× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#ESAI

Epistemologi Gamkonora

Satu Nama, Tiga Identitas

Akademisi, Penulis
Epistemologi Gamkonora
Gunung Gamkonora. Foto: @jrk_djaid/pendaki.id

20/08/2020 · 3 Menit Baca

GAMKONORA adalah  satu  nama  dari tiga identitas sekaligus. Pada Gamkonora,  tradisi itu masih hidup. Tradisi itu masih menjadi panutan, kompas, bahkan memiliki kekuatan mengambil keputusan secara bijak bagi masyarakat. Tradisi itu kurang banyak yang tahu bagaimana dia mengalir. Tradisi itu lebih banyak hidup dan dipertahankan pada kelompok-kelompok minoritas, dengan aktor lokal utama para tetua desa. Demikian Ninuk Kleden, Peneliti LIPI ketika memaparkan hasil studinya pada Seminar Sehari: "Bahasa dan Etnik di Halmahera Barat yang Terancam Punah dan Strategi Pemertahankannya" tahun 2011 di Kampus Unkhair, Gambesi. Sebagian tulisan ini “diinspirasi” dari studi Ninuk Kleden tersebut. 

Gamkonora merupakan bahasa, kelompok etnis, dan nama gunung yang masih kokoh hingga kini. Itulah tiga entitas yang melekat pada Gamkonora. Gunung Gamkonora masuk dalam jenis Stratovolcano. Sejarah mencatat gunung ini pernah meletus di tahun 1664-1665, dan yang terbesar meletus di tahun 1673, hingga mengeluarkan lahar sampai ke pantai di bagian selatan gunung (Blog Rusly Djalil, akses 2011).  

Pada Kecamatan Ibu Selatan, Kabupaten Halmahera Barat, hidup 11 desa pesisir dan dua desa non-pesisir. Dari 11 desa pesisir tersebut (sekarang mungkin bertambah), Gamkonora salah satunya. Tiga entitas penting sebagai penanda yang melekat pada Gamkonora, memberikan isyarat, bahwa persoalan identitas Gamkonora adalah sesuatu yang sangat mendasar untuk dicermati. Di situ ada perseptual dan bilah makna, yang menyesap jauh dalam kehidupan masyarakat Gamkonora. 

Makna dalam pandangan Roy Wagner, merupakan persepsi dalam ruang nilai simbolik (Wagner, 1986:12). Makna itu kemudian menyangga relasi sosial dan cara berpikir masyarakat Gamkonora terhadap kehidupan dan lingkungannya. Lebih jauh menurut Wagner, "tatkala kita berbicara tentang makna, kita berbicara tentang 'melihat' di tengah-tengah semesta simbol manusia..." (Wagner, 1986:13)

Menyelami dan menangkap kebudayaan masyarakat Gamkonora, harus dipahami tindakan mereka, keyakinan mereka atas alam, dan bukan pada kategori ideal. Tindakan dan keyakinan inilah dalam pandangan  lebih jauh akan memberi pemaknaan atau penalaran (reason) bagaimana kehidupan orang Gamkonora atas identitasnya. Karena itu, Gamkonora merupakan makna, yang menurut Clifford Geertz (1973) terdapat dalam sistem simbol, yang dapat berupa benda (object), tindakan (act), peristiwa (event), kualitas, atau relasi di mana keseluruhannya itu merupakan wahana bagi konsepsi, yakni makna simbol.

Etnis Gamkonora menurut Ninuk Kleden, tersebar pada empat desa, yakni: Gamkonora sendiri, Tahafo, Talaga, dan Gamsungi. Juga disebut Matiloa, untuk mereka yang tinggal di Gamsungi dilafalkan dengan Matiroa atau Matiro’a (Bahasa Ternate berarti kumpulan mereka yang tinggal di kaki Gunung Gamkonora).

Pola sosial orang Gamkonora merupakan pemodelan kebersamaan yang dilambangkan dengan konsep dasawisma, yang terdiri dari Dasawisma Sukun, Dasawisma Mangga, Dasawisma Rambutan, dan Dasawisma Durian. Keseluruhan konsep empat dasawisma yang disebutkan di atas memiliki fungsi sosial yang sangat kuat, bahkan dapat disebutkan sebagai modal sosial sekaligus menumbuhkan social trust. Tidak hanya soal setting pola sosial orang Gamkonora, pada konsep okupasi dan mata pencaharian juga terdapat dimensi fungsional yang begitu bersinergi. 

Bidang perikanan hingga memperdagangkannya, dilakukan dibo-dibo. Di sinilah, dan ini menjadi ciri khas nelayan di Halmahera Barat— terdapat pembelahan fungsi, antara nelayan yang memiliki lahan pertanian dan nelayan yang tidak memiliki lahan pertanian. Antara kedua jenis nelayan ini diorganisir dalam sebuah kelompok yang diberi nama Marimoi atau Maku Peduli (saling menunjang). 

Misal, seorang dibo-dibo saja dapat meraup keuntungan besar dalam pekerjaannya, tapi hampir sebagian besar orang Gamkonora tidak mau menerima penghasilan besar itu. Mereka cukup menerima apa adanya yang bisa dimanfaatkan. Sehingga itu, kerap nelayan yang tidak memiliki lahan lebih sulit hidupnya, demikian juga nelayan yang memiliki lahan, terutama menghadapi musim pancaroba.

Selain bidang perikanan, pada bidang pertanian juga menjadi sandaran masyarakat. Sektor pertanian juga terbagi atas dua pola, yakni pertanian untuk kepentingan sendiri dan juga dijual. Untuk sektor pertanian, terutama dalam mengolah kasbi, jenis sayur-sayuran, kacang-kacangan bahkan padi dan sagu, selain digunakan sendiri dan dijual, juga mengandung nilai sosial, karena biasanya hasil pertanian itu diberikan bagi warga yang mengalami kedukaan. Hampir seluruh proses pertanian baik yang digunakan sendiri atau dijual, dijalankan kaum perempuan.

Namun, lebih dari itu, dari hasil pertanian yang ada, orang Gamkonora lebih memperlakukan sagu sebagai ketahanan pangan mereka ketika musim tak menentu. Bahkan sagu menjadi tanaman sosial orang Gamkonora, siapa saja boleh mengambilnya dan memberikan kepada siapa saja. Pada sisi lain, sagu dengan nilai komoditas tinggi itu kurang dibudidayakan. Padahal, kalau konsumsi karbohidrat melalui sagu dapat ditingkatkan, maka sagu dapat dijadikan barang komoditas. 

Entah bagaimana nasib sagu kini. 

Tetapi di sana, masih menganga lebar persoalan, yakni soal peningkatan kesejahteraan orang Gamkonora dengan terjadinya pergeseran yang mengutamakan beras sawah (bukan beras ladang) sebagai makanan pokok. Pertarungan ideologi pangan dari sagu ke padi harus menjadi perhatian serius Pemerintah Daerah, agar persoalan kebudayaan orang Gamkonora tidak akan muncul serius dan menjadi problem sosial di kemudian hari, terutama saat wabah pandemi ini.[]

*Sumber foto: Pendaki.id


Share Tulisan Herman Oesman


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca