× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#ESAI

Korban

Dari saat ke saat, manusia menyembunyikan keserakahannya dengan eufemisme.
Korban
Ilustrasi.

10/08/2020 · 3 Menit Baca

Ada sebuah cerita — fiktif tentu — dari sebuah kerajaan di tanah tinggi Dakkhana, di barat daya India, di abad pertama Masehi, tentang Subhrata. Ia anak lelaki berumur 15 tahun yang merawat seekor kuda putih berbintik-bintik hitam, yang, sebagaimana keharusan agama, dipersiapkan untuk upacara korban Aśvamedha. Kuda itu diberi nama Agnisakha,  “angin dan juga api”.

Adapun baginda Satakarni I, raja ke-3 dari dinasti Satavahana, berniat menyelenggarakan upacara korban besar itu,  seperti Raja Yudhistira melakukannya konon dalam kitab Aswamedha Parwa. Sebagaimana digariskan, ketika bintang-bintang menentukan saatnya yang tepat, para pendeta pun melepas kuda Agnisakha ke luar batas kerajaan, untuk berjalan ke arah mana saja.

Tapi di tiap tempat ia berhenti, akan ditegaskan tanda batas wilayah baru kekuasaan Satavahana. Dan Rg Veda dikutip:

“Dengan tangan Indra dan semua dewa
Akan kita buat dunia yang terbentang ini hamba-sahaya”

Upacara korban ini bukan hanya upacara agama, tentu. Beberapa puluh pal di belakang Agnisakha berbaris siap pasukan terpilih, yang akan memaksakan klaim Baginda Sartakani kepada negeri yang didatangi sang kuda, dan akan mengalahkan siapapun yang menampik.

Syahdan, selama perjalanan itu, Subhrata mengiringi Agnisakha. Itu tugas kerajaan yang menyenangkan hatinya, sebab ia dan kuda itu yang selama 23 bulan dirawatnya itu telah jadi sahabat yang akrab. Anak itu akan membisikkan kalimat yang manis bila Agnisakha lelah, dan menenteramkannya bila kuda itu resah. Ia akan membasuh tubuhnya yang berkeringat dan menyiramkan air sungai yang sejuk. Bila terjadi pertempuran, ia akan melindungi hewan itu dari panah yang sesat dengan perisai dan timbunan ranting pohon. Di malam hari, Subhrata akan tidur di tempat Agnisakha ditambatkan. Sebelum mata terpejam, pelan-pelan ia akan mengulang ke kuping sahabatnya kata-kata dalam Śatapatha Brāhmaņa:

“Musim panas adalah musim ksatria, 
Dan Aśvamedha adalah upacaranya”

Beberapa bulan lamanya Agnisakha berjalan, beberapa puluh wilayah ditaklukkan. Pada bulan ke-18, datanglah titah Raja agar rombongan pulang. Para peramal bintang melihat, telah tiba saat tahap penutup upacara Aśvamedha  dimulai di ibukota kerajaan.

Subhrata bersuka cita. Ia akan kembali ke desanya dan bisa berkisah tentang negeri-negeri lain yang dilihatnya selama mengikuti pengembaraan Agnisakha, ketika ia menjumpai buah dan makanan yang berbeda, tarian dan nyanyian lokal dari tempat ke tempat yang dikuasai balatentara Raja Satakarni. Ia akan bisa bangga dan merasa kaya dengan kenangan karena telah bersua dengan manusia dan bahasa yang berlainan, telah mendengar jerit kesakitan dalam perang yang sengit dan ketawa bangga kemenangan.

Subharta tidak tahu bahwa upacara besar dan panjang itu tak cuma sampai di situ. Remaja itu belum tahu apa yang tersurat dalam teks lengkap Aswamedha Parwa.

Ia tercengang, ketika Agnisakha kembali ke ibukota. Subhrata melihat enam tiang pancang tinggi didirikan, ditutup kain kerajaan yang cemerlang, didasari bata-bata emas. Ke sanalah Agnisakha ditambatkan, di antara ratusan hewan lain. Di sanalah upacara berpusat.

Upacara itu memukau, khidmat, dan buas: hewan-hewan yang diikat itu disembelih segera.

Kecuali Agnisakha. Sebab sebuah pembunuhan yang lebih spekatakular menanti sahabat Subhrata itu.

Pada saat yang ditentukan Baginda Ratu turun ke lapangan. Dengan cat merah, ia memberi tanda ke tubuh kuda yang gagah itu di tiga tempat. Di sanalah pedang yang amat tajam kemudian ditetakkan. Agnisakha dipotong. Dan para hadirin — bangsawan dan pendeta yang hadir —membayangkan mereka tengah mengikuti apa yang ditulis dalam Mahabharata: seakan-akan di saat itu pelbagai suku Apshara menari dan para Gandarva menyanyi.

Dan tentu saja Agnisakha tak ada lagi.

Yang kelihatan: Sri Ratu duduk di dekat mayat kuda yang telah jadi tiga potong itu, duduk di antara darah yang masih mengalir. Tak lama lagi daging hewan itu pun dimasak dan disiapkan untuk disantap. Hadirin bergembira.

Akhirnya satu tahap yang lebih khusyuk: tulang belulang kuda itu dilontarkan ke api unggun oleh enam belas pendeta yang melakukannya dengan wajah penuh kearifan. Raja pun berdiri dari tahta. Ia menghidu bau dari asap yang menjulang itu — dan itulah akhir upacara: kata kitab suci, di saat itu baginda mendapatkan kekuatan Sakra yang sejati.

Subhrata tak menyaksikan semua itu dengan rinci. Ia sudah lama terhenyak ketika para ksatria dan brahmana memotong Agniaskha. Ia menahan tangis. Akhirnya ia pun lari dari lapangan yang penuh sesak itu. Ia tak mau melihat, bahkan tak mau membayangkan tatapan mata terakhir yang kesakitan dari teman seperjalanannya.

Apa yang bisa ia lakukan? Ia tak bisa mengalahkan kata-kata suci.

Esok harinya, sehabis dinihari, sebelum orang tuanya terjaga, anak itu meninggalkan rumahnya — berjalan ke arah yang berlawanan dari arah perjalanan Agnisakha setahun yang lalu. Ia masuk ke dalam hutan di utara gunung.

Orang tua dan teman-teman sedusunnya tak akan pernah menemukannya kembali.

Bertahun-tahun kemudian di tempat itu dijumpai seorang pertapa yang menulis sebuah kitab yang nyaris tak bisa dibaca.  Hanya ada empat kalimat yang bisa ditebak — yang dalam kata-kata sekarang saya artikan seperti ini:

Dari saat ke saat, manusia menyembunyikan keserakahannya dengan eufemisme. Ia membunuh untuk mendapatkan karunia dewa-dewa. Ia memisahkan diri dari Agnisakha, dari alam dan dongeng, dari imajinasi dan puisi, dan meneruskan hidup dengan akal yang cerdik, kalkulasi, dan penaklukan. Dan ia menang — seraya lupa ada yang cidera dalam hidup.

Itulah agaknya yang membuat manusia sanggup melakukan kekejaman dan tak canggung dalam ketamakan. Di dunia, di surga.


Share Tulisan Goenawan Mohamad


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca