Pada situasi pandemi saat ini, kebanyakan dari kita memilih menjalankan aktivitas yang menghibur demi menekan tingkat depresi akibat #dirumahaja. Di antara banyak pilihan jajanan hiburan yang tersedia di pasar online, website yang menjual film atau drama adalah salah duanya.
Hampir dua bulan kemarin, konsumen drakor ramai dibuat tegang, penasaran dan antusias menunggu kelanjutan episode The World of the Married Couple (TWOMC). Drama yang mengisahkan perselingkuhan dalam ikatan perkawinan yang dianggap suci ini, bahkan berdampak pada viralnya serangan komentar netizen Indonesia berisi ujaran kebencian dan stereotipe ‘pelakor’ pada unggahan instagram pemeran Da Kyung, Han So Hee.
Saya tidak akan membahas drakor itu di sini, namun film yang akan saya bahas ini mungkin bisa jadi perbandingan untuk TWOMC. Situasi dan latar belakang masalah kedua film dan drama itu berbeda, namun keduanya sama-sama mengangkat isu rumah tangga dan perkawinan sebagai basis cerita. TWOMC berkisah tentang perselingkuhan, sementara film ini menarasikan kekerasan dalam perkawinan yang digambarkan “hanya” melalui sebuah tamparan.
Selain itu, TWOMC adalah drama produksi Korea Selatan, sedangkan film ini diproduksi oleh industri perfilman Bollywood. Sebelum lanjut, saya perlu tegaskan bahwa film ini tidak menyajikan tarian dan nyanyian seperti bayangan kita atas semua film India. Walaupun, tetap saja ada satu dua lagu yang dijadikan latar untuk mengiringi beberapa adegan sebagaimana biasa kita saksikan dalam film-film lainnya.
Thappad (Tamparan). Demikian judul film yang dirilis pada 28 Februari 2020 ini. Awal adegan dimulai dengan aktivitas dan percakapan beberapa pasangan. Kemudian latar selanjutnya berpindah pada pasangan muda Amrita dan Vikram. Vikram tengah mengerjakan bahan presentasi untuk proyeknya di London, Inggris. Kita akan menyaksikan bagaimana Amrita disibukkan dengan pekerjaan teknis seperti mengambil terminal cok dan menghidupkan printer, serta membuka pintu untuk teman Vikram dan menyajikan kopi untuk mereka.
Amrita adalah pemeran utama yang digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang tidak bisa memasak dan sering membakar tangannya saat membuat paratha (roti khas India). Suaminya kerap menghina ketidakmampuannya tersebut, seperti saat melihat tetangga perempuan mereka, Shivani mengendarai mobil ke kantor, Amrita berujar “Bisakah aku belajar menyetir?” yang dibalas sindiran oleh Vikram “Pertama, buatlah paratha tanpa membakar jari-jarimu!”
Karakter patriarkis-misoginis Vikram tidak hanya sekali itu saja digambarkan, sebelum masalah sesungguhnya muncul. Bahkan sikap antagonis semacam itu ditampilkan dalam hal-hal kecil yang kerap luput dari perhatian kebanyakan orang. “Mengapa mereka membiarkan perempuan mengemudi?” Komentar marah Vikram saat mobilnya terjebak di belakang sebuah kendaraan yang dikemudi oleh perempuan. Vikram juga meminta kakak iparnya untuk mengajarkan istrinya memasak setelah sebelumnya memuji masakan sang ipar.
Selain itu, aktivitas harian Amrita yang tak berubah selama dia tinggal di rumah suaminya menggambarkan dengan tegas bagaimana seorang istri terjebak pada rutinitas di dalam istana yang dibangun oleh sang suami. Pada pukul enam subuh dia bangun, lalu mengambil susu dan koran di depan rumah, membuat teh untuk dirinya, menyiram tanaman sembari menikmati tehnya, memeriksa gula darah ibu mertua yang tinggal bersama mereka, mengantarkan susu dan roti di kamar sekaligus membangunkan suaminya.
Selanjutnya dia dan Sunita, asisten rumah tangga, akan menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk suaminya. Saat memasak bersama inilah, Sunita selalu mengisahkan dirinya yang tiap hari dipukul oleh sang suami.
Semua itu seolah berjalan apa adanya dan dijalani oleh Amrita dengan penuh kebahagiaan. Sebelum menikah, Amrita merupakan seorang penari. Dia berhenti menari dan memilih menjadi ibu rumah tangga karena balas budi pada suaminya yang menerima dia yang tidak bisa memasak. Kebahagiaan itu kemudian ambruk dalam satu malam.
Awalnya, proposal Vikram diterima dan dia ditempatkan sebagai pimpinan proyek di London, sebagaimana harapannya. Namun saat pesta tengah digelar di rumah mereka, tiba-tiba dia mendapat kabar tentang perubahan keputusan oleh para pimpinan perusahaan. Vikram kalap dan mulai adu mulut dengan salah satu pimpinannya yang hadir di pesta tersebut. Amrita berusaha melerai dan berakhir dengan sebuah tamparan keras yang mendarat bebas di pipinya.
Film ini benar-benar mengoyak habis isi kepala kita yang berisi dogma menjadi perempuan, istri dan ibu yang diharuskan tetap sabar menghadapi kekerasan serta ketidakadilan yang kita terima. Sikap tegas dan konsisten Amrita untuk mengakhiri pernikahannya dengan Vikram patut diapresiasi. Keputusan bercerai itu diambil oleh Amrita di tengah pandangan orang-orang sekitar yang menganggapnya berlebihan dalam merespons sebuah tamparan dari sang suami.
“Jadi hanya karena satu tamparan? Itu aneh, Amrita. Orang mungkin berpikir kau tidak masuk akal,” demikian ujar Netra, kuasa hukum yang menangani kasusnya.
“Aku tidak bisa menghormati diriku sendiri. Aku memilih menjadi ibu rumah tangga, tak ada yang memaksaku. Aku tidak mengeluh. Aku senang menjadi bagian dari mimpi dan hidupnya. Tapi, di sepanjang jalan, aku mungkin menjadi tipe orang yang suka ditampar. Bukankah itu tidak masuk akal? Dia tidak bisa memukulku! Hanya sebuah tamparan? Dia tidak bisa menamparku!” Amrita menjawab tegas.
Ketika suaminya meminta kompromi darinya, Amrita masih tegas menolak dengan menganalogikan sikap emosional sang suami menghadapi masalah di kantor dan sikapnya ketika berhadapan dengan ketidakadilan yang ditunjukkan suaminya.
Perempuan itu telah menginvestasikan hidupnya pada sang suami. Dia harus menjaga dan merawat rumah yang dibangun atas nama suaminya beserta semua penghuni, terutama sang suami. Dia akan memastikan semua kebutuhan sang suami. Dia juga bertanggungjawab atas kebahagiaan suaminya. Dia akan tidur paling terakhir dan bangun paling awal. Dia terjaga sebelum matahari benar-benar terbit, dan terlelap saat mata sang suami tenggelam.
Tapi tidak ada yang melihat itu sebagai sebuah masalah, ketika Amrita dan jutaan perempuan lainnya terpaksa mengubur mimpi mereka demi sebuah ‘pengabdian’. Bahkan ketika sebuah tamparan mendarat di pipi perempuan, orang-orang masih menyebut reaksi perempuan itu berlebihan, emosional dan irasional. Tidak ada yang menghakimi tamparan itu sendiri atau orang yang merasa berhak memberikan tamparan itu.
“Dia sudah menamparku untuk pertama kalinya. Tapi dia tidak bisa melakukannya lagi. Dia tidak bisa memukulku, bahkan hanya untuk sekali saja!”
Ketegasan Amrita di atas patut dijadikan preseden bagi kita semua, perempuan atau orang-orang yang masih sering berkompromi dengan kekerasan dan ketidakadilan. Pernyataan di atas menunjukkan bagaimana harusnya bersikap tegas ketika kita menjadi korban kekerasan. Sekali kita berkompromi, maka kekerasan itu akan terus direproduksi menjadi sebuah kebiasaan.
Selain Amrita, karakter yang cukup kuat memprotes sikap misoginis dalam film ini adalah Swati, pacar Karan, adik Amrita. Di antara banyak orang yang hadir dalam pesta itu, hanya ayah Amrita (Sachin Sandhu), Swati, dan Shivani yang mengerti serta mendukung sikap Amrita sejak awal. Sosok feminis termanifestasikan dengan apik pada peran seorang Swati.
“Aku tidak tahu kau merokok,” ujar Vikram saat memergoki Swati merokok di pestanya.
“Kau tidak harus tahu!” jawab Swati tegas.
“Apa Karan tahu?” tanya Vikram lagi
“Kadang-kadang kami merokok sambil berciuman,” jawab Swati, enteng.
Percakapan di atas sekali lagi menampilkan karakter misoginis-patriarkis yang ada dalam sosok Vikram. Saat berkata dia tidak tahu bahwa Swati merokok, padahal dia sendiri merupakan seorang perokok, adalah sebuah gambaran bagaimana sebagian laki-laki (dan juga perempuan), masih menganggap merokok sebagai ekspresi maskulinitas yang tidak patut dilakukan oleh perempuan ‘baik-baik’. Selain itu, dia juga mempertanyakan apakah pacar Swati mengetahuinya, yang memberikan gambaran bagaimana perempuan harus selalu mendapatkan izin dari pasangannya untuk melakukan sesuatu.
Tidak hanya memberikan jawaban tegas berisi sindiran khas feminis kepada Vikram, Swati juga sejak awal menunjukkan empati dan keberpihakannya pada sikap yang diambil oleh Amrita. Bahkan dia harus berdebat dengan Karan yang menyalahkan Amrita.
“Dia memang salah telah menamparmu, tapi dia tidak bisa menariknya kembali. Kau harus memberinya kesempatan. Bayangkan betapa malunya dia, di rumah dan kantor!” nasihat Karan pada Amrita.
“Masalah semua orang sangat penting, kecuali Amu (nama kecil Amrita). Padahal Amu akan lebih banyak kehilangan. Laki-laki bisa menikah lagi dengan mudah, tapi perempuan akan memiliki tanda perceraian di dahinya!” bantah Swati.
Di dalam naskah teater “Rumah Boneka” karangan Henrik Ibsen, sosok Amrita tak ubahnya seperti Nora yang biasa disapa “angsa-putihku” oleh suaminya. Keduanya baru tersadar akan istana yang membentengi kebebasan mereka, setelah sebuah insiden menimpa. Sebuah tragedi besar yang baru terungkap ketika kejadian yang dianggap sepele oleh suami mereka dan orang kebanyakan terjadi.
Awalnya, baik Nora maupun Amrita, menganggap pernikahan mereka didasari cinta sehingga pengabdian yang mereka lakukan merupakan sebuah keniscayaan. Namun benarkah demikian?
“Semua pernikahan adalah kesepakatan. Sebuah kontrak antara dua orang. Cinta tidak wajib dalam pernikahan. Kau bisa mencintai tanpa harus menikah!” Pernyataan Netra untuk Amrita ini memberikan sebuah perspektif baru untuk menelaah kembali sistem pernikahan konvensional dalam bingkai kultur yang patriarkis-misoginis, baik monogami maupun poligami, yang menempatkan perempuan sebatas pelayan bagi suaminya
Pernyataan di atas sejalan dengan yang dituliskan oleh Emma Goldman, bahwa perkawinan adalah asuransi yang lebih mengikat dan ribet, yang harus dibayar selama masa perjanjian masih berlaku dengan harga yang sangat tinggi, sebelum pada akhirnya mendapatkan jaminan tersebut. Perempuan akan membayar semua jaminan itu dengan kebebasan, privasi, harga diri, dan kehidupan, bahkan kematiannya. Sebuah penjara yang dibangun dengan dinding takhayul dan mitos teologis.
Jika kita menyimak dengan saksama, film ini menyajikan fakta bahwa mayoritas kasus kekerasan dalam perkawinan, justru perempuan korbanlah yang paling banyak disalahkan. Perempuan dianggap memicu atau berkontribusi atas sikap suaminya, sebagaimana Vikram dan orang-orang yang membelanya beranggapan bahwa tamparan itu terjadi karena Amrita berusaha menarik tangan Vikram guna melerai perkelahian yang terjadi.
Selain itu, justifikasi atas kekerasan semacam ini adalah laki-laki dalam kondisi mabuk dan emosional, sehingga wajar bagi dia untuk meluapkan semuanya pada perempuan atau istrinya. Tidak ada yang mempertanyakan kenapa harus perempuan atau istri yang dipukuli? Kenapa ketika perempuan yang mabuk dan marah tidak memukul laki-laki? Atau kenapa Vikram tidak memukul pimpinan yang telah mengecewakannya?
Ya. Jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan itu adalah karena perempuan yang dilabeli istri, anak perempuan, asisten rumah tangga, pacar, teman, pelacur, atau bahkan sekadar kenalan merupakan objek kepemilikan bagi laki-laki. Perempuan dianggap sebagai propertinya laki-laki, seperti mobil dan/atau rumah. Laki-laki bisa mengekpresikan kejantanannya dengan memukuli perempuan, sementara perempuan tidak boleh berlebihan menyikapi tindak kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki.
“... Bahkan aku tidak pernah berpikir akan menikah. Semua orang menanyakanku ingin menjadi apa ketika dewasa dan aku tidak ingat pernah bilang aku ingin jadi ibu rumah tangga. Lalu ibu datang membawa lamaran pernikahan untukku. Aku tidak tahu mengapa Vikram setuju padahal aku tidak tahu membuat paratha. Lalu aku berpikir aku mungkin bukan penari terbaik, tapi aku bisa menjadi ibu rumah tangga terbaik di dunia. Aku berusaha sangat keras. Aku sibuk membuat Vikram senang. Aku bahkan lupa biru bukan warna kesukaanku. Warna favoritku adalah kuning, benar kan papa? Kau menghujani aku dengan kasih sayang. Tapi pada malam pesta itu, aku menyadari kau mencintai istri Vikram, bukan aku. Setelah malam itu, tak satu pun dari kalian datang menemuiku. Tak ada yang memberitahu Vikram ini kesalahannya. Semua orang berpikir apa yang dilakukan Vikram benar adanya. Dan jika tidak benar, Amu haruslah melupakan semuanya. Dia harus bangkit!” pernyataan Amrita kepada ibu mertuanya setelah upacara doa untuk calon bayi yang sedang dikandungnya.
Kalian harus menonton film ini agar kita bisa meluaskan kabar gembira bahwa perempuan adalah manusia, bagian dari makhluk hidup yang menghuni bumi ini. Kita harus mulai mengajarkan pada anak laki-laki kita untuk tidak melakukan kekerasan kepada perempuan. Kita harus mendidik anak laki-laki kita sama dengan anak perempuan kita, begitu juga sebaliknya. Kita harus berhenti menyuruh perempuan untuk diam!