“My heart and my soul and my support for you Palestine”. Sebuah cuitan sederhana disertai gambar bendera dan peta buram Palestina. Adalah Mohamed Elneny, pesepakbola asal Mesir yang kini bermain untuk Arsenal yang mencuitkan kalimat itu di platform twitternya. Sebuah bentuk dukungan. Mungkin juga empati bagi warga Palestina yang hari-hari ini hidup di antara gelegar bom dan terjangan roket Israel. Di dunia maya, cuitan seperti ini dengan berbagai hastag beterbangan seperti butiran pasir yang terbawa hembusan angin gurun yang kering. Tak ada batasan.
Namun punya Elneny jadi viral setelah Tal Ofer, wakil sebuah lembaga Yahudi-Inggris menulis surat ke markas The Gunners dan beberapa sponsor klub asal London itu. Ofer mewakili komunitas Yahudi yang “marah” atas tweet itu. Elneny dituding rasis dan anti semitisme. Lavazza group yang jadi salah satu sponsor Arsenal mengaku prihatin dengan unggahan Elneny. Sementara Adidas yang dihubungi Ofer tidak memberi respons. Arsenal membela pemainnya meski klub berjanji akan berdiskusi dengn Elneny terkait dengan unggahan dukungan itu.
Yang mengejutkan justru respons para fans Arsenal yang menentang sikap Tal Ofer. Sebagian dari fans itu mungkin ikut dalam demontrasi besar di London, menentang serangan Israel ke Gaza yang telah merenggut ratusan korban jiwa. Hampir setengah dari mereka yang “pulang” diterjang roket-roket itu adalah anak-anak tak berdosa. “Kemana anak-anak bisa lari jika serangan udara menghujani rumah mereka?”, tanya Jonas Lee, Direkrut Save The Children untuk Gaza. Agresi militer Israel ke Gaza memantik protes dan kecaman.
Warga di berbagai kota dengan latar berbeda turun ke jalan mengecam tindakan militer Israel. Tak ada sekat agama dan ras dalam protes-protes itu. Kemanusiaanlah yang menyatukan. “Sebagai pemegang tiket semusim Arsenal dan seorang Yahudi, sebagai seorang anak dari penyintas holocaust yang kehilangan 39 anggota keluarga, saya menyatakan kepada Arsenal bahwa pandangan Tal Ofer tidak mewakili pandangan saya (sebagai Yahudi)”, Begitu pernyataan terbuka bekas politikus Afrika Selatan, Andrew Feinstein.
Sejatinya sejak perang berkobar di Gaza, tak hanya Elneny yang secara terbuka memberi dukungan untuk Palestina. Beberapa pesepakbola terkenal juga mencuitkan dukungan mereka. Yang pertama kali melakukan adalah Riyad Mahrez yang bermain di Manchester City. Ada juga duet penyerang Liverpool Mohamed Salah dan Sadio Mane, bekas bintang Perancis yang kini memperkuat Fiorentina, Franck Ribery, bek kiri City Benjamin Mendy dan bintang United Paul Pogba.
Perang dunia maya dengan berbagai postingan di platform media sosial nyaris setara dengan tembakan roket Israel maupun Hamas. Purbasyangka dan hoaks ikut menyebar. Twitter yang paling ramai. Informasi dari Gaza mengalir bak air bah. Tak ada jeda. Saling klaim menang atau saling tuding penuh provokasi menjilati langit. Foto dan video yang merekam suasana perang dibagikan secara estafet. Beberapa platform yang tak sejalan ”garis perjuangan” dibanned hingga down. Jari-jari hacker sangat sibuk. Postingan Eran Zahavi, pemain PSV Eindhoven asal Israel yang mengganti bendera Palestina yang dibentangkan pemain Leicester City dengan bendera negaranya dikecam jutaan netizen.
Inggris, negara “pemegang kuasa” atas tanah Palestina yang bertanggungjawab “memasukkan” orang Yahudi sesuai Deklarasi Balfour memang jadi pusat kampanye menentang Israel. Semacam deja’vu. Ada bayangan sejarah penuh darah yang menempel di telapak penguasa negeri itu. dan karenanya ada hasrat untuk meluruskan yang terlanjur bengkok. Meski mungkin upaya itu seperti menempa besi yang terlanjur dingin. “Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan”, meminjam Khalil Gibran. Yang gelap mesti disingkap. Butuh keberanian untuk memulai. Melepaskan yang suram dari masa lalu.
Ketika Hamza Choudhury dari Mesir dan Wesley Fofana yang berlatar Mali - Perancis berselebrasi dengan bendera Palestina sesaat setelah timnya, Leicester City mengalahkan Chelsea di final Piala FA, seisi Wembley memberi aplaus panjang. Tak ada sorakan rasialis. Tak ada penghinaan. “Bagi mereka yang terkepung, dijajah dan dibombardir bertubi-tubi, apa yang kalian lakukan sungguh berarti”, cuit Husam Zomlot, duta besar Palestina di Inggris yang bernazar mengundang Leicester City bermain di Yerusalem.
Fans secara sadar menganggap selebrasi itu sebagai bentuk dukungan untuk Palestina. Yang dilakukan Choudhury dan Fofana mewakili sesuatu yang universal. Kemanusiaan yang egaliter. Begitu juga ketika Amad Dallo dan Paul Pogba mengelilingi Old Trafford sambil membentangkan bendera Palestina usai Manchester United bermain imbang dengan Fulham dalam pekan akhir Liga Primier Inggris. Tak ada sangsi. Otoritas sepakbola Inggris seperti ikut “membersihkan diri” atas kebijakan negaranya tujuh dekade lalu. Padahal dalam fragmen yang sama, Frederic Kanoute di tahun 2009 dijatuhi sangsi oleh otoritas sepakbola Spanyol merujuk pada regulasi FIFA. Kanoute dalam final Copa Del Rey saat itu merayakan gol kemenangan timnya Sevilla atas Deportivo La Coruna dengan menunjukan kaos bertuliskan “Palestine”.
Sepakbola memang candu yang ambigu. Kadang menyatukan tapi tak jarang memicu perang berkepanjangan. Dengan jutaan penggemar lintas demografi, agama dan etnis, sepakbola tak bisa lepas dari kepentingan negara dan penguasa. Ada ideologi yang diperjuangkan meski secara samar dikemas secara profesional. Banyak pula anomali yang lahir dengan wajah ajeg. FIFA - otoritas sepakbola dunia beranggotakan ratusan negara itu - sangat gencar mengkampanyekan “no racism”. Tapi pelecehan rasial tetap terjadi. Politik tetap jadi bagian dari sepakbola. Ibarat dua sisi keping uang logam.
Deportivo Palestino adalah realisme sosial dan politik yang tak bisa dipisahkan dari perjuangan Palestina. Tidak saja dari sisi nama, tetapi juga kostum tim yang menunjukkan warna kebesaran Palestina, Hitam-Hijau-Merah-Putih. Sebelum laga melawan Colo Colo di Liga Utama Chile - beberapa hari setelah serangan Israel ke Gaza - seluruh pemain “Timnas Palestina II” ini berpose dengan menggunakan kaffiyeh, simbol perlawanan rakyat Palestina. Klub ini memang didirikan oleh imigran Palestina yang bermukim di kota Osorno, bagian selatan Chile pada tahun 1920.
Pada periode awal, Palestino berkompetisi di wilayah Osorno. Setelah 32 tahun berlaga sebagai tim amatir, klub ini promosi ke Divisi Dua pada tahun 1952 dan naik kasta ke Divisi Utama di tahun yang sama. Butuh tiga tahun bagi Palestino untuk meraih gelar juara Divisi Utama Chile pada musim 1955 di bawah pelatih Argentina Guillermo Coll. Dua tahun kemudian mereka sukses meraih Coppa de Chile. Usai sukses itu, Palestino mengalami pasang surut prestasi.
Hampir dua dekade berlalu, barulah Palestino kembali ke podium juara. Tahun 1978, klub yang merupakan representase sesungguhnya dari Palestina di tanah Amerika ini juara Liga sekaligus juara Coppa di tahun yang sama. Di musim itu, Palestino membuat catatan mengesankan dengan tidak pernah kalah sepanjang kompetisi. Meski berjarak lebih dari 13 ribu kilometer, Palestino tetap memperjuangkan kemerdekaan Palestina yang hingga kini masih terjebak di antara pengakuan dan penyangkalan oleh banyak negara.
Tujuh tahun lalu, Palestino didenda belasan juta rupiah gegara mengenakan jersey dengan warna bendera Palestina ditambah tempelan peta wilayah Palestina sebelum direbut Israel pada 1948. Kelompok-kelompok Yahudi di Chile memprotes kepentingan politik Palestino tersebut. Meski seragam itu tetap digunakan, namun Federasi Sepak Bola Chile melarang klub menggunakan peta di bagian belakang kostum. "Bagi kami, Palestina yang merdeka akan selalu menjadi Palestina yang bersejarah, tidak kurang," tulis Deportivo Palestino di laman facebook klub.
Aneksasi Israel terhadap Palestina juga membuat Tim Nasional Indonesia pernah menolak untuk bertanding pada Kualifikasi Piala Dunia tahun 1958. Indonesia ketika itu, melaju ke babak kedua kualifikasi zona Asia. Di babak pertama kualifikasi, Ramang dkk jadi juara grup. Indonesia yang berada satu grup dengan China, menang 2 - 0 berkat sepasang gol Ramang saat bermain di lapangan Ikada. Dalam pertemuan kedua di kandang China, Indonesia menyerah dengan skor tipis 3-4. Tiga gol tim Merah Putih dijaringkan penyerang asal Makassar, Ramang dengan dua gol dan satu gol lainnya dicetak Endang Witarsa.
Catatan sama-sama menang itu membuat Timnas Indonesia harus kembali menghadapi China untuk berebut tiket ke babak selanjutnya. Dalam laga yang berlangsung di Burma, kedua tim bermain imbang tanpa gol sehingga Indonesia lolos karena memiliki selisih gol lebih baik dibanding China. Dalam undian babak kedua Indonesia berada dalam satu grup bersama Israel, Mesir, dan Sudan. Jika lolos kualifikasi kedua ini, Timnas berpeluang lolos ke babak play off berjumpa Wakil Eropa untuk memperebutkan satu tiket ke putaran final Piala Dunia.
Berdasarkan informasi yang dimuat di laman resmi FIFA, Timnas Indonesia memutuskan mundur dari babak kualifikasi Piala Dunia 1958 karena tidak mau menghadapi Israel dengan alasan politis. Indonesia menolak bertanding di kandang Israel. Permohonan untuk menggelar pertandingan di tempat netral diajukan tetapi ditolak oleh FIFA.
Israel memang mendapat penolakan dari negara-negara lain untuk menjalani pertandingan. Turki yang lebih dulu jadi lawan Israel memilih mundur dari kualifikasi. “Indonesia yang secara politik sedang getol-getolnya mengumandangkan perlawanan terhadap neokolonialisme, menganggap Israel sebagai penjajah rakyat Palestina dan karena itu, menolak bertanding di Israel," tulis Owen A. McBall dalam bukunya “Football Villains”.
Sikap Indonesia ini kemudian disusul oleh Mesir, yang secara politik dan militer memang bermusuhan dengan Israel. Belakangan, Sudan pun mengambil langkah yang sama. Israel yang lolos kemudian bertemu dengan Wales. Wales meraih kemenangan di laga kandang dan tandang dan lolos ke putaran final Piala Dunia 1958 di Swedia.
Tahun 1974, "ketidaksukaan" sebagian besar negara-negara di Asia membuat Israel dikeluarkan dari keanggotaan sepak bola Asia atau AFC. Kala itu 17 dari 30 negara menyetujui proposal Kuwait yang didukung Korea Utara agar Israel tidak bergabung dengan AFC. Sempat bergabung dengan konfederasi sepakbola negara-negara Oceania, Israel baru diterima UEFA sebagai anggota pada tahun 1994.
Pertautan sepakbola dan politik atau perjuangan yang menunjukan identitas memang tak bisa dihapus begitu saja. Dengan komitmen “no rasicm” dan “respect” yang menempel di jersey entah klub atau Tim Nasional, sepakbola mestinya jadi milik bersama. Tanpa sekat dan kekerasan. Karena itu, menjadi aneh ketika Tal Ofer merasa “marah” mewakili komunitas Yahudi hanya karena ada peta Palestina yang “asli” di cuitan Elneny, sementara perampasan tanah-tanah Palestina sebagaimana peta yang asli itu dianggap sesuatu yang biasa saja.