
Periode kedua pemerintahan Jokowi benar-benar membuat gaduh. Baru beberapa hari dibentuk, polemik sudah mengemuka. Mulai dari masalah hikab/cadar, celana cingkrang, radikalisme, wacana penghapusan IMB dan Amdal, hingga kenaikan iuran Badan Penyeleggara Jaminan Sosial (BPJS). Dari sekian polemik di awal Kabinet Indonesia Maju, kesempatan ini penulis hendak menyentil kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Ration D’Etre BPJS
Pasal 28H ayat (1) Konstitusi Indonesia, memastikan jaminan kesehatan bagi setiap orang Indonesia. Jaminan tersebut merupakan salah satu wujud dari legal policy negara memastikan konsep welfare state dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia.
Welfare state atau negara kesejahteraan dalam kelahirannya merupakan antitesa dari police state atau negara penjaga malam. Berbeda dengan police state, kehadiran negara hanya untuk memastikan keamanan dan keterbitan kehidupan bernegara. Dalam welfare state, negara harus hadir dalam segala lini kehidupan guna memastikan pemerataan pembangunan terdistribusi kepada seluruh warga negara secara merata dan adil. Sebab itu, dalam welfare state negara mengatur segala kehidupan warga negara untuk memastikan kesejahteraan.
Selain sebagai antitesa dari police state, welfare state juga hadir sebagai kritik atas model pemerintahan the poor law. Model pemerintahan ini sering menimbulkan stigma bahwa kehadiran negara hanya sebatas memberikan bantuan bagi orang-orang miskin. Sementara itu, welfare state tercermin pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan adanya right of citizenship di satu pihak dan state obligation di pihak lain.
Welfare state dalam kerjanya ditujukan untuk memastikan pelayanan sosial bagi seluruh penduduk, tua – muda, kaya – miskin, pria – wanita, dengan sebaik mungkin. Sebab itu, negara dalam welfare state memastikan pelayanan warga negara berbasis integrasi sumber dan pengelolaan pembiayaan dengan fondasi jaringan kerja sama untuk memelihara dan meningkat kesejahteraan warga negara secara adil dan sustainability.
Semangat welfare state sejalan dengan pandangan Bung Hatta. Dalam buku Demokrasi Untuk Indonesia, Zulfikri Suleman menyatakan, Hatta berpendapat bahwa salah satu ciri dari masyarakat Indonesia adalah tradisi tolong-menolong atau gotong royong, menjadi sendi untuk membangun demokrasi Indonesia. (Suleman: 2010, 188)
Pendapat Hatta terhadap salah satu karakteristik bangsa Indonesia yakni gotong royong terkonfirmasi pada sila kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sebab itu, pemerintah wajib hadir memastikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagai wujud membumikan Pancasila serta melaksanakan amanah konsitusi tepatnya Pasal 28H ayat (1).
Kehadiran pemerintah dan karakteristik gotong royong itulah, dibentuklah BPJS Kesehatan dengan sistem “patungan”. Meskipun dimaksudkan untuk saling membantu mewujudkan kesejahteraan sosial di bidang kesehatan, besaran iuran tetap harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia.
Pergeseran Maksud
Jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan bukan hal baru. Sebelumnya, telah ada Jamsostek, JKN, Askes dan lain sebagainya. Meskipun begitu, BPJS Kesehatan memilki karakteristik yang berbeda. Selain menyatukan semua pelayanan kesehatan pada satu pintu tanpa ada pembedaan, juga berbasiskan gotong royong dengan sistem patungan berbasis iuran.
Mulanya BPJS hadir untuk memastikan pelayanan sosial di bidang kesehatan dilakukan pemerintah secara merata. Praktiknya, pemerintah justru menaikkan iuran BPJS kesehatan ditengah angka kemiskinan yang masih cukup tinggi. Sebut saja data BPS per Maret 2019 menyajkan angka kemiskinan Indonesia sebesar 9,41% atau 25,14 juta orang. (bps.go.id).
Memang, jika dibandingkan dengan data kemiskinan sepanjang pemerintahan Indonesia, angka kemiskinan per Maret 2019 merupakan angka kemiskinan paling rendah. Meskipun begitu, jumlah penduduk miskin di atas 25 juta jiwa bukanlah angka yang kecil. Itu berarti, paling tidak ada lebih dari 25 juta warga yang kesulitan dalam patungan iuran BPJS.
Kenaikan iuran BPJS juga tidak sebanding dengan pelayanan kesehatan terhadap pasien yang menggunakan BPJS. Selain berbeda dengan BPJS kelas I dengan kelas II apalagi kelas III, pasien yang menggunakan jasa asuransi plat hitam pelayanannya jauh lebih maksimal. Tidak hanya cekatan, bonus senyuman dan fasilitas yang jauh berbeda dengan pasien BPJS apalagi yang kelas III. Jenis obat yang diberikan untuk pasien pengguna BPJS pun berbeda dengan pasien yang tidak menggunakan BPJS apalagi terhadap pasien yang menggunakan jasa asuransi kesehatan plat hitam. Penulis sendiri pernah mengalami hal serupa, padahal BPJS yang dipakai kategori kelas I.
Tidak hanya menaikkan iuran BPJS, pemerintah mengancam warga negara yang tidak mendaftar dan menunggak pembayaran iuran BPJS. Sebagaimana usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani, bahwa peserta BPJS yang menunggak pembayaran diusulkan tidak daftar sekolah hingga perpanjang SIM. (idntimes.com).
Closing Statement
Sejak awal, kehadiran BPJS Kesehatan adalah untuk memberikan akses pelayanan kesehatan yang adil dan maksimal kepada seluruh warga negara Indonesia tanpa pembeda. Dengan sistem iuran, justru pemerintah menghindar dari kewajiban memberikan pelayanan kesehatan kepada setiap warga negara sebagaimana amanah konstitusi apalagi kehendak ideologi bangsa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun wajah program BPJS Kesehatan menampakkan aroma sosialisme, praktiknya terasa sangat kapitalis.