Pagi itu, Kamis 10 Oktober 2013, keluarga besar maestro biola Indonesia, Idris Sardi, dirundung duka. Ibunda Idris, Hadidjah, meninggal dalam usia 93 tahun. Hadidjah adalah artis senior yang pernah malang melintang di jagat dunia peran dan tarik suara. Kiprahnya terukir sebelum negeri ini merdeka.
"Mak meninggal pagi tadi... Mak pasti masuk surga," ujar Idris Sardi seusai mengikuti pemakaman ibunda kala itu seperti dikutip Tempo.
Hadidjah meninggalkan delapan anak, cucu, dan cicit. Jasad almarhumah dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Hadidjah sendiri adalah cucu dari seniman besar Moesa Pancho, asal Ternate.
Hadidjah terlahir di Bugis, Sulawesi Selatan, 13 Juni 1923 dari keluarga seniman pasangan Habibah dengan Harun Seman yang merupakan seniman panggung dan film pada masa itu. Kakeknya, Moesa Pancho adalah putra Ternate, pemain sandiwara dan film yang terkenal di seluruh Asia.
Idris Sardi pernah mengisahkan bahwa neneknya, Habibah, pernah bermain film bersama buyutnya, Moesa Pancho, pada 1938 lewat film Fatima. Buyutnya (Moesa Pancho), adalah pemimpin sandiwara yang berkelana ke berbagai negara di Asia pada zaman Hindia Belanda.
Habibah, ibu dari Hadidjah, adalah anak tertua Moesa Pancho, terjun di dunia yang sama lewat film Fatima (1938), Dasima (1940), dan lain-lain. Hadidjah menikah dengan Mas Sardi, ilustrator musik film pertama di Indonesia, yang kemudian melahirkan Idris Sardi.
Semasa hidup, Hadidjah pernah membintangi sejumlah film layar lebar mengikuti jejak sang ibu, Habibah dan kakeknya Moesa Pancho. Ia cukup sukses lewat film debutannya: Alang-alang (1939). Dalam buku Katalog Film Indonesia (1926-2005), J.B. Kristanto menyebut film ini sebagai Jungle Film pertama di Tanah Air. Sejak itu, ia dijuluki Jungle Woman. Sedangkan bintang laki-lakinya, Mochammad Mochtar, dijuluki Tarzan van Java.
Selain Alang-alang, film lain yang pernah dibintangi Hadidjah adalah Roesia si Pengekor (1939), Matjan Berbisik (1940), Rentjong Atjeh (1940), Si Gomar (1941), Singa Laoet (1941), Srigala Item (1941), Kembali ke Masyarakat (1954), Cucu (1973), dan Ateng Pendekar Aneh (1977). Karier Hadidjah tidak hanya terukir di dunia peran. Ia dikenal pandai menyanyi, menari, dan bermain teater.
Idris mengenang ibunya sebagai sosok perempuan yang tangguh. Ketika Mas Sardi--suami Hadidjah--ayah dari Idris Sardi, meninggal pada tahun 1953, Hadidjah harus mengurus sendiri delapan anaknya. Urusan cuci dan masak ia kerjakan tanpa pembantu. Sementara nafkah keluarga ditanggung oleh Idris Sardi, yang kala itu masih berusia 15 tahun, dari hasil bermain musik.
Tangkiwood
Tangkiwood, demikian nama daerah itu. Berada di kawasan Kelurahan Tangki, Kecamatan Mangga Besar, Jakarta Barat. Dahulu disebut kampung artis.
Namanya saja sudah mirip-mirip pusat industri perfilman Amerika, Hollywood. Seperti bisa ditebak, itu menggabungkan Jalan Tangki dan ‘wood’ dari Hollywood yang bermula dari candaan almarhum Bing Slamet: “Kalau Amerika punya Hollywood, kita punya Tangkiwood.” Dari situlah, nama Kampung Tangki secara spontan berubah menjadi Tangkiwood.
Di sinilah para seniman banyak tinggal karena Tan Ing Hi, pemilik Princen Park membuatkan kompleks untuk mereka. Tujuannya, agar para seniman; pemain musik, pemeran, penari, penyanyi, hingga para kru tinggal tak jauh dari lokasi pentas panggung Sandiwara Princen Park atau Taman Hiburan Rakyat Lokasari.
Laila Sari kelahiran Padang Panjang, Sumatra Barat, Hindia Belanda, 4 November 1935, meninggal dunia pada 20 November 2017 adalah seorang aktris dan penyanyi Indonesia jebolan Tangkiwood. Ia pernah bekisah, bahwa dahulu ada Mak Bibah, bintang film kawakan, sangat terkenal di zamannya. Ayahnya, Moesa, adalah dedengkot Tangkiwood.
Moesa adalah salah satu alasan pemilik Princen Park, Tan Ing Hi, memberikan pemukiman bagi para seniman. “Dia (Moesa) pertama kali dikasih tempat di situ. Bapak saya juga gabung. Akhirnya mantek di Tangkiwood,” kenang Laila seperti dikutip CNN Indonesia.
Laila memaparkan, para penghuni kampung artis itu tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berkesenian. Akhirnya, bakat dan pekerjaan itu diwariskan pada anak-anak seniman itu.
Mas Sardi dan Hadidjah misalnya, mendorong anak mereka, Idris Sardi, untuk bergelut dengan biola. Di Tangkiwood, Idris bertemu Bing Slamet, komedian yang berinisiatif menambahkan istilah wood di belakang kata Tangki tadi.
Mereka pernah tergabung dalam kelompok musik Eka Sapta. Bing menjadi vokalis sembari memetik gitar dan menabuh perkusi, sementara Idris bertugas memainkan biola. Nama-nama beken lain tercatat menjadi personel grup ini, yakni Ireng Maulana, Benny Mustapha serta Itje Kumaunang.
Sepanjang karier profesionalnya, Idris rajin menerima Piala Citra untuk kategori penata musik terbaik. Setidaknya ia 19 kali masuk nominasi. Idris adalah satu dari deretan yang terbaik dari Tangkiwood.
Pewarta kawakan Alwi Shahab mencatat, aktris Fifi Young dan aktor Tan Tjeng Bok juga pernah tinggal di kampung Tangki. Keduanya merupakan jawara-jawara Piala Citra. Lebih dari itu, Tangkiwood juga melahirkan banyak bintang terang baru. Selain Laila, dalam buku Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe, Alwi menulis Aminah Cendrakasih besar di pemukiman itu.
Aminah adalah pemeran ibu Si Doel dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Aminah merupakan anak pasangan Wolly Sutinah (Mak Wok) dan Hamid Arief, pemain film yang rajin menyapa masyarakat di layar lebar peridoe 1950-an hinga 1980-an.
Melihat jajaran nama penghuni Tangkiwood, Laila pun menyebut kampung itu seperti toko serba ada. “Di situ banyak seniman. Kalau butuh pemeran anak kecil sampe orang tua ada. Sudah kompletlah. Pemusik juga ada,” katanya.
Kini Tangkiwood redup. Laila kala itu berkata, tidak ada lagi seniman yang tinggal di daerah itu. Rumah-rumah mereka sudah dijual dan ditinggalkan. Alwi bahkan mendeskripsikan bekas kampung artis itu sebagai daerah kumuh.
“Tangkiwood sering dilanda banjir. Ia tinggal menjadi saksi bisu bangkrutnya perfilman nasional, bahkan dilupakan artis muda masa kini,” tulis Alwi.
Dari perjalanan awal Tangkiwood hingga melahirkan seniman-seniman besar Indonesia ini, sepertinya bermula dari seorang Moesa Pancho "Si Putra Ternate" itu. Siapakah dia? Sudi kiranya kita di Maluku Utara memberi penghormatan kepada seniman besar ini. Tapi bagaimana kita mengapresiasinya, jika kita sendiri mendengar namanya pun tidak!