Judul : Die, My Love
Penulis : Ariana Harwicz
Penerjemah : Sarah Moses & Carolina Orloff
Penerbit : Charco Press, 2019
Tebal : 123 Halaman
Apa definisi ibu yang baik menurut pandanganmu? Tentu kita sepakat kalau menjadi ibu yang baik bisa dilihat melalui kriteria, a) ia bisa merawat dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang; b) memberikan perhatian terbaik kepada anak dan suaminya; dan c) selalu peduli akan kebutuhan si anak dan mendukung segala hal yang berhubungan dengan kebaikan anaknya. Tapi, perjuangan seorang ibu tak selamanya mulus dan terbebaskan dari rintangan. Sosok ibu adalah mereka yang lekat dengan perjuangan besar, bahkan mesti mempertaruhkanya nyawanya sewaktu melahirkan seorang anak. Lalu, seolah itu belum cukup, perjuangan mereka berlanjut di tahap merawat anaknya dengan mencurahkan separuh waktu yang ia miliki. Di tahap inilah, tak jarang, timbul masalah tertentu terhadap seorang ibu.
Yang paling umum, seorang ibu sangat rentan mengalami Baby Blues. Ini merupakan gangguan yang diidap seorang ibu pascamelahirkan. Gejala yang tampak biasanya mudah sedih, lelah, lekas marah, gelisah, menangis tanpa alasan yang jelas, dan sulit untuk berkonsentrasi. Bila kondisi ini berlanjut, si ibu bisa mengalami depresi pascamelahirkan atau Postpartum depression. Lalu, apa yang terjadi bila mereka sampai di tahap ini? Penulis Argentina, Ariana Harwicz, kiranya menjadi satu dari sedikit penulis yang dengan baik dan berani menggambarkan psikologi seorang ibu pengidap Postpartum depression. Dan alih-alih menorehkan pengalaman si ibu dalam bentuk tulisan non-fiksi, Ariana justru mengemasnya dalam bentuk sebuah novel, yakni Die, My Love, yang menjadi debut perdananya sebagai novelis.
Novel ini berjudul asli Matate, Amor In yang kali pertama terbit di Spanyol (2012), lalu diterbitkan ulang oleh penerbit Marduce di Argentina (2017). Setahun kemudian, penerbit Independen yang berbasis di kota Edinburgh, Skotlandia, bernama Charco Press, menerbitkan edisi terjemahannya ke dalam bahasa Inggris, yang laris dan menyabet sejumlah penghargaan serta masih dicetak sampai sekarang. Sejak itu, novel pun menemukan pembaca globalnya. Mereka tidak saja dihadapkan dengan sebuah novel pendek biasa, tapi lebih dari itu, novel ini memiliki keunikan dalam sisi penyajian cerita sekaligus konten yang dikisahkannya.
Ariana membuka novelnya dengan sebuah kalimat yang mengetuk perhatian pembaca, “Aku berbaring di rerumputan di antara pepohonan tumbang dan cahaya matahari di telapak tanganku terasa seperti pisau yang bisa kugunakan untuk mengeringkan darah dengan satu sayatan cepat ke bagian leher.” Itu adalah monolog dari tokoh utama novel ini, seorang ibu muda (tak disebutkan namanya) dengan satu anak, yang tinggal bersama suaminya di sebuah kota kecil di pedalaman Prancis. Rumah mereka, sebuah rumah yang sedang, berdiri di pinggir jalan dan dikelilingi pepohonan lebat, khas suasana pedalaman yang masih asri. Hampir setiap waktu, suara burung-burung di sekitar mereka terdengar dan, menjadi sesuatu yang berperan dalam kisah ini.
Peran itu kentara dalam adegan-adegan ketika si ibu menanggapinya dengan beragam penerimaan yang dipengaruhi oleh ketidakstabilan sisi psikologisnya. Sesekali, suara itu terdengar seperti mengejek penderitaannya, tapi di lain waktu, suara itu seolah turut mengasihi dan mengerti betul tentang perasaannya. Sementara di kesempatan lain, suara itu bisa menyedotnya dalam delusi aneh yang menggerayangi kepalanya. Dari situ, pikiran-pikiran gila seperti pergi dari rumah dan meninggalkan keluarganya, sampai pikiran untuk mengakhiri hidup anaknya, kerap bertandang dan menguasai dirinya. Ia menderita kesepian, perasaan lelah, marah, dan kesal. Akan tetapi, ia bisa apa?
“Aku kehilangan kendali atas pikiranku. Aku seorang ibu, tanpa henti. Dan aku menyesalinya, tapi aku bahkan tidak bisa mengutarakannya,” katanya suatu hari, di saat anaknya rewel.
Penderitaannya itu hanya bisa ia simpan seorang diri. Di hadapan orang lain, bahkan suaminya sendiri, ia selalu mencoba tampak baik-baik saja. Sebisa mungkin ia menjadi sosok ibu yang kuat dan tegar. Namun, tidak dengan isi kepalanya yang secara liar digambarkan oleh Ariana. Keliaran itu menjelma kegilaan pikiran dan delusional yang dibenturkan satu sama lain, sehingga apa yang ada di novel ini kerap tampil samar dan membingungkan: Yang sedang terjadi, itu benar-benar terjadi atau hanya hidup di pikirannya saja?
Terlepas dari mana yang benar dan tidak, satu hal yang bisa digarisbawahi adalah akar dari itu semuanya sudah jelas: Dia sakit (Postpartum depression) dan sedang berusaha menyembuhkan dirinya sendiri sembari ia tampil sebagai seorang ibu dan istri. Oleh sebab itu, kesehariannya selain menjalani peran ibu dan istri, ia juga harus bergelut dengan dirinya sendiri, yakni dirinya yang liar dan gila, yang marah dan ingin bertindak kalap. Dan di tengah-tengah usahanya itu, tak jarang keraguan menyergapnya, “Bagaimana mungkin seorang perempuan lemah dan jahat sepertiku, seseorang yang memimpikan pisau di tangannya, menjadi ibu dan istri dari dua individu itu?”
Sungguh, ini sebuah novel yang mengganggu dan melelahkan untuk diikuti. Dari konten atau isi, sudah jelas, apa yang Ariana kisahkan mengganggu pikiran sebab tokoh si ibu kerap bertindak tak wajar, bahkan cenderung menampilkan kegilaan. Sementara itu, dari cara penuturan bahasa, walaupun novel ini cenderung pendek, tapi Ariana menuturkannya tanpa menggunakan dialog langsung, alias percakapannya melebur di dalam kalimatnya. Dan, seolah hal itu belum cukup, ia pun memadatkan ceritanya ke dalam bab-bab pendek yang hanya terdiri dari satu paragraf panjang (bisa sampai tiga halaman). Itu cara berkisah yang tak biasa, tentu saja, tapi karena itu pula sensasi yang dihadirkan sejalan dengan isi novel ini sendiri, yakni melelahkan.
Kendati begitu, novel ini bukan berarti sesuatu yang sia-sia seusai membacanya. Mengakhiri kisah si ibu dengan akhir terbuka, Ariana agaknya mengajak pembaca untuk membebaskan beragam tafsir yang bakal terjadi. Tapi satu hal yang pasti, perjuangan si ibu tadi belum berakhir. Di tengah sergapan penyakitnya itu, ia tetap tetap berjuang, dan perjuangannya bukanlah tampak seperti usaha untuk menjadi ibu yang baik, melainkan bagaimana supaya ia tidak menjadi ibu yang buruk. Pengisahan mendalam dari sisi keibuan ini lantas menerbitkan sejumlah hal yang patut direnungkan, bahwa kita terkadang absen mengenali suara hati seorang ibu yang terpaksa ia pendam, sesuatu yang kerap tertutupi definisi “Ibu yang baik” dan bagaimana orang-orang mengharapkan semua ibu harus menjadi seperti itu, tanpa memikirkan kalau masing-masing dari mereka punya kapasitas dan rintangan yang berbeda satu sama lain.