada bakal calon perseorangannya, yakni pasangan Muhdi Hi. Ibrahim-Gazali Wesplat. Keduanya telah melewati proses verifikasi administrasi di KPU Ternate. Sesuai standar, jumlah dukungan minimal yang mesti dipersiapkan adalah sebanyak 12.467 atau sepuluh persen dari total DPT Pemilu terakhir yang berjumlah 124.668 jiwa. Selama proses pendaftaran pada Februari lalu, pasangan Muhdi-Gazali menyerahkan daftar dukungan sebanyak 13.019. Melalui proses verifikasi administrasi ditemukan berkas yang tidak memenuhi syarat (TMS) sebanyak 577 ditambah 705 pendukung yang tidak terdaftar dalam DPT Pemilu 2019 dan atau DP4. Dari sejumlah yang berkurang itu terdapat 11.737 memenuhi syarat untuk dilakukan verifikasi faktual.
Metode verifikasi faktual terhadap 11.737 pendukung inilah yang mesti didesain secara baik. Seperti apa modelnya, apakah tetap konsisten dengan metode sensus ataukah metode sampel acak. Lalu apakah petugas PPS akan menyusuri tiap-tiap pendukung secara langsung ataukah melalui penggunaan teknologi. Jika menggunakan teknologi, terdapat beberapa prasyarat yang mesti dijamin dan tetap terjaga, yakni pemilu yang berkualitas dan pemilu berintegritas. Poin ini sebagaimana dipaparkan oleh Direktur Perludem, Titi Anggraini pada Sesi Tadarus Pengawasan Bawaslu RI pada 6 Mei 2020.
Titi mengurai perihal prinsip transparan dan akuntabilitas dalam penggunaan teknologi. Ada banyak aspek yang mesti dihitung, diantaranya terkait kerangka hukum, sumber daya, anggaran, infrastruktur dan kondisi sosial.
“Soal SDM misalnya apakah telah ada pelatihan yang dilakukan..?. Apakah memudahkan pemilih atau justru sebaliknya. Bagaimana mengenai sertifikasi, audit dan cyber security, apakah terdapat transparansi dalam proses pengadaan, apakah terdapat kepercayaan publik dan peserta pemilu”, Tanya Titi.
Pertanyaan-pertanyaan itu memang mesti telah tuntas manakala teknologi digunakan dalam pilkada. Meski penjelasan Titi ini sangat terkait dengan wacana penggunaan E-Voting pada Pilkada 2020 di situasi corona ini, tetapi gambaran ringannya bisa diaplikasikan manakala KPU hendak memutuskan pelaksanaan verfak dengan teknologi, tentu dengan standar yang lebih sederhana dari E-voting. Sekali lagi perihal penggunaan teknologi ini tetap dalam semangat yang utuh dan tidak boleh keluar dari upaya besar untuk memastikan pemilihan berjalan secara berkualitas dan berintegritas. Di Pemilu/ Pemilihan, kita tidak hanya tunduk dan patuh mengerjakan sesuatu yang benar, tetapi juga mesti konsisten mengerjakan hal tersebut “dengan benar”.
Jika dengan cara manual verfak langsung, maka standar keselamatan, keamanan dan kenyamanan sesuai covid-19 harus di posisi paling atas. Karena jika terpaksa dan dipaksa melakukan verfak tanpa prosedur covid-19, maka kita akan mengulang kembali tragedi Pemilu 2019 yang memakan korban ribuan penyelenggara Pemilu. Jika begitu maka pesta demokrasi seolah menjadi arena pembantaian, sesuatu yang bertolak belakang dengan pandangan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid yang menyebutkan “Politik sejatinya adalah urusan kemanusiaan”.
Entah sampai kapan pandemi ini akan pergi, semuanya baru sebatas prediksi. Segalanya belum pasti. Kalau kita merunut PKPU 02 tahun 2020 tentang jadwal yang masih mengatur masa coblos di 23 September 2020, proses verifikasi faktual dimulai semenjak 26 Maret. Paket proses ini (termasuk perbaikan) berlangsung hingga berpuncak pada rekapitulasi daftar dukungan di tingkat kabupaten/kota pada tanggal 26 Mei 2020, artinya terdapat alokasi waktu selama dua bulan semenjak jejak verfak dimulai.
Alokasi waktu diantara verfak hingga coblos dengan asumsi September saat itu adalah enam bulan. Jika mengacu pada standar itu maka idealnya pemilihan dengan masa coblos di bulan Desember, proses verfak dilaksanakan pada bulan Juni. Berkaca pada data dan prediksi, puncak pandemi di Maluku Utara berada di bulan Juni. Apakah dalam situasi darurat itu, penyelenggara dan pemilih dapat berhadap-hadapan dalam proses verfak itu. Tentu kita kembalikan ke KPU sebagai regulatornya. Meskipun di survey Litbang Kompas pada akhir Maret lalu menyebutkan dari 1315 responden, 80% menyatakan tetap bersedia bertemu dengan petugas penyelenggara pemilihan namun menjaga jarak, sedangkan 15 % diantaranya dengan tegas menyatakan menolak bertemu petugas karena khawatir tertular covid-19.
Lalu apakah kita mengikuti suara terbanyak yang 80 % itu sembari mengabaikan 15 % pemilih dengan tingkat ikhtiar tinggi itu? Tentu tak semudah itu. Sebab, Pilkada ini adalah pesta semua rakyat, yang tak boleh ada satu orang pun dirugikan hak politiknya. Harapannya adalah ada jalan tengah yang lebih progresif dengan tetap menjaga kualitas dan integritas Pilkada, jalan tengah yang mengutamakan proses yang lebih sederhana, efektif dan efisien. Bagaimana bentuknya, KPU pasti lebih mafhum. Biar saja KPU yang fokus menyiapkannya, sebab saya mesti segera fokus dan memenuhi perintah putra saya Nizam Elmab’us. Interupsinya telah bergetar “Papa, ayo main badminton”. Oke Baik.