
The events that make history tend to define our views and societies more emphatically than the “normal” times that pass quietly between them (Covid-19: Taking Comfort from the Past”, Mariana Kantor & Jeffrey Peters, 2020).
Peristiwa-peristiwa yang membuat sejarah cenderung mendefinisikan pandangan dan masyarakat kita lebih tegas daripada saat-saat "normal" yang berlalu dengan tenang di antara mereka.
Hampir satu semester, masyarakat Indonesia diselimuti dengan bencana non alam, Covid-19. Dalam kurun waktu tersebut (dan masih terus berlanjut), terdapat berbagai macam perubahan yang terjadi di dalamnya. Baik itu perubahan secara sosiologis, budaya, religi, maupun ekonomi, terrepresentasi di tengah terpaan pandemi Covid-19. Singkat kata, kita sedang tersandera dengan pandemi.
Langkah-langkah preventif untuk menekan laju penyebaran pandemi pun sudah dilakukan. Dimulai dari social distancing, physical distancing sampai dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sudah diterapkan. Akan tetapi, hingga saat ini masyarakat masih dalam kecemasan menjalani kehidupan sosialnya.
Disadari, bahwa pandemi Covid-19 ini telah banyak merubah tatanan sosial masyarakat kita. Semisal, keluar rumah menggunakan masker, menghindari kerumunan, mencuci tangan dengan sabun atau penyanitasian tangan (hand sanitizer), dan menjaga jarak sosial, adalah bagian dari perubahan itu. Sekiranya sejak pandemi masuk ke Indonesia pada awal bulan Maret, masyarakat Indonesia diimbau untuk menjaga kebersihan (ikuti protokol kesehatan) guna mencegah penyebaran Covid-19.
Imbauan lain guna meminimalisir penyebaran Covid-19 adalah melakukan aktivitas dari rumah. Bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah, yang ditetapkan pemerintah sejak 15 Maret 2020, tentu membuat kita rindu beraktivitas di luar rumah. Cara pencegahan tersebut, sudah tiga bulan ini dilakukan dan masih terus berlanjut.
Belum lagi dengan framing (membingkai) media massa tentang pandemi, yang tanpa sadar telah merecoki psikis dari masyarakat kita. Boleh dibilang, media masa di tengah pandemi telah banyak mewartakan informasi yang kontradiktif dan tumpang-tindih, yang kemudian berdampak pada penyerapan pengetahuan masyarakat tentang Covid-19 ikut terambang. Hal ini bisa dilihat dari kebebalan (ke-pahe-an) masyarakat kita yang masih abai dengan protokol kesehatan Covid-19.
Sebagaimana kita ketahui, awal Covid-19 melanda Indonesia, banyak masyarakat Indonesia menginisiasi cara pencegahannya melalui informasi yang didapat dari media massa atau pun media jejaring. Sejatinya, teknologi dan informasi telah memudahkan – sebagian – masyarakat untuk saling mengakses dan mewartakan informasi dengan cepat. Di masa pandemi yang sudah berjalan hampir enam bulan ini, banyak perubahan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan itu meliputi; menggunakan masker, mencuci tangan, pembatasan sosial dan transportasi, bekerja dari rumah, belajar dari rumah sampai dengan beribadah di rumah. Semua itu dilakukan, tak lain guna memutus penyebaran Covid-19.
Akan tetapi, hingga saat ini Covid-19 tidak memberi jarak kepada kita. Bahkan kurvanya terus menanjak terjal. Situasi demikian yang menyebabkan presiden Jokowi menyerukan kembali kepada masyarakat Indonesia, agar hidup berdamai dan berdampingan dengan Covid-19. Sederhananya adalah selalu menaati dan melaksanakan protokol kesehatan selama masa pandemi. Imbas dari pernyataan presiden ini, maka masyarakat diperhadapkan pada suatu ambiguitas kehidupan sosial di tengah pandemi.
Sebuah tatanan kehidupan sosial baru sudah diinjeksikan ke masyarakat selama tiga bulan kemarin. Meskipun pada awalnya, banyak kendala yang ditemukan tetapi lambat laun masyarakat mulai terbiasa dengan pola hidup baru. Artinya, pandemi telah menyeret masyarakat untuk memulai kehidupan baru dengan standar protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Lalu, berapa lamakah pola hidup baru ini akan bertahan? Kerja dari rumah, belajar dari rumah, hingga ibadah di rumah. Secara umum, mungkin jawabannya adalah sampai vaksin Covid-19 ini ditemukan. Sebagaimana kita ketahui, hingga saat ini vaksin coronavirus belum ditemukan. Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sampai saat ini pun masih kewalahan terkait vaksin coronavirus. Kebijakan mengunci wilayah, pembatasan sosial hingga menjaga jarak fisik masih menjadi treatment utama.
Dari kebijakan inilah, sejatinya pemerintah mengharapkan suatu tertib sosial dalam masyarakat tercipta dengan baik, guna memutus penyebaran Covid-19. New normal atau normalitas baru menjadi konsep yang hangat dibicarakan di tengah berlangsungnya pandemi. Konsep ini merupakan sebuah transformasi dari kehidupan sosial yang lama menuju ke kehidupan sosial baru. Setidaknya, hal ini harus menjadi ruang reflektif untuk pembelajaran. Pola hidup baru bukan berarti meninggal pola hidup lama. Dijelaskan oleh Mariana Kantor dan Jeffrey Peters (2020): “We should not be quick to call this the new normal. Normal has always been something of an illusion". Artinya, kita seharusnya tidak cepat menyebut bahwa ini normal baru. Normal selalu merupakan ilusi.
Pandemi Covid-19 telah mengubah dunia dengan cepat dan mendalam, dan akan terus berlanjut dalam minggu-minggu dan bulan-bulan mendatang, namun penting buat kita adalah mengingat dan memandang jauh kedepan. Contoh new normal di antaranya berupa belajar, bekerja dan beribadah dari rumah; keluar rumah menggunakan masker, pembatasan sosial dalam transportasi umum, pembatasan fisik dan menghindari kerumunan. Dari situasi normalitas baru yang nantinya melahirkan suatu pembiasaan, terlihat pada penggunaan masker saat keluar rumah, mecuci tangan dengan sabun, dan sindrom “pertemuan (rapat/diskusi/belajar) berbasis virtual”.
Apa itu Habitus?
Kata “Pembiasaan” pada judul di atas merupakan konversi dari kata “habitus”. Di sini saya meminjam konsep habitus dari Pierre Bourdieu, filsuf berkebangsaan Prancis. Menurut Bourdieu, Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan, yang kemudian membimbing mereka (1977).
Dalam menyoroti new normal yang hangat dibicarakan saat ini, menjadi amat penting tatkala kita membuka dengan konsep habitus. Yang mana, sebuah pola hidup baru masyarakat Indonesia (bahkan dunia) di tengah pandemi, terkonstruk dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan. Masyarakat Indonesia seolah terstruktur dengan pandemi.
Lebih luas saya melihat bahwa normalitas baru ini, tidak serta-merta lahir dari individu (masyarakat) begitu saja, tetapi ia dibangun dari satu konteks sosial ke konteks sosial lainnya. Bahkan saya mensinyalir, normalitas baru ini akan bergeser dalam kaitan dengan konteks tertentu dan seiring waktu berjalan. Indonesia hari ini, dalam penanganan pandemi Covid-19, telah menerapkan berbagai macam strategi penanganan. Meskipun di berbagai tempat, penanganannya masih jauh dari harapan.
Pendek kata, normalitas baru bukanlah sebuah pembiasaan yang tetap. Selama pandemi masih berlangsung, maka situasinya akan bersifat permanen atau tidak tetap. Ia dapat diubah dalam situasi yang terduga atau selama periode sejarah yang panjang. Dengan melihat realitas terkini terkait penangan Covid-19 di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa pembiasaan ini (new normal) berada dalam pikiran pemerintah (aktor).