× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#GAYAHIDUP

Kisah Kasih Berkuliah di Tengah Pandemi

Apanya yang intim? Bahkan sekadar membauimu pun aku tak sanggup.
Kisah Kasih Berkuliah di Tengah Pandemi
Ilustrasi: flickr.com

11/05/2020 · 15 Menit Baca

Saya yakin kita semua telah benar-benar mencapai puncak kejenuhan. Ribuan unggahan berisi lelucon klise hingga makian sumpah-serapah di media sosial yang kita lahap setiap hari layaknya sarapan, tak cukup pantas membunuh kebosanan yang kian membuncah. Demikian pula dengan lusinan buku yang kita baca dan puluhan film yang kita tonton lebih dari sebulan belakangan, tak akan pernah cukup mengalihkan perhatian kita dari ‘penjara’ ketidakpastian ini.

Kemajuan teknologi yang konon membuat kita merasa dekat dan bisa berinteraksi dengan banyak orang di luar sana, faktanya menyadarkan kita pada absurditas keintiman dunia maya itu sendiri. Apanya yang intim? Bahkan sekadar membauimu pun aku tak sanggup. Apalah daya upaya di tengah wabah ini, selain memandang sendu fotomu dengan gaya rambut baru di depan layar android. *Hiksss

Mengutip Eko Kuntadhi, host cokrotv, seperti pembaca yang budiman—bukan Sudjatmiko—sekalian, saya pun telah sangat teramat bosan dengan hidup yang begini-begini saja di dalam rumah ini saja. Bangun, mandi, masak, makan, nonton, baca buku, main game ular (kadang mirip naga, kadang lebih seperti kembarannya cacing) di hp, bersih-bersih kamar, main gitar (lebih sering fals dan memekakkan telinga), tidur, tiduran, dlsb.

Sebanyak itu aktivitas saya selama di rumah, tapi saya harus jujur, masih lebih lama dan dominan bermalas-malasan di atas kasur sambil mikirin kamu dibanding semua rutinitas harian yang memberi kesan hebat seperti di atas. Dari 24 jam sehari yang diberikan waktu pada kita, 25 jam otak ini tak henti bekerja memikirkanmu. Jangan mengernyutkan dahi bebsss, satu jam saya pinjam dari hari kemarin.

Pembaca yang arif, bukan Budiman, dalam rangka mengikuti arahan Presiden yang perawakannya tak berubah dalam dua periode ini karena dia bukan power rangers, agar kita senantiasa menjaga produktivitas di tengah serangan ekstrem Covid-19 ini, maka saya pun tetap menjalankan aktivitas saya sebagai tenaga pengajar luar biasa di kampus, yang oleh teman saya diplesetin menjadi ‘dosen luar yang biasa-biasa saja”.

Sesuai kebijakan kemendikbud? kemenristekdiktibud? Jujur, saya bingung dan tidak tahu akronim dari kementerian pendidikan, pendidikan tinggi, kebudayaan dan teknologi yang telah digabung pada kabinet kali ini, maka proses belajar-mengajar pun diselenggarakan secara daring demi memutus rantai penyebaran coronavirus.

Setelah dua pekan menggunakan aplikasi Whatsapp Grup, saya pun akhirnya berpaling dan memilih menggunakan aplikasi google classroom. Pengkhianatan saya pada WAG dikarenakan grub ini lebih sering menjadi ruang keluh kesah mahasiswa misqueen soal leletnya jaringan di kampung atau mahalnya paket data internet yang sekejam rasisme.

Ini penting diingat oleh kalian, para pembaca atau orang lain yang adalah neraka bagi Sartre, bahwa timur Indonesia bukan hanya tentang geografis wilayah, melainkan lebih dari itu, provider beserta fasilitas paket data yang tersedia juga mengenal dan memberlakukan batasan ‘timur’ dalam setiap kebijakan akumulasi kapital dari para konsumennya yang berada di ‘timur’.

Kembali ke laptop, bukan milik Tukul. Sejak akhir Maret lalu, kampus tempat saya mengajar telah menerapkan sistem belajar online, yang artinya mewajibkan buruh pengajarnya untuk memberikan materi perkuliahan secara daring kepada mahasiswa.

Hal ini sesuai dengan perintah Menteri Nadiem yang gantengnya hampir setara Lee Minho. *Ooopsss... Maafkan saya wahai para K-Popers dan aktivis anti rezim anti kemapanan yang hendak menciptakan tatatan dunia baru bukan ketua Anarko apalagi presiden Sunda Empire sekalian, tapi sumpah demi Choi Minho yang tampannya tiada tanding, bahwa dilihat dari sudut manapun, termasuk dari celah ketek pacar saya yang tidak mandi berhari-hari, beliau memang tampan kok.

Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, dua minggu sebelumnya saya memilih menggunakan WAG sebagai media belajar bersama. Secara teknis, kami tidak bisa menggunakan fasilitas video guna memantau aktivitas mahasiswa pada saat proses perkuliahan berlangsung.

Sebagaimana sudah saya jelaskan juga di atas, satu-satunya provider yang tersedia di sini memiliki tingkat keleletan yang rumit untuk dijelaskan. Mungkinkah serumit menjelaskan pertarungan Covid-19 versus imunitas? Selain itu, mahalnya paket data internet tentu saja sangat memberatkan mahasiswa misqueen, jika semua perkuliahan harus dilakukan dengan menggunakan fasilitas panggilan video yang menguras data seperti kamu menguras habis pikiranku.

Kesulitan yang lain adalah pada saat kampus mengeluarkan kebijakan kuliah online, sebagian besar mahasiswa yang berasal dari luar kota, langsung berbondong-bondong pulkam alias pulang kampung alias mudik corona bukan lebaran. Menurut KBBI yang otoritasnya atas tata bahasa lebih tinggi dari Bapak Presiden, pulang kampung dan mudik memiliki definisi yang sama. Mari kembali, berada di kampung masing-masing artinya semakin menjauhkan mahasiswa dari kemudahan akses internet.

Pada kelas online pertama saya di WAG, saya mendapatkan bejibun kejadian aneh bin ajaib nan tak terduga. Seperti saat kelas saya buka dengan salam dan basa-basi tidak penting lainnya, seorang mahasiswa dengan nama akun dalam alfabet Arab, tiba-tiba mengirimkan pesan yang isinya meminta izin ke toilet. Waktu itu saya yang sempat jengkel, langsung secapat kilat bermeditasi, mengalirkan energi positif ke pikiran, bahwa itu hanya karena mahasiswa tersebut terlalu jujur dan baik hati.

Padahal jelas itu kenakalan remaja usil binti dungu.

Saya kan tidak tahu apapun yang mereka lakukan di sana, entah sedang berak sambil membayangkan Maria Ozawa, Mia Khalifa dan Kakek Sugiono bersatu, atau membalas salam saya di WAG tanpa beranjak dari atas kasur dan bantal bau yang penuh dengan iler kering.

Selain itu wahai pembaca yang senantiasa dirahmati Luhut dengan segala pidato absurdnya, akibat dari kelas online menggunakan WAG ini, semakin banyak mahasiswa yang menghubungi saya secara pribadi alias japri guna berkonsultasi hal-hal teknis yang bukan keahlian saya. Beberapa mahasiswa menanyakan cara membuka file materi yang saya kirimkan, ada juga yang meminta saya mengetik kembali materi dari powerpoint ke pesan WA karena pada gawainya tidak ada aplikasi microsoft office. *F5c7ingst8p4d

Kelas online yang berlangsung di WAG ini juga membingungkan saya dalam menilai keaktifan mahasiswa. Mayoritas mahasiswa sangat aktif, bahkan beberapa cenderung hyperaktif mengomentari apapun. Sebuah anugerah yang luar biasa bahwa saya mampu menciptakan forum diskusi yang sangat teramat dinamis, yang tidak akan pernah bisa ditemukan dalam kelas sungguhan (tatap muka langsung).

Percayalah wahai pembaca yang sedikit baik dan sedikit sombong, bahwa pada kelas sungguhan, hanya ada beberapa, mungkin satu atau dua mahasiswa yang aktif bertanya dan berdiskusi. Selebihnya, atau mayoritas dari mahasiswa-mahasiswa teladan yang jarang absen itu, lebih percaya pada adagium 3D sebagai metode mendapatkan nilai terbaik, yaitu: duduk – diam – dengarkan.

Meski begitu, mari berpikir positif, mungkin mereka sudah paham atau sedang berpuasa bicara, sebab mulut hanya satu dan telinga berjumlah dua, maka perbanyaklah mendengar lalu bicaralah secukupnya.

Tapi kenapa mereka jadi sangat cerewet bertanya saat kuliah online tengah berlangsung? Bahkan sering menanyakan hal-hal yang tak terduga dan sangat remeh-temeh. Apa karena jumlah jari lebih banyak daripada telinga dan mulut? Ataukah mereka sedang menerapkan metode berfilsafat Socrates, yaitu menanyakan apa saja pada siapa saja yang menunjukkan bahwa kita tidak tahu apa-apa?

Entahlah. Apapun itu, saya patut bersyukur jika mahasiswa-mahasiswa ini bisa berfilsafat dan menjadi filsuf yang baik, tanpa harus mendalami materi-materi atau sejarah pemikiran filsafat layaknya mahasiswa jurusan filsafat.

Tapi para pembaca yang sedang galau merindu sekalian, sekali lagi, ada kejutan-kejutan yang tak benar-benar membuat kejut dari pertanyaan-pertanyaan filosofi para mahasiswa itu. Lebih banyak pertanyaan yang membuat tensi darah saya naik di usia belia ini.

Kyon?” Kata Rahul Khanna dalam Kuch Kuch Hota Hai, atau “Wae?” Kata Kim Hyun Woo dalam Love Story in Harvard, atau “Kenapa?” kata Rangga dalam Ada Apa dengan Cinta? Pasti kalian semua juga bertanya seperti mereka bertiga dari bangsa yang berbeda itu. Sebaiknya, kalian jangan menukar kebangsaan ketiga tokoh di atas seperti yang dilakukan Ustadz Somad, karena India dibumi-hanguskan oleh Kim Jong-un sekalipun, Sanjay Dutt dan Amitabh Bachchan tidak mungkin berubah menjadi orang Korea.

Kembali ke laptop, bukan warisan Tukul. Kenapa saya yang masih sangat teramat muda ini bisa cepat naik darah setelah membaca pertanyaan-pertanyaan filosofi bukan kopi dari para mahasiswa itu? Ya, seperti yang sudah-sudah. Pertanyaan-pertanyaan itu di-copas dari google. Dari mana saya tahu? Saya yang masih muda dan tidak gaptek alias sangat petek (peka teknologi) ini pastilah punya cara jitu memverifikasi setiap pertanyaan tersebut.

Tahukah pembaca yang linglung harus ngapain karena xnxx telah diblokir sekalian? Saya copas kembali setiap pertanyaan ke google dan si genius yang tak bisa berpikir ini pun menampilkan bagaimana oknum-oknum mahasiswa itu melakukan plagiat dengan sangat paripurna. Bisa dibayangkan tapi jangan terlalu lama, mereka berhasil mengetik kembali setiap pertanyaan itu tanpa sedikitpun celah di dalamnya, bahkan hingga pada tanda baca seperti titik dan koma bisa sama persis, bebsss.

Terakhir dan hukumnya fardhu ‘ain untuk diketahui oleh pemirsa, *eh pencinta drakor sekaligus NKRI harga mati sekalian, bahwa saya harus menyebut semua mahasiswa di atas sebagai oknum, agar kelak tidak ada surat panggilan dari kepolisian yang berisi tuntutan pidana telah melakukan pencemaran nama baik terhadap agen-agen reformasi ini.

Sampai di sini kamu paham kan bebsss? Bahwa memikul rindu di tengah pandemi itu berat, tapi lebih berat lagi memikul aku yang naik berkilo-kilometer *eh kilogram akibat #dirumahaja.

Tulisan ini memang tidak penting, selayak tidak pentingnya hidup ini.


Share Tulisan Astuti N. Kilwouw


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca