
Di tanah ini, kisah ruci berakhir tragedi
Ketika Khairun yang bijak dan terhormat mati ditikam dengan cara-cara bejat
Antonio Pimental itu bermental tengik
Dan tuannya Lopez de Mesquita adalah Gubernur licik
Mereka bersekongkol dalam rencana konyol
Karena terhasut muslihat pengecut
Dan bau laknat konspirasi jahat
Di Benteng Sao Paolo itu kita simpan kisah kelam
Sehari paska Ternate dan Portugis Membikin Pakta Damai tak lagi bertikai
Tapi Portugis penuh tipu-tipu
Mereka main ruci
Khairun ditikam dari belakang
Lukanya menohok ke tulang-tulang
Hingga darah yang mulia tumpah…Ouuuuhhhh
Malam itu purnama tiba-tiba menghilang
Laut terdiam dan bintang-bintang menjadi kelam
Paduka yang mulia terkulai tak berdaya
Raga syuhada tersungkur ke tanah,
dan dihempaskan ke laut
Lalu tangis duka pecah di istana
Ia mengguyur sampai ke jalan-jalan
Menerobos hingga ke segenap jiwa-jiwa terluka
Tapi hati siapakah yang bisa diam tatkala tuannya ditikam..?
Jiwa manakah yang bisa tunduk, tatkala tuannya ditanduk..??
Tiiidddaaak….!!..Ooouuuukh Tiddddaaak…!!!
Tak ada yang memilih jalan diam
Orang-orang Ternate menolak tunduk
Di tahta yang mulia Baabullah seka air mata
Di hadapan bala dan kapita, ia tandaskan kata-kata
“Ini perjuangan bukan sekedar membalas luka ayah atau menuntut kekejian terhadap Paduka Sultan.
Tetapi sejatinya adalah jalan jihad melawan curang, menumpas kezaliman dan kesewenang-wenangan”
Hari itu suara Baabullah bergelegar, dan Portugis diterkam amarah itu
Saat Orang Ternate murka
Parang deng Salawaku mulai siaga
Tombak-tombak tegak lewati kepala
Kora-kora siap belah samudera
Kaki-kaki perkasa pasang kuda-kuda
Lalu mereka bertempur dengan nyali menyala
Ooo…api perlawanan itu berkobar-kobar
Siapa atur jahat, dia siap tanggung akibat
Saat Ternate Murka
Parang deng Salawaku telah siaga
Perang Soya-Soya menyala-nyala
Raga-raga murka menyerang ke segala arah
Fort Toloko terpojok, Santo Pedro takluk
Santo Lucia kincing babadara
Saat Ternate Murka
Parang deng Salawaku tetap siaga
Bara api pertempuran melumat nafsu angkara
Markas hitam di benteng Sao Paolo musnah tak berdaayaa
Kabasarang dan kecongkakan runtuh seketika
Menindih kisah ruci itu dengan tragedi
Semenjak jalan embargo pegang kendali
Saat Ternate Murkaaaa
Tetiba Orang Portugis terkapar frustrasi
Mereka setengah mati
Hingga akhirnya angkat bendera putih
Sejak itu di tahun 1575,
Portugis keluar Ternate dengan kepala lesu ke tanah
Pulang sebagai orang-orang kalah.

JALAN HIDUP SANG PEJUANG
Engkau yang pergi, tak berarti pantang kembali
Saat tanah pusaka bersimbah tragedi
Dan langit duka datang menyelimuti
Hidup memang hanya sekali
Selalu ada warna di segenap sisi
Sebab itu jalan hidup sang pejuang tak pernah bertepi
Saat gerbang terhalang, ia lewati pintu belakang
Saat pintu belakang digrendel, jendela ia cungkel
Saat jendela terkunci, kelihaiannya menjadi kunci
Hidup memang hanya sekali
Selalu ada jalan berliku, selalu ada duri dan batu
Sebab itu jalan kisah sang pejuang tak pernah karam pada sikap menyerah
Engkau yang pergi telah menempeli jejak itu Tuan
Pada keringat yang tumpah
Pada tubuh-tubuh menggigil yang terkapar hujan
Pada kepala yang terkikis terik matahari
Pada dada yang menantang badai
Pada urat-urat tegak
yang menghalang ombak laut Seram dan Halmahera
Jejak itu telah tumpah sebagai jalan hijrah
Saat juanga sandar di dermaga,
Dan pasir alus di Pantai Waru menadah jejak kakimu yang tak lagi mulus
Sejenak kau ingat tragedi Toloa yang pilu itu
Menghafal amuk biadab anak buah Cornabe yang terseret ambisi
Mengingat saudaramu Patra Alam yang terjerat tipu daya
Tak bisa apa-apa, singgasananya tak bermakna
Semenjak traktat ruci terakad di Benteng Oranye 17 Juli 1780
Tidore tak lain hanyalah vassal,
Yang tak bisa lagi kokoh berdiri sebagai Negara merdeeeka
Semenjak itu kau tulis tekad perlawanan Tuan
Dari jarimu sendiri, dari dadamu yang bergetar marah
Dari jiwamu yang menolak hidup sebagai budak
Lalu orang-orang Papua dan Seram Timur berdiri berjejer melupakan jarak
Mereka bikin maklumat
Dan menabalkan mahkota dijiwamu
Di singgasana nan sederhana Tuan tampak berwibawa
Matahati tetap berkilau di dada
Daulat Paduka Raja Seram dan Papua adalah jalan ikat menjaga maklumat
Terhadap janji perlawanan yang mesti dituntaskan
Hidup memang hanya sekali
Setelah itu di baris paling muka Tuan berdiri
Menggugah nyali Bala deng Kapita dengan mantra-mantra sakti
Mereka kobarkan panji dalam nyala api revolusiii
Diantara tajam beribu sorot mata
Dan bara yang menyala-nyala di segenap raga
Suara Tuan tumpah bergetar
“Beta tra faduli satu kes-pun terhadap siapapun yang bikin rakyat menderita
Meski itu saudara beta sendiri
Beta akan lawan sampai titik darah penghabisan”
Lalu kata-kata itu,
Getar suara yang menggelegar itu
Tak pernah tersapu angin
Ia benar-benar tertancap di dada
Mengalir di sepenuh raga, tertumpah pada jiwa bala deng kapita
Bersama dendang tifa yang membahana
Bersama tancap perahu kora-kora nan perkasa
Di hari-hari mencekam
Bulan-bulan pergolakan
Dan tahun-tahun perlawanan
Hingga tiba masa ketika tujuh puluh kora-kora datang dengan layar terpancang
Membawa Tuan kembali ke Limau Timore
12 April 1797,
Hening angin revolusi berhembus tanpa pertumpahan darah
Orang-orang Tidore menyambut Tuan dengan penuh sukacita
Gemuruh suara pecah memekik merdeka…
Merdeeeka…..merdeeekaaa
Pada jejak langkah yang terarah
Tuan telah menorehkan kisah
Bahwa sejarah hanya akan mengenang mereka yang berjuang tanpa menyerah
Dengan hati, kata-kata yang teruji
Dan tindakan yang menjadi bukti konsistensi
Sebab hidup memang hanya sekali

PEREMPUAN AGUNG GEBOCA
Karena aku cinta dan engkau setia
Semuanya tak pernah sia-sia
Seperti sedia kala
Semenjak pertama kita memulainya
Melangkah penuh cinta
Melewati setiap badai yang jumlahnya tak terkira
Kita berpadu tegak
Kita terus merangkai jejak
Pada takdir yang menyeretku sebagai pemberontak
Diam-diam kau menuntun aku ke jalan bijak
Perempuan agung itu engkau Geboca
Selalu percaya pada setiap sikap yang aku pilih
Semenjak kuhempaskan traktat keji yang dibikin sepihak Gubernur Munnik
Engkau berdiri tepat disampingku
Memegang erat jemariku
Dadaku bergetar, jiwaku terbakar
Lalu kau berbisik “jalan kita telah benar”
Dari situ percikan nyali berpancar-pancar
Aku berdiri tegak, menjaga Seram Timur yang hendak dianeksasi
Mengikat nyali dengan bala petani
Demi menghalau laju armada hongi dalam tindak ekstirpasi
Perempuan agung itu engkau Geboca
Selalu menaburkan asa saat aku terbelit duka tak berdaya
Tatkala ayahku Jamaluddin diseret keluar istana
Dan mahkotanya yang mulia terlempar di kaki singgasana yang patah
Setelah itu Gubernur Cornabe menipu saudaraku Patra Alam
Ia menghembuskan huru hara dan menumpahkan bara di Toloa
Lalu tanah pusaka dibikin terkoyak-koyak
Segenap jiwa-jiwa sahaja tercabik-cabik hidupnya
Aku beruntung sebab Tuhan menjaga kita dari aksi-aksi bejat yang penuh dengan muslihat itu Geboca
Kita selamat dalam rekat hati yang terus terikat
Setelah itu hijrah menjadi ceritra selanjutnya
Pada jalan yang kita pilih itu, kita tetap teguh tak pernah menyerah
Seperti hembusan kata yang terus engkau tumpahkan
“jika kita lemah, maka kita pasti dijajah”
Sebab itu aku laki-laki beruntung yang menyusuri jalan ini,
Sebab aku tak sendiri,
Sebab engkau selalu disini
Menunggu setiap peluh yang membasahi tubuhku, menyekanya dengan segenap rasa lembut mempesona
Lalu kita terus bergerak dengan langkah yang makin kuat
Binar senyummu menghampar letup semangat
Oo…betapa menawan
Ini jalan petualangan yang bikin cinta kita makin hangat
Ini pula jalan perlawanan yang meneguhkan cinta kita pada mereka-mereka yang tak berdaya
Seperti kecemasan yang kita baca pada wajah-wajah Halmahera
Seperti luka yang menempeli rasa orang-orang Papua
Seperti keresahan yang menghujani jiwa orang-orang Seram Timur
Dari situ kita lekatkan barisan tuk berpihak
Terhadap sesiapapun yang membikin rakyat menderita
Kita akan lawan sampai akhir menutup mata
Perempuan agung itu engkau Geboca
Selalu memercikkan cahaya saat aku lewati lorong gulita
Kita berpadu bergerak dalam satu cita
Sebab engkau setia,
dan aku penuh dengan gelora cinta…