
"Bioskop merupakan pilihan rasional masyarakat
untuk melepas dahaga atas kebutuhan hiburan mereka.
Inilah bentuk hiburan masyarakat bawah."
Di tahun 1960-an akhir, kala itu Tobelo masih berstatus kecamatan, hadir sebuah bioskop film layar lebar, tepat di Jalan TT Marhaban. Bioskop (dari bahasa Belanda bioscoop) berdinding bambu yang dicincang/diancak dan dikenal dengan nama Bioskop Gembira Ria. Bahkan motor pengangkut rol film juga diberi nama Gembira Ria. Film yang diputar pun masih hitam putih. Sekarang sisa gedung bioskop itu tak ada lagi. Ditelan zaman dan rumah-rumah penduduk yang kian sesak.
Tahun 1970-an, hadir semacam “bioskop” misbar (gerimis bubar) atau bioskop keliling, dengan layar tancap yang diputar di areal Pelabuhan Tobelo saat itu. Pertunjukan itu dekat dengan deretan gudang kopra yang atapnya melengkung bundar serta menyebarkan bau kopra menyengat dan tajam. Warga masyarakat Kota Tobelo saat itu harus menyaksikan film (masih hitam putih) walau berjibaku dengan bau kopra dan bau keringat. “Bioskop” misbar/keliling ini tak bertahan lama, saya kurang tahu berapa kali “bioskop” misbar/keliling itu memutar film. Mungkin penyelenggara bermaksud memberikan hiburan, sembari tanpa disadari, justru telah mulai membuka ruang-ruang interaksi sebagai "katup pengaman" antar warga saat itu.
Perjalanan bioskop tak sampai disitu, di awal tahun 1980-an, tepat di belakang Toko Jobubu (sekarang President Hotel) hadir sebuah bioskop. Gedungnya menempel dan menyatu dengan bangunan toko. Masih ingat dalam memori pengalaman saya, bioskop itu teramat sederhana dengan tempat duduk masih menggunakan balok-balok kayu (warga menyebutnya kayu bintangor— kalau tak salah ingat) tanpa sandaran. Balok-balok itu dijejarkan dengan jarak tertentu antara satu balok dengan balok lain, memanjang menghadap sebuah tripleks besar bercat kapur yang dijadikan sebagai layar, di mana proyektor dipantulkan. Seadanya dan sederhana memang. Saat itu, film sudah berwarna. Tatkala film mulai diputar, suara bising, baik dari penonton yang waktu itu berjumlah tak kurang dari 40 orang, dengan suara sound system yang acap kali timbul-tenggelam saling beradu. Belum double-stereo, sebagaimana yang ada di gedung-gedung Cinema XXI sekarang. Membuat ruang bioskop itu bagai pasar malam, riuh, apalagi di pertengahan acara berlangsung tiba-tiba film terhenti, gedung serasa meledak dengan suara penonton.
Bioskop di belakang Toko Jobubu tak bertahan lama. Kemudian dipindahkan ke wilayah desa Gura, dekat Kantor Telkom. Saya kurang tahu persis nama bioskop itu, dan menurut beberapa sumber, bioskop itu menggunakan sebuah gedung SPG berkapasitas kurang lebih 200 orang.
Di awal tahun 80-an, berdiri gedung bioskop yang representatif di Jalan Bhayangkara, samping kiri SMA Negeri Tobelo, berhadapan dengan Rumah Dinas Kepala Wilayah Kecamatan Tobelo, Rumah Camat. Ketika Tobelo beralih status menjadi ibukota Kabupaten Halmahera Utara, bangunan rumah dinas itu berubah menjadi Kantor Bappeda Kabupaten Halmahera Utara, sekarang entah sebagai apa. Inilah bioskop pertama dengan pengelolaan manajemen modern di wilayah Tobelo yang dikenal dengan nama Tobelo Theatre, mampu menampung kurang lebih 200-300 orang penonton. Sampai sekarang gedung itu masih berdiri kokoh, menjadi saksi sejarah perjalanan bioskop di wilayah Halmahera Utara dan Maluku Utara.
Entah berapa lama Tobelo Theatre kebanggaan warga Tobelo itu bertahan, karena kemudian dibangun lagi sebuah bioskop dengan ukuran sama di wilayah Gosoma, dikenal Bioskop President, dengan pemilik Toko Jobubu, bernama Kim Le Ang. Bioskop Tobelo Theater pun goyah, minat dan antusiasme warga Tobelo lebih memilih Bioskop President. Bioskop ini cukup lama bertahan, sampai akhirnya tumbang dan pernah dijadikan tempat penyewaan VCD/DVD. Terakhir yang saya tahu pernah sebagai gedung pertemuan resmi untuk acara-acara pemerintahan. Sampai sekarang gedung bioskop itu masih berdiri kaku tak lagi berfungsi, namun bangunannya masih terawat baik.

Di masa kejayaan Bioskop President, film India (Bollywood) dan Indonesia, terutama film-film yang dibintangi Rhoma Irama menjadi primadona warga. Bioskop President tak sendiri, karena muncul lagi sebuah bangunan bioskop yang sedikit lebih modis, di dalamnya dijual camilan, untuk keperluan penonton, dengan penataan ruang cukup terstandar untuk ukuran bioskop di wilayah Tobelo dan sekitarnya, bahkan mungkin Maluku Utara. Gedung itu berdiri di atas lahan yang dibeli dari Tete Dongoyana Nabiu, yang dibeli Rudi Limi/Bu Hun (pemilik Toko Metro), Toko Metro memiliki pertalian keluarga dengan Toko Fajar. kelak gedung ini dikenal dengan nama Bioskop Citra. terletak di kawasan Kampung Cina, tepat berhadapan dengan Penginapan Megaria. Bioskop Citra lebih mengedepankan film-film aksi, terutama Hongkong dan Hollywood. Juga film Bollywood pilihan. Bioskop ini menjadi pangkalan anak muda Tobelo dan sekitarnya. Era bioskop perlahan limbung, ketika TV dan VCD/DVD menyerbu Tobelo. Gedung bioskop ini, kemudian berganti pemilik, dan sekarang telah disulap menjadi Hotel Juliana, tepat berdampingan sebelah kiri dengan Penginapan Meraksi Flower. Era bioskop pun redup, lalu mati.
Dua bioskop, President dan Citra yang dimulai era 1980-an hingga 1990-an, merupakan dua ruang interaksi yang sangat positif bagi warga masyarakat Kecamatan Tobelo dan wilayah sekitarnya. Apalagi bila malam minggu tiba dan kebetulan dua bioskop itu tengah memutar film-film box office, jalan raya Kota Tobelo ramai dipenuhi warga. Jarang sekali terjadi tawuran antar pemuda, karena semua berkonsentrasi pada pilihan atas ruang hiburan yang diminati.
Kehadiran dua bioskop di Kecamatan Tobelo, selain berada di Kecamatan Tobelo, terdapat juga beberapa bioskop di Ternate, Galela, Kao, dan Sanana. Di Ternate, kita sama tahu, terdapat dua bioskop fenomenal, Bioskop Istana (sekarang berubah menjadi Muara Hotel dan Mall) dan Bioskop Benteng (masih terlihat sampai sekarang). Kini, Ternate telah memiliki XXI, lebih elegan dan lebih mewah. Namun, suasana psikologis akan berbeda dengan orang menonton bioskop sederhana. Sementara di Galela, terdapat dua bioskop di Soasio berdekatan dengan pasar dan Soatabaru, yang jejaknya juga tak terlacak. Tahun 1986-1987 di Kao masih terdapat sebuah bioskop sederhana yang berada di ibukota kecamatan yang memutar film dengan harga tiket dibrandol Rp. 250 (dua ratus lima puluh rupiah), Hal yang sama juga di Sanana, sekitar tahun 1970-an terdapat sebuah bioskop di Falahu, entah sekarang jejaknya tak diketahui.
Sangat dipahami memang, karena saat itu, wilayah Tobelo dan sekitarnya belum mengkonsumsi sinetron melalui layar TV seperti yang terjadi sekarang, atau film-film melalui cakram VCD/DVD, atau Youtube. TV masih menjadi barang mewah dan langka. Dan bioskop merupakan pilihan rasional masyarakat untuk melepas dahaga atas kebutuhan hiburan mereka. Inilah bentuk hiburan masyarakat bawah.
Jaringan bioskop di Tobelo (kecuali Bioskop Citra), Kao, Galela (mungkin juga Sanana), dibangun Kim Le Ang, pemilik Toko Jobubu. Kim Le Ang merupakan pelopor bisnis ini. Ada impuls besar yang mendorong Kim Le Ang membangun jejaring bisnis bioskop di tengah situasi masyarakat Halmahera Utara kala itu yang masih berstatus kecamatan dan bukan warga urban. Namun, Kim Le Ang, telah berani mendorong budaya populer (bioskop) ke tengah-tengah masyarakat itu. Sebuah proses modernisasi, dengan proliferasi untuk memperkenalkan bioskop sebagai pengantar kejenuhan bagi warga yang ditekan rutinitas. Kim Le Ang berhasil "mengindoktrinasi" budaya populer dalam hal ini bioskop, dengan tidak meruntuhkan identitas budaya tempatan yang kerap diglorifikasikan dan didomestikasi.
Budaya dimaksudkan sebagai sistem simbol yang didistribusikan secara luas di mana orang-orang berupaya memahami dunia guna menentukan sikap sendiri, mengkonstruksi identitas, serta berkomunikasi dengan yang lain (Peterson, 2003).
Ketika Tobelo, bahkan beberapa wilayah lain di Maluku Utara memasuki status barunya, sebagai ibukota kabupaten, ruang-ruang hiburan bagi publik yang bisa dijangkau sudah tak ada lagi. Kenyataannya, kini bioskop-bioskop itu tak lagi hidup. Sebaliknya, masyarakat digempur sinetron serta opera sabun dari TV, cakram VCD/ DVD, dan yang termutkahir, Youtube, lebih praktis dan kompatibel, yang justru lebih memberikan implikasi negatif bagi perilaku dan pola pikir masyarakat. Bioskop merupakan mikrokosmos wajah hiburan masyarakat bawah di tengah tekanan dominan dan pergeseran hiburan yang mulai direnggut kaum kapital.
Tulisan ini ingin memberi garis bawah yang tebal. Bahwa, ruang-ruang khalayak merupakan medium interaksi penting yang tak bisa diabaikan perannya. Sejarah kehadiran bioskop di wilayah Tobelo dan beberapa wilayah di Maluku Utara yang kemudian lenyap memberi isyarat, bahwa kita membutuhkan valorisasi, yang memiliki inovasi dan keberanian laiknya Kim Le Ang. Di sinilah titik permasalahannya, kita tak punya lagi orang-orang pendobrak yang tulus tanpa dipolitisir untuk mengembangkan budaya populer. Ah, bioskop, riwayatmu kini. []