
Tulisan sederhana ini merupakan bentuk apresiasi dan partisipasi dalam memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) pada 9 Agustus lalu. Soal masyarakat adat, hutan, dan tanah kerap memicu perdebatan panjang. Tak dapat dipungkiri, hutan dan tanah merupakan komoditas maha penting di tengah kepentingan pembangunan dan modernisasi. Hutan dan tanah pun menjadi sumber perebutan antara korporasi dan negara. Padahal, hutan dan tanah merupakan benteng pertahanan dan sumber pangan bagi masyarakat tempatan paling ideal. Kini, di tengah wabah pandemi Covid-19, masyarakat adat yang menetap di hutan, yang menjaga tanahnya, harus menyambung hidup dengan apa adanya. Bagi masyarakat adat, hutan dan tanah tak sekadar sebuah keakraban (familiarity), tetapi juga adalah keterikatan (preoccupation).
Proses deforestasi (pengawahutanan) atas dasar pembangunan dan kepentingan kapitalisme, lalu perlahan mulai dijalankan secara sistematis, dan tak pernah berhenti hingga kini. Hutan rimbun tak lagi ditemukan. Hutan dan tanah berubah menjadi kawasan pertambangan, perkebunan, areal industri pertanian berskala besar. Hutan bukan lagi "penjaga" kehidupan bagi masyarakat, tapi hutan berubah menjadi sektor bernilai ekonomi tinggi. Lalu kedaulatan pangan? Omong kosong semua itu.
Inilah yang menjadi nilai dasar masyarakat adat dalam menjaga dan mempertahankan wilayahnya. Namun, dalam beberapa tahun belakangan, istilah ini serta-merta memiliki arti yang diasosiasikan dengan aktivisme, protes, dan konflik yang disertai kekerasan. Sebelumnya istilah “adat” dalam konteks bahasa Indonesia memiliki arti “kebiasaan” atau “tradisi”, dan mengandung konotasi tata tertib yang tentram dan konsensus (Henley dan Davidson, 2007). Keluarnya Putusan MK 35/PUU-X/2012, telah menabalkan rasa kegembiraan sekaligus kepastian masyarakat adat di seluruh Indonesia. Namun, ternyata Putusan MK 35 tersebut tidak menjadi langkah konkrit pemerintah melaksanakan amar putusannya.
Langkah panjang AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan komunitas masyarakat adat lainnya yang tersebar di seluruh punggung dan perut Indonesia untuk mendorong pengakuan atas hak-hak masyarakat adat ternyata belum usai. Ada sikap asertif yang ditunjukkan AMAN dan komunitas adat lain, bila merujuk atas pernyataan sikap yang pernah disampaikan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) pertama pada Maret 1999 : “Kalau Negara tidak mengakui kami, maka kami pun tidak mengakui negara.”
Beberapa studi terdahulu memperlihatkan bahwa konflik sosial dan sumber daya alam yang meluas di Indonesia berakar pada kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat serta adanya perbedaan sistem tenurial yang diakui masyarakat setempat dan negara (Moniaga, 2007). Hak tenurial terhadap sumber daya alam merujuk pada hubungan sosial dan lembaga yang mengatur akses dan tata guna lahan dan sumber daya (von Benda Beckman dalam Larson, 2013). Kisah tentang masyarakat adat, bukanlah kisah 1001 malam. Istilah masyarakat adat memiliki sejarah panjang, terkait erat dengan perjalanan penguasaan wilayah, tanah, dan sumberdaya alam lain oleh kelompok-kelompok tertentu sejak zaman prakolonial, kolonial, hingga pascakolonial (Siscawati, 2014). Persaingan dengan kepentingan pendatang atas hutan dan lahan hutan, lalu mengancam akses ke sumber daya bagi masyarakat yang menempatinya. Mata rantai problem inilah yang tak pernah putus sejak lama.
Dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya, ini dapat menyebabkan apa yang disebut oleh Onibon dkk. (1999) sebagai ‘dualisme yang mandul’, yaitu negara memberlakukan peraturan perundang-undangan yang dipastikan tidak dapat dijalankan dan tidak selaras dengan penerapan lokal; akibatnya, aturan tersebut pasti diabaikan namun tindakan penduduk setempat dipidanakan (Larson, 2013).
Persaingan dengan masyarakat penghuni hutan bersifat kompleks dan bukan hal baru. Persaingan kepentingan mencakup pembebasan lahan yang sangat luas untuk berbagai penggunaan (ketahanan pangan, kelapa sawit, bahan bakar nabati, penyerapan karbon atau proyek+) maupun kepentingan yang sedang berlangsung untuk konservasi hutan atau pertambangan dan minyak bumi. Sementara peran negara dalam kepemilikan lahan serta sumber daya alam dan dalam negosiasi investasi asing (Larson, 2013).
Soal kosmologi tanah bagi masyarakat adat, terutama di wilayah adat, lebih berkaitan dengan penghormatan atas kepercayaan, budaya, cara berfikir, sumber-sumber kehidupan ekonomi, dan semua unsur keyakinan tempatan, yang diwariskan para leluhur, merupakan hak dasar yang harus dipenuhi, dan secara nyata dilaksanakan dalam kehidupan, yang tatkala bersentuhan dengan proyek-proyek pembangunan, pandangan ideo-spiritual dan kosmologi masyarakat adat terhadap tanah ini tidak dipedulikan dan diabaikan, tanah telah menjadi barang yang karena alasan pembangunan dapat menjadi komoditas dan bahkan dilakukan ganti rugi dengan biaya murah. Pada aras inilah, konflik tak dapat dicegah, karena tanah, sebagai pandangan dasariah masyarakat adat telah terkontaminasi. Hal yang sama, tatkala wabah pandemi Covid-19 menyebar, yang paling dirasakan lebih pada ketersediaan pangan bagi mereka. Hutan dan tanah telah berganti menjadi tembok, kemana sumber pangan mereka harus diperoleh?
Bila suatu pembangunan justru hanya membuat kemerosotan pada kualitas kehidupan sosial, meningkatnya kesenjangan sosial, tingginya kriminalitas, munculnya konflik dan disintegrasi sosial, dan sebagainya, masyarakat makin tidak merasa nyaman dan aman, maka ini namanya “social suicide” (bunuh diri sosial). Pada tataran ini, Pemerintah, wakil rakyat, maupun para pemangku kebijakan, harus memahami dan menyadari realitas ini.
Karena itu, hutan dan tanah adalah identitas, sebuah keterikatakan, yang bila itu diruntuhkan, maka ikut meruntuhkan identitas masyarakat adat, yang juga meruntuhkan masa depan.[]