Sudirahmat (24 tahun) atau biasa dipanggil Amat, bukan seorang aktivis lingkungan. Dia hanya pemuda Desa Guruapin, Kayoa, Maluku Utara. Amat adalah lulusan sekolah kesehatan di Makassar 2014 lalu.
Saat ini, dia telah menetap di kampungnya sebagai tenaga honor Puskesmas. Usai menamatkan studinya, mengabdi di kampung halamannya . Tidak itu saja, kesehariannya diisi dengan menanan dan melindungi pohon mangrove. Hal ini teryata menjadi inspirasi bagi beberapa kawannya. Mereka bersama ingin mengembalikan hutan mangrove yang sudah dieksploitasi bertahun-tahun.
Ditemui di rumahnya di Desa Guruapin belum lama ini, dia terlihat kaget. Didatangi beberapa aktivis LSM yang ingin mendegar cerita, terkait apa yang dirintisnya, dia terlihat malu-malu. Meski begitu, tetap membagi cerita dan keluh-kesahnya.
Mengawali cerita, dia bicara kondisi kampungnya yang memiliki hutan mangrove luas, namun mulai berkurang. Meski begitu belum pernah ada yang berinisiatif menanam sepohon pun untuk regenerasi hutan mangrove . Padahal kata Sudirahmat, mangrove di desanya dieksploitasi bertahun-tahun untuk berbagai kebutuhan hidup.
Menurutnya, penduduk kampong Guruapin mencapai 2347 jiwa. Mereka mengambil soki atau mangrove yang luasnya mencapai 26,4 kilometer atau 30 persen dari luas mangrove di Kecamatan Kayoa mencapai 87,6.
“Warga setiap saat menebang mangrove untuk kepentingan pembangunan rumah maupun kayu bakar. Artinya, dalam setahun, ada ribuan pohon mangrove ditebang. Artinya dalam beberapa tahun ke depan, hutan mangrove di kampung ini akan habis. Memang belum ada riset, tetapi mangrove yang tersisa ini kecil seperti Kayoa ini akan habis. Tidak sampai 30 tahun hutan mangrove di kampong saya ini habis. Karena itu jika mengharapkan mangrove tumbuh secara alami, rasanya sulit seperti sedia kala,” katanya.
Dia bilang, jika mangrove habis, akan terjadi kerusakan secara berantai dan dampaknya dirasakan langsung warga.
“Bayangkan saja jelang puasa, semua orang beramai-ramai menebang pohon soki--mangrove, 50 pohon per rumah. Artinya dalam setahun ada ribuan pohon diambil untuk kayu bakar. Belum lagi mangrove diambil untuk pembangunan rumah, atau keperluan lainnya,” ujarnya.
Karena kondisi ini, dia mencoba mengubah mindset warga. Dimulai dengan membuat sebuah demplot kecil, menyemai sekitar 50 pohon mangrove untuk ditanam di beberapa tempat yang dulu pernah tumbuh mangrove. Termasuk di dekat rumahnya.
“Saya merintis pertama ketika pulang 2014 lalu dengan menyemai benih dan ditanam di beberapa lokasi. Bersyukurlah sudah ada yang tumbuh,” ujarnya. Lingkungan rumahnya menjadi sasaran pertama, karena dulu kawasan hutan mangrove yang dibuka untuk pemukiman. Usaha awal itu berhasil. Dia dan beberapa temannya lalu merintis pembibitan untuk ditanam di banyak tempat yang telah dieksploitasi tanpa penanaman ulang.
Lalu dari mana Sudirahmat mendapatkan pengetahuan cara menyemai benih dan media tanam yang cocok untuk tumbuhkembang mangrove?
“Saya ikut organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA) di kampus. Dari sini berusaha mencintai alam. Tidak tega melihat alam dieskploitasi tapi tidak dipikirkan bagaimana nanti diwariskan kepada anak cucu,” katanya.
Memang katanya, dalam merintis sesuatu yang baru , tidak mudah. Melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kebiasaan banyak orang, membutuhkan ketahanan mental dan keikhlasan hati. Di tengah warga belum peduli menanam mangrove, tantangannya adalah meyakinkan mereka.
Baginya, warga akan melihat hasil kerja. Bukan bicara. Hasil nyata dari apa yang dibuat, akan memberikan pelajaran dan penyadaran kepada warga. “Yang diharapkan hasilnya seperti apa. Maka saya lakukan dulu, nanti bisa dilihat,” ujarnya.
Awal mula memulai juga mendapat cibiran, dibilang gila. Bahkan, ada warga berusaha merusak bedeng dan mangrove yang disemai. Warga menudingnya jika apa yang dilakukan itu semata mencari keuntungan dari proyek pemerintah.
“Ini masalahnya. Warga menganggapnya selalu proyek pemerintah,” katanya.
Sikap warga bisa begini karena yang mereka ketahui, pohon yang ditanam pasti hanya untuk menghasilkan uang semata. Misalnya menanam pala atau cengkih. Namun demikian, cibiran itu tidak digubris. Dengan modal sendiri, dia pergi mengumpulkan bibit di teluk seberang kampung yang dapat dijangkau menggunakan perahu katinting.
“Kadang harus berhutang bahan bakar untuk mencari benih. Benih memang berlimpah. Tapi saya tidak punya polybag untuk wadah penyemaian,” imbuhnya.
Sebenarnya dia juga memiliki keinginan besar menyemai benih puluhan ribu pohon, agar bisa diambil warga dan ditanam secara suka rela. Sayangnya, terbatas modal dan tenaga. Karena itu yang dilakukan hanya sebatas kemampuannya.
Benih di Kayoa melimpah. Tinggal tenaga saja, mampu atau tidak. Persoalannya, menyediakan media polybag butuh biaya. Sementara, dia tak memiliki cukup modal.
“Akhirnya saya gunakan tenaga, sambil mengharap sumbangan. Untuk mendapatkan polybag dari pemberian teman, atau dibeli jika dapat honor,” ujarnya.
Kegigihan mengumpulkan benih mangrove dan tentu bantuan teman-teman tersebut, kini sudah tersedia ribuan pohon mangrove siap tanam. Sebuah bedeng di samping rumah berukuran 2x3 meter berisi mangrove, telah berusia satu tahun dan telah siap tanam di tempat yang banyak dieksploitasi mangrovenya. "Ini cara membuka mindset warga, bahwa sumberdaya alam tidak hanya dieskploitasi, tetapi perlu dijaga keberlanjutannya,” katanya.
Apa yang dilakukan Sudirahmat di kampongnya ini butuh dukungan berbagai pihak . Butuh gerakan bersama mengambalikan hutan mangrove sebagai salah satu penghasil nitrogen penting bagi laut.
“Kami sangat butuh dukungan. Hanya saja, tidak tahu bagaimana caranya. Tujuan kami, semua orang bekerja bersama memperbaiki hutan mangrove,” imbuhnya.
Upaya ini meski dipandang sebelah mata oleh warga, namun diyakini suatu saat pasti dinikmati hasilnya. Dengan begitu, tujuannya menginspirasi warga bisa tercapai.
“Prinsip saya, kita lakukan saja, nanti warga melihat hasilnya. Jika tumbuh kesadaran, maka paling tidak, kita bisa memberikan sedikit tenaga untuk perbaikan mangrove di pulau ini,” tutupnya. (*)