
Diriku penggemar K-drama dan sangat bahagia bisa menikmati beberapa tontonan drama yang romantis sekaligus kritis terhadap tatanan, seperti Love Story in Harvard (2004).
Drama ini bercerita tentang kisah cinta pasangan pengacara dan dokter muda Korea yang jatuh cinta saat sama-sama ngampus di Harvard. Romantika sejoli ini bikin hati deg-degan saat Hyun Woo memaki Soo In “you are yellow bitch!” di dalam praktik persidangan (semacam Mata Kuliah Praktik Peradilan Pidana di Fakultas Hukum Indonesia) yang membuat semua orang tercengang. Soo In dihadirkan sebagai ahli dalam praktik tersebut. Dia memberikan pendapat medisnya terkait kasus kematian yang menimpa perempuan kulit hitam setelah digeledah di sebuah supermarket karena diduga mencuri.
Hyun Woo melakukan hal tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan rasis telah dilakukan oleh pihak manajemen terhadap korban sehingga korban mengalami serangan jantung, yang putusan pengadilan sungguhan menetapkan kematian korban akibat serangan jantung sesaat setelah mengonsumsi minuman beralkohol, bukan karena kelalaian atau intimidasi oleh manajemen keamanan.
Hyun Woo dan timnya berasumsi berbeda dengan putusan inkrah pengadilan tingkat pertama ini, menurut mereka, pihak supermarket tidak mau menunjukkan rekaman CCTV penggeledahan terhadap korban, seperti halnya dalam kasus lain, dikarenakan proses pemeriksaan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Budaya rasisme di Amerika yang masih kental diyakini oleh Hyun Woo sebagai penyebab korban di-stereotipe sebagai pencuri, lalu mengalami depresi dan meminum vodka untuk mendapatkan ketenangan yang ternyata justru membunuhnya.
“Dia diperiksa tidak sesuai prosedur karena dia berkulit hitam!” tegas Hyun Woo Oppa.
Tidak berhenti di situ. Hyun Woo juga membuat jantungku berdegup kencang saat dirinya hadir dan memberikan pembelaan atas kasus Soo In dalam sidang majelis fakultas kedokteran. Hyun Woo mengemukakan dasar hukum yang memberikan justifikasi atas tindakan Soo In, yaitu The Good Samaritan Law. Kira-kira hampir mirip dengan Overmacht atau penghapusan hukuman akibat keadaan memaksa yang diatur dalam Pasal 48-52 KUHP.
Pembelaan ini dilakukan Hyun Woo setelah sebelumnya Soo In yang masih berstatus mahasiswa dan belum mendapatkan izin praktik, terpaksa melakukan tindakan medis trakeotomy, membuka dinding saluran pernapasan dengan mengiris leher bagian depan, pada seorang pelanggan kafe yang mengalami kesulitan bernafas dan pingsan akibat tersedak.
Korban sempat mengalami koma. Bukannya berterima kasih pasca sadar, korban justru melaporkan Soo In ke pihak kampus dan berencana meneruskan ke jalur hukum. Soo In sempat terancam dikeluarkan dari kampus dan tidak bisa mengejar mimpinya menjadi dokter sekaligus relawan kemanusiaan di negara-negara dunia ketiga di Amerika Latin dan Afrika yang miskin dan terjajah. Karakter humanis Dokter Soo In ini mirip dengan sang dokter sekaligus sang revolusioner, Ernesto ‘Che’ Guevara ya? Hihihi…
Sayangnya, Soo In terlalu naif jika dibandingkan dengan Ernesto yang politis dan kritis. Soo In tidak menyadari sikap kerelawanannya dimanfaatkan oleh industri yang mencemari lingkungan dan memberikan dampak kesehatan pada masyarakat di lingkar konsesi mereka.
Soo In dan para relawan yang kebanyakan tidak punya kesadaran politis itu kemudian diajak bergabung dengan yayasan medis yang dibentuk perusahaan. Mereka bekerja meriset dan memberikan bantuan medis pada masyarakat lokal, tempat perusahaan beroperasi, tanpa menyadari bahwa yayasan tersebut merupakan anak kandung dari industri pencemar itu. Laporan hasil riset mereka dimanipulasi oleh pihak yayasan guna memberikan perlindungan hukum bagi perusahaan.
Agh Soo In Noona yang berjiwa relawan dan Hyun Woo Oppa yang siap menerjang badai demi menolong sang kekasih. Soo In akhirnya menyadari kekeliruannya berkat sang kekasih yang menjadi kuasa hukum warga ketika melawan pabrik. Mereka pun bekerja sama melawan industri kapitalis tersebut dengan menggunakan kemampuan dan keilmuan masing-masing.
Lah kok diriku malah jadi nulis sinopsis Love Story in Harvard. Maafkan diriku yang susah bangkit dari mantan, *eh drama ini maksudnya, wahai pemirsa yang budiman, bukan Budiman. J.
Selain drama di atas, ada juga drama Miss Hamurabi (2018) yang bercerita tentang idealisme para hakim muda dalam menegakkan keadilan, terutama di dalam institusi peradilan tempat mereka bekerja. Pada episode perdana, Anda sudah disuguhkan dengan kisah tokoh utama perempuannya melawan tindakan pelecehan di dalam kereta.
Ada satu adegan yang paling berkesan buatku, saat hakim senior (hakim ketua dalam majelis mereka) mengeritik rok mini yang dikenakan oleh Cha O Reum (hakim baru), besoknya ia datang mengenakan burka lengkap dengan cadar yang membuat heboh seisi kantor. Saat dikritik kembali oleh si hakim tua, Cha O Reum menjawab enteng, “bukankah pakaian tertutup yang Anda kehendaki?” (tepuktangan)
Selain kedua drama, masih ada Hospital Ship (2017), Gu Family Book (2013), The Great Queen Seondeok (2009), Jewel In The Palace (2004), While You Were Sleeping (2017), Something In The Rain (2018), Doctor Stanger (2014), Pinocchio (2015) dan lain-lain yang terlalu banyak untuk diingat dan disebutkan.
Paling teranyar, yang baru selesai kutonton beberapa bulan lalu adalah Romance Is a Bonus Book (2019), yang bercerita tentang romansa para pekerja di kantor penerbitan dengan cerita buku-buku yang mereka sukai.
Itulah sebagian daftar K-drama favoritku, yang menurutku tidak hanya soal romantisnya si Oppa atau Noona, tapi juga mengisahkan hal-hal yang absurd sekaligus nyata terjadi di sekitar kita. Seperti beberapa adegan dalam drama Something In The Rain yang mengisahkan para karyawan perempuan yang masih baru, dipaksa melayani makan dan karaoke sambil minum para atasan laki-laki mereka. Mereka juga kerap mendapatkan pelecehan saat itu.
Mungkin kesannya biasa bagi sebagian penonton karena hal itu memang sering terjadi dalam kultur tempat kerja yang misoginis. Tapi harusnya ketika itu dituliskan dan difilmkan dengan bumbu-bumbu pemberontakan, dapat menjadi motivasi bagi kita untuk tidak lagi mentoleransi hal-hal yang demikian. Bukannya dianggap biasa dan menjadi kebiasaan sebagai ekspresi pembuktian maskulinitas para lelaki.
Dalam banyak kasus pelecehan seksual, baik korban maupun pelaku, tidak menyadari posisinya. Korban mungkin merasa risih ketika dilecehkan, terutama secara verbal (aku paling sering mengalami hal ini), tapi dia tidak menyadari bahwa itu tindakan yang melecehkan dirinya, ada juga yang menyadari tapi terus mentoleransi, seperti “ah gak apa-apa, cuma dibilang perek doang, cuma dikatain udah gak perawan kok, masih untung daripada diperkosa!”.
Para pelaku juga umumnya tidak menyadari dan tidak mau sadar bahwa perilakunya atau kata-katanya itu sudah melecehkan korban. Masih banyak kok pelaku pelecehan yang memaki-maki tindakan pelaku lain yang dianggap lebih brutal atau buruk.
Sebenarnya panjang lebar aku menulis ini, poinnya adalah untuk memberikan dukunganku sebagai salah satu penggemar K-pop untuk para korban kekerasan seksual yang berani bersuara, termasuk bagi mereka yang menjadi korban dari para bintang K-pop maupun para petinggi di industri tersebut, yang beberapa bulan terakhir gerakan perlawanannya sedang menggema dengan tagar MeToo. Aku pribadi mengecam tindakan pelaku dan melaknat kultur yang masih menempatkan tubuh perempuan sebagai objek pemuas berahi.
Bahwa se-super duper guanteng apapun Oppa yang kita idolakan itu, kita tetap harus berusaha berlaku adil bagi korban dari kejahatannya. Ya, kenyataan mungkin tidaklah seindah K-drama, tapi bisa lebih dramatis ketimbang K-drama.
#MeToo