
Agam Qodriansyah sangat kuatir, ketika hujan deras mengguyur Ternate akhir 2018 lalu. Pria asal Makassar yang baru pertama kali datang ke Ternate itu, was-was bukan tanpa sebab. Sebagai orang baru dan belum paham kondisi Ternate, dia sangat khawatir dengan situasi semacam ini. Berita peristiwa banjir lahar dingin yang pernah melanda Ternate beberapa tahun lalu, membuatnya gugup dan tidak bisa tidur semalam suntuk.
Pertama kali sampai Ternate dan ketika keluar kawasan Bandara Babullah, Ternate melihat kawah gunung berapi cukup dekat, membuatnya gugup. Dalam hatinya berkata, ternyata warga pulau ini berada dalam kawasan yang benar-benar sangat rawan bencana, terutama gunungapi Gamalama.
“Baru keluar dari kawasan bandara sudah bertemu sungai tanpa air yang membelah Kelurahan Dufa- dufa dan Akehuda yang menjadi tempat mengalirnya lahar dingin,” katanya.
Alasan dia sederhana. Jika Gamalama sebagai salah satu gunung api aktif yang setiap saat mengeluarkan abu maupun pijaran lava, jika ada aktivitas akan berdampak langsung kepada warga kota ini. Jarak pemukiman warga kota ke kawah gunung kurang lebih 3 kilometer tentu sangat mengerikan bagi orang baru seperti dia.
“Saya sangat gugup dan khawatir karena jika Gamalama meletus, sebagai orang baru tidak memiliki panduan menyelamatkan diri ke mana. Pulau Ternate yang kecil ini semuanya rawan bencana,” katanya.
Tidak hanya debu dan lava, tetapi juga lahar dingin masuk kota jika musim hujan. Keresahaan seperti ini sebenarnya tak hanya dialami Agam seorang. Banyak warga yang baru menginjakkan kaki di pulau Ternate dan paham soal mitigasi bencana, paling mengkhawatirkan kondisi ini. Apalagi kota ini belum memiliki model mitigasi bencana yang bisa mengarahkan orang baru, paham secara mendetail penyelamatan diri jika sewaktu-waktu ada kejadian.
“Sebenarnya orang baru seperti saya ketika masuk Ternate sangat butuh petunjuk, jika ada kejadian Gamalama meletus atau gempa misalnya,” ujar Agam.
Diakui, ada petunjuk rute yang dibuat di beberapa kawasan jalan tetapi itu belum cukup, karena tidak ada penjelasan tindakan penyelamatan selanjutnya seperti apa. Ternate yang masuk kawasan Ring of Fire atau cincin api, sebenarnya memiliki kerawanan bencana sangat tinggi. Tidak hanya berkaitan dengan gunung Gamalama yang aktif, tetapi juga bencana lainnya. Misal gempa bumi, banjir dan tsunami.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kota Ternate menyebutkan ada tiga kerawanan sangat serius di pulau Ternate. Tiga bencana itu adalah letusan Gamalama, banjir lahar dingin, longsor dan ancaman tsunami.
“Pulau ini semuanya rawan, jika gunung meletus semua terkena dampaknya. Tidak ada tempat berlindung yang benar-benar aman baik dari debu, lava pijar, awan panas, maupun banjir lahar dingin,” jelas Andi Mappasabi, Kepala Seksi Kesiapsiagaan, BPBD Kota Ternate.
Untuk letusan gunung api, sudah dibagi dalam tiga kawasan rawan bencana (KRB). KRB III di puncak gunung, KRB II di tengah dan KRB I di pesisir pantai. Kawasan pesisir ditetapkan BPBD sebagai kawasan KRB I karena penduduknya paling padat. Gunung Gamalama sendiri pusat letusannya jika diukur tegak lurus sampai di pesisir pantai itu jaraknya hanya 5 kilometer.
BPBD juga membagi zona bencana ancaman lava pijar awan panas lahar dingin. Zona lava pijar berbahaya untuk KRB I. Sementara awan panas sangat rawan untuk KRB II dan KRB III di mana ada pemukiman penduduk. Untuk awan panas bisa menjangkau tiga kilometer dari pusat letusan. Sementara saat ini sudah banyak pemukiman dengan pusat letusan tidak kurang 3 kilometer. Diakuinya, sejauh ini ketika terjadi letusan, awan panas belum sampai mencapai pemukiman warga.
“Hanya di kawasan perkebunan warga, misalnya, pernah terjadi di Kelurahan Takome,” kata Andi.
Sementara, untuk ancaman lahar dingin yang paling terancam adalah daerah aliran sungai. Ancaman ini berdampak di Kelurahan Togafo, bahkan ada yang masuk ke kota Ternate. Misalnya beberapa aliran sungai di Kota Ternate pada Kelurahan Akehuda dan Marikurubu.
“Daerah-daerah itu sangat rawan terlanda banjir lahar dingin,” ujar Andi.
Terkait ancaman bencana gunung Gamalama, Pemkot Ternate, melalui BPBD, memiliki beberapa planning mitigasi bencana gunungapi. Ada beberapa kata Andi, harus dilakukan dalam penanggulangan bencana gunung api. Misalnya mitigasi secara structural sebelum ada bencana. Hal ini sudah dilakukan terutama upaya pengurangan resiko bencana dengan sosialiasi dan pelatihan penanggulangan bencana kepada aparat terkait. Juga sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat.
Untuk warga misalnya, telah dibentuk kelurahan tangguh bencana. Upaya ini dilakukan dengan memberikan pemahaman, menyiapkan diri menghadapi bencana. Terutama melakukan evakuasi secara mandiri.
“Warga diberikan simulasi apa tindakan yang mereka lakukan ketika bencana gunung api. Di sini kita mengajarkan masyarakat,” imbuhnya.
Di Ternate sudah dibentuk 4 kelurahan tangguh bencana. Yakni Kelurahan Tabam, Tubo, Sangaji Utara dan Loto. Ada juga kelurahan siaga bencana. Jumlahnya 27 kelurahan di mana wargaya telah dilatih. Kelurahan itu ada di Kota Ternate Tengah, Kota Ternate Utara, dan Pulau Ternate. Dengan upaya ini, diharapkan masyarakat benar-benar bisa paham jika sewaktu waktu ada kejadian.
Begitu juga mitigasi untuk sekolah menurut Andi sudah dilakukan. Ada beberapa sekolah di kawasan rawan bencana teruatama di belakang gunung (kecamatan pulau Ternate,red) telah diperkenalkan dan dilakukan simulasi mitigas bencana. Meski begitu diakui belum menjadi bahan ajar sekolah.
Begitu juga dengan informasi mitigasi bencana di ruang-ruang public, diakui hingga kini belum berjalan maksimal. Di Kota Ternate, baru ada papan petunjuk rute evakuasi terpasang di beberapa sudut jalan. Meski demikian, diakui belum maksimal. Hingga kini belum dibuat buku petunjuk atau informasi kewaspadaan awal untuk warga atau masyarakat yang baru masuk ke Ternate.
“Memang itu kendala kita sampai saat ini. Mestinya ada papan peringatan dini di bandara atau tempat-tempat umum lainnya. Kita segera memasang papan informasi seperti itu agar public atau warga yang baru masuk Ternate, bisa paham mitigasi kebencanaan di Ternate,” ujar Andi.
Soal mitigasi ini sesuai Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana tata Ruang Wilayah Kota Ternate Tahun 2012-2032; yang saat ini dalam proses revisi, dalam pasal 26 RTRW itu mengatur, kawasan rawan bencana alam terdiri atas kawasan rawan bencana gempa tanah longsor; gelombang pasang dan tsunami, rawan banjir; dan kawasan rawan bencana gunung api.
Kawasan rawan bencana gempa ada di seluruh wilayah Kota Ternate yaitu Kecamatan Ternate Utara, Kecamatan Ternate Tengah, Kecamatan Ternate Selatan, Kecamatan Pulau Ternate, Kecamatan Ternate Barat, Kecamatan Pulau Hiri, Kecamatan Moti dan Kecamatan Pulau Batang Dua.
Rawan tanah longsor juga terdapat di Pulau Ternate dengan luas total 40,58 Ha di Kelurahan Afetaduma, Dorpedu, Togafu, Kalumata, Ngade, Dufa-dufa, Akehuda dan Tobona. Untuk Pulau Hiri dengan luas total 6,4 Ha di Kelurahan Tafraka, Mado, Faudu dan Kelurahan Tomajiko. Ada juga kawasan rawan gelombang pasang dan tsunami terdapat di Kecamatan Ternate Utara, Kecamatan Ternate Tengah, Kecamatan Ternate Selatan, Kecamatan Pulau Ternate, Kecamatan Ternate Barat, Kecamatan Pulau Hiri, Kecamatan Moti dan Kecamatan Pulau Batang Dua.
Sementara kawasan rawan banjir di Kelurahan Mangga Dua, yaitu jalan raya Mangga Dua, kurang lebih 0,11 Ha, Kelurahan Bastiong Talangame yaitu Kawasan Terminal dan Pasar Bastiong, kurang lebih 0,21 Ha, Kelurahan Bastiong Karance yaitu jalan Raya Bastiong dan jalan Pelabuhan Fery kurang lebih 0,45 Ha, Kelurahan Gamalama yaitu jalan Pahlawan Revolusi dan jalan Boesori kurang lebih 1,25 Ha, Kelurahan Jati yaitu jalan depan Hotel Bela kurang lebih 0,24 Ha, Kelurahan Santiong yaitu di kawasan Kuburan Cina kurang lebih 0,12 Ha dan Kelurahan Mangga Dua kurang lebih 0,04 Ha.
Terakhir kawasan rawan bencana gunung api, meliputi daerah rawan Tipe I, rawan Tipe II dan rawan Tipe III; Kawasan rawan bencana gunung berapi kategori rawan I dengan luas total 1028,29 Ha terdapat di Kelurahan Dufa-dufa, Tabam, Tubo dan Togafo, di kawasan aliran Barangka/kali mati di Kelurahan Kulaba, Bula, Tobololo, Takome, Loto, Taduma, Dorpedu, Kastela dan Toboko serta kawasan pada radius 4,5 Km dari kawah Gunung Gamalama.
Kawasan rawan bencana gunung berapi kategori rawan II dengan total luas 1525,18 Ha terdapat di sungai/barangka tepatnya di Kelurahan Sulamadaha, Sungai Togorara, Sungai Kulaba, Sungai Sosoma, Sungai Ruba, Sungai Telawa, Sungai Toreba, Sugai Piatoe, Sungai Taduma dan Sungai Kastela, Kelurahan Tubo, Tafure, Kulaba, Tobololo, Takome, Loto, Foramadiahi, Marikurubu (lingkungan Aer Tege-tege dan Tongole) dan Buku Bendera Kelurahan Moya, serta kawasan pada radius 3,5 Km dari kawah Gunung Gamalama.
Kawasan rawan bencana gunung berapi kategori rawan III dengan total luas kurang lebih 1121,58 Ha terdapat di sebagian sungai Fitu, sungai Piatoe, Sungai Toreba, Sungai Takome, sungai Sosoma, Sungai Ruba, Sungai Kulaba, sungai Togorara serta kawasan pada radius 2,5 Km dari kawah Gunung Gamalama.
Ketua Pansus Revisi RTRW Kota Ternate Junaidi Bahrudin ST menjelaskan, soal detail mitigasi bencana belum masuk dalam dokumen RTRW. Karena itu Pansus sedang meminta Bappelitbang Kota Ternate memasukan dokumen rencana detail tata ruang (RDTR). Jalur evakuasi misalnya belum masuk dalam RTRW. Karena itu dalam RDTR harus dimasukkan sehingga jelas.
Dia mengakui RTRW Kota Ternate masih butuh penyesuaian menyangkut upaya mitigasi bencana di kota Ternate. Berdasarkan Buku Data Dasar Gunung Api Indonesia yang diterbitkan Kementerian ESDM hasil riset Bahrudin dan kawan-kawan, menjelaskan, kawasan rawan bencana gunungapi Gamalama dibagi dalam tiga kawasan. Yakni, Kawasan Rawan Bencana (KRB) I terletak di sepanjang atau dekat lembah sungai dan di bagian hilir sungai yang berhulu di puncak dan berpotensi terlanda lahar serta tidak tertutup kemungkinan dapat dilanda aliran awan panas atau aliran lava.
Berdasarkan potensinya, kawasan bencana I ini dibagi dalam dua kawaasan. Pertama rawan terhadap lahar perluasan awan panas, serta aliran lava. Ini terutama yang terletak di sepanjang dekat lembah sungai atau bagian hilir sungai yang berhulu di di puncak. Kedua, kawasan rawan bencana terhadap hujan abu, tanpa memperhatikan arah angin dan kemungkinan terlanda lontaran batu pijar dengan radius 3,5 kilometer dengan titik pusat di kawah utama Kawasan Rawan Bencana (KRB) II berpotensi terlanda awan panas lontaran atau guguran batu pijar, aliran lava dan lahar.
Berdasarkan jenis bahayanya, kawasan rawan bencana aliran awan panas lava guguran batu pijar dan lava meliputi seluruh bagian puncak dan diperluas ke arah lereng bagian utara dan selatan terutama bagian punggungan.
Selanjutnya, kawasan rawan bencana terhadap bahan lontaran atau jatuhan batu (pijar) dan hujan abu lebat. Kawasan ini meliputu bagian puncak hingga lereng bagian tengah dengan radius 2,5 kilometer berpusat di kawah utama atau pusat letusan. Terakhir Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yang terletak paling dekat dengan pusat letusan (kawah utama dan paling sering terlanda awan panas, lontaran atau guguran batu (pijar) dan aliran lava. Karena sangat tinggi resiko bahayanya maka kawasan ini tidak diperkenankan untuk tempat hunian.
Meski kerawanannya begitu serius hingga kini proses mitigasi bencana belum menjadi sebuah hal yang urgen. Asgar Saleh Direktur LSM Rorano yang selama ini melakukan advokasi terhadap proses mitigas bencana menjelaskan, Ternate dari aspek regulasi dalam memperkat proses mitigasi sudah siap. Misalnya sudah memiliki Perda Penanggulangan Bencana yang dibuat sejak 2014 lalu. Hanya saja tidak di-back up dengan peratruan wali kota yang mengatur secara teknis.
Dia bilang, dari sisi kajian bencana, Ternate, termasuk sangat rawan. Selama ini semua pihak hanya fokus pada aspek penanganan saat terjadi bencana dan pemulihan pasca bencana. Aspek mitigasi belum terjadi bencana, tidak pernah dilakukan. Padahal, kesiapsiagaan adalah faktor penentu dalam meminimalisir korban dan kerusakan.
“Ternate butuh transfer pengetahuan yang komprehensif. Intervensi paling efektif lewat pendidikan formal maupun non formal di institusi kemasyarakatan. Selain itu harus diperbiasakan lewat simulasi yang simultan dan kontinyu.
“Jadi simulasi oke, edukasi juga oke. Ini yang belum berjalan maksimal. Bagi saya ke depan Ternate juga butuh persediaan cadangan saat bencana terjadi seperti komunikasi dan evakuasi,” katanya.
Soal mitigasi bencana Gamalama diikhtiarkan Dedy Arief Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Maluku Utara. Dedy bilang, sebaiknya diintegralkan proses pembelajaran terutama kurikulum di tingkat pendidikan dasar hingga menengah atas. Kalaupun belum bisa diintegralkan, minimal terselipkan di mata pelajaran tertentu. Misalnya olahraga, geografi dan lainnya.
“Kita tidak bisa pungkiri bahwa kota Ternate ini dibangun dan berkembang di tubuh gunung api. Gamalama memiliki sejarah erupsi yang wajib diwaspadai semua stakeholder. Besar harapan erupsi tidak akan ada korban jiwa dengn prinsip pengurangan resiko bencana yang sejak dini harus digalakkan,” ujar Dedi.
Saat ini PVMBG pos Gamalama dan BPBD Ternate sudah memiliki dokumen ini. “Prinsipnya masyarakat akan tangguh dan mampu melakukan evakuasi mandiri apabila selalu diberikan pemahaman dan berlatih terkait upaya mitigasi,” ujar Dedy.
Dia mengingatkan letusan tidak hanya terjadi di puncak Gamalama tetapi bisa saja terjadi letusan samping yang bisa saja terjadi di samping rumah warga atau pemukiman. Peristiwa Tolire Gam Jaha, maupun bukti leleran lava yang kini mengeras menjadi batu angus adalah bukti bahwa letusan itu tidak hanya terjadi di puncak gunung, tetapi juga bisa terjadi di sekitar pemukiman,” ujarnya.(*)