× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#OLAHRAGA

Saatnya Kita Juara

Preview Final Sea Games 2019: Indonesia vs Vietnam

Direktur LSM RORANO
Saatnya Kita Juara
Selebrasi syukur pemain Indonesia/foto CNN Indonesia

09/12/2019 · 15 Menit Baca

Akhirnya Tim Nasional Indonesia yang berisi sekumpulan anak muda itu mencapai partai final cabang sepak bola Sea Games Filipina 2019. Sebuah capaian yang fenomenal karena lahir dari perjuangan tak kenal menyerah di grup “neraka”. Mereka juga menghempas Myanmar dengan skor telak 4 – 2 di semi final yang mendebarkan. Saya sebut fenomenal karena langkah Indonesia “tak biasa”. Di fase grup neraka itu, Kita menyingkirkan juara bertahan Thailand, Singapura, Laos dan Brunei. Kita hanya kalah dari Vietnam–lawan yang akan kita hadapi lagi selasa malam di Jose Rizal Memorial Stadium dalam perebutan medali emas. 

Banyak berita media yang menyamakan langkah Indonesia dengan sukses meraih emas di 1987 dan 1991. Khusus 1991, ada yang mengaitkannya dengan mitos Manila. Kita juara di stadion yang sama 28 tahun lalu. Déjà Vu?. Ada pula pujian untuk tim yang disebut terbaik. Sukses Osvaldo Haay disebut sama dengan capaian Kurniawan DJ, bomber  top dengan delapan gol di dua edisi Sea Games yang kini jadi assisten choach Indra Sjafri. Indra sendiri disebut - sebut telah melebihi capaian Luis Mila. Lalu Evan Dimas Darmono jadi legenda karena bermain di tiga Sea Games dan selalu membuat gol.

Saya menyebut semuanya sebagai omong kosong. Sepakbola sebagaimana sejarah hanya ditulis dengan segala hormat untuk mereka yang menang. Yang jadi juara. Dan di titik ini, fokus kita seharusnya utuh 100 persen melawan Vietnam. 

Dalam sepak bola, ada hal hal prinsip yang patut dijaga. Poin pertama adalah tak boleh jumawa. Harus yakin tapi dilarang besar kepala. Tragedi AFF 2010 sebaiknya diputar ulang. Bila perlu rekaman tragedi ini ada di gadget tiap pemain lengkap dengan alat dengar di telinga. AFF 2010, Indonesia dengan banyak pemain bintang membungkam musuh bebuyutan Malaysia dengan skor telak 5–1 di fase grup. Gelora Bung Karno bergemuruh. Cristian Gonzales jadi idola. Orang ramai bahkan lupa jika Ia orang Uruguay yang baru berganti warganegara. Indonesia bikin 13 gol termasuk saat mengalahkan Thailand dan Laos di fase grup. Di semifinal, Timnas menyingkirkan Filipina melalui gol-gol Gonzales. 

Kita masuk final. Lawannya Malaysia yang secara meyakinkan jadi runner up grup dan menang atas Vietnam di semifinal. Skuad asuhan Alfred Riedl ini berangkat ke Malaysia untuk bermain pada leg pertama dengan optimisme tinggi. Orang ramai meyakini kita akan juara. Leg pertama tak dihitung. Kita akan main di GBK lagi pada leg kedua. Ini Venue yang sama saat kita membantai Malaysia 5–1. Di Stadion Bukit Jalil malam itu, tiga gol Harimau Malaya gagal dibalas Garuda. Kita kalah telak. Saat leg kedua, Indonesia hanya mampu menang 2–1. Dan pupus semua mimpi besar itu. Malaysia berpesta juara di GBK.

Analisa Statistik

Partai final melawan Vietnam adalah capaian ketujuh Indonesia di ajang Sea Games. Dari enam final sebelumnya, kita hanya dua kali juara. Tahun 1987 di Jakarta dan 1991 di Manila. Edisi empat kali final lainnya berakhir pilu. Kita kalah hanya dari dua negara. Thailand dan Malaysia. Tahun 1979 saat jadi tuan rumah, kita kalah dari Malaysia 0–1. Di Jakarta lagi tahun 1997, kita kalah dalam adu penalti dari Thailand. Kutukan adu penalti kembali terjadi dalam final Sea Games di Jakarta tahun 2011. Kali ini Malaysia yang membuat kita malu. Asa juara sempat muncul lagi tahun 2013, namun di final, kita lagi-lagi kalah dari Thailand.

Tentang Vietnam, sepanjang sejarah Sea Games, kita telah bertemu sebanyak 12 kali sejak tahun 1991. Hasilnya relatif imbang karena saling mengalahkan sebanyak lima kali. Indonesia menang di tahun 1991, 1993, 2001, 2005 dan 2011. Hanya di tahun 2011, kita unggul dua gol tanpa balas. Sisa empat kemenangan lainnya hanya dengan skor tipis 1–0. Sedangkan Vietnam menang di tahun 1995, 1999, 2003, 2005 dan terakhir di fase grup Sea Games 2019. Semuanya dengan skor tipis satu gol kecuali kemenangan besar dengan lima gol tanpa balas di tahun 2005. Dua partai sisanya berakhir imbang di tahun 1997 dan 2017. Jika melihat statistik ini maka kedua tim sejatinya imbang. 

Park Hang-Seo, pelatih Vietnam asal Korea menilai final kali ini ideal. Ia bahkan sangat respect pada Indonesia. Park memuji kolektifitas dan skill individu pemain Timnas. Tetapi itu bukan jaminan bahwa kita unggul. Tahun ini, di kualifikasi Piala Asia U-23, Indonesia dengan tim yang nyaris sama juga kalah 2–1 dari Vietnam. Namun melihat performa Osvaldo Haay dkk selama bermain di Manila, saya meyakini kita akan bisa merebut emas. Jika berbasis sejarah, skornya akan tipis. Tak lebih dari dua gol. Apa dasarnya?. Dari sisi ofensive, kita membuat 21 gol sepanjang Sea Games ini. Ini rekor baru Timnas untuk berbagai event internasional yang pernah diikuti. Kita bisa bikin banyak gol karena rotasi pemain depan sangat cair. Sulit diantisipasi lawan. Defensive kita juga sangat baik, hanya kebobolan empat gol. Dari enam pertandingan, empat diantaranya menang dengan cleansheet

Memang statistik ini juga sama persis dengan Vietnam. Tetapi nilai plus skuad besutan Indra Sjafri adalah produktifitas gol yang merata. Ada sembilan pemain yang sejauh ini sudah bikin gol. Terbanyak adalah Osvaldo Haay dengan delapan gol. Artinya, di starting eleven yang reguler hanya dua posisi pemain yang belum bikin gol. Full back kiri Firza Andika dan Doddi Djin serta dua Defensive Mildfielder (DM) Zulfiandi dan Syahrian Abimanyu. 

Tiga pemain depan kita - Osvaldo, Egy dan Saddil – sudah bikin 14 gol. Fakta ini tambah mengerikan jika dihitung dengan kontribusi Evan Dimas, Sani Rzky dan Witan yang sudah bikin empat gol. Sangat produktif. Tiga full back kita juga sudah masuk scoresheet. Di kubu lawan, sembilan pemain mereka juga bikin gol. Terbanyak adalah Ha Duc Chinh dengan 8 gol diikuti Nguyen Tien Linh dengan 6 gol. Dua pemain ini sangat dominan. Mereka penyerang. Sisa gol lainnya datang dari barisan gelandang. Namun statistik selama game play berpihak pada Indonesia. Poin kedua dalam sepakbola. Kolektifitas kita lebih baik. Kerja sama tim boleh sama dengan Vietnam, namun saat duel satu lawan satu, pemain kita unggul. Skill individu Indonesia lebih trengginas. Banyak pemain pula.

Taktikal dan Fokus

Ada pelajaran penting yang didapat choach Indra Sjafri saat kalah di fase grup dari Vietnam. Kita sempat unggul di babak pertama lewat gol dari Sani Rizky. Tetapi respons yang lambat dan memberi Vietnam keleluasan untuk menyerang berbuah petaka. Dengan formasi 3-4-3, Vietnam akan nyaman menekan jika pemain Indonesia hanya menunggu di sepertiga lapangan sendiri. Buktinya, gol penyeimbang lahir di babak kedua melalui kepala Nguyen Than Cung memanfaatkan set peace dari sepak pojok. Lalu tendangan keras Nguyen Hoang Duc di masa injury time menghukum Indonesia. Dua gol ini seharusnya tidak terjadi jika ada pergantian pemain untuk mendukung taktik bertahan sambil mencari celah serangan balik cepat. 

Di babak kedua yang tersisa 30 menit, seharusnya salah satu DM yang punya kemampuan “berkelahi” dan merusak ritme lawan seperti Rahmat Irianto atau Syahrian Abimanyu sudah masuk. Biar kinerja lini tengah jadi seimbang. Zulfiandi memang DM jempolan. Kemampuan menjaga kedalaman dan mengatur ritme sangat baik. Passingnya juga akurat. Namun ia bukan tipikal perusak. Gol Nguyen Hoang Duc terjadi tanpa blocking sama sekali. Kelengahan ini juga terjadi saat partai semifinal. Secara taktikal tak ada pergantian pemain di lini tengah. Hanya Zulfiandi yang dibiarkan bekerja sendirian. Evan dan Sani Rzky bermain jauh di depan. Padahal kita sudah unggul dua gol. 

Antisipasi setpiece dan tendangan dari luar area 16 meter harus jadi fokus Indonesia. Ini senjata utama Vietnam. Jangan lupa pula statistik Vietnam yang doyan bikin gol saat laga tersisa 10 menit. Karena itu, Timnas tak boleh bikin kesalahan. Sekecil apapun. Akan lebih aman jika Timnas  memainkan dua DM entah dengan Zulfiandi sebagai starter ditemani Rahmat Irianto atau Syahrian Abimanyu. Dua pivot ini akan meredam lini tengah Vietnam yang dihuni empat pemain agar tak bebas berkreasi. Jangan lupakan fakta bahwa gelandang-gelandang Vietnam semuanya telah mencetak gol. Jika lini tengah aman, Evan Dimas bisa memaksimalkan perannya sebagai playmaker sekaligus pemecah kebuntuan di belakang Osvaldo. Naluri Evan dalam mencetak gol dan selalu muncul dari second line perlu dieksplor. Dua golnya saat membungkam Myanmar adalah bukti bahwa Evan sangat berbahaya jika hanya fokus menyerang dan tak terbebani urusan bertahan. 

Di depan, urusan mencetak gol tetap ada pada pundak Osvaldo, Saddil Ramdani dan Egy Maulana Vikri. Jika Egy belum fit, Sani Rizki bisa dipercaya. Polisi ini punya semangat juang dan daya jelajah yang luar biasa plus skill  bola mumpuni. Witan Suleman juga layak dipercaya mengganti posisi Egy. Pilihan taktikal jadi diskresi penuh Indra. Feel saya, jika bermain, Witan akan jadi pembeda dan menentukan hasil akhir partai final ini. Anak muda ini belum sepenuhnya “dikenal” lini pertahanan Vietnam. Kecepatan dan akselerasinya juga di atas rata-rata.

Memang ada senjata Vietnam lainnya yang patut diwaspadai yakni penyerang Ha Duc Chinh. Top skor sementara ini tak bermain saat Indonesia kalah dari Vietnam di fase grup. Kualitasnya belum diukur kuartet pertahanan kita. Namun dengan 3-4-3, akan sulit bagi Park Hang-Soe memainkan Ha Duc Chinh secara bersamaan dengan penyerang tajam lainnya, Nguyen Tien Linh. Jika dipaksapun maka keseimbangan tim akan hilang. Sektor gelandang yang selama ini dominan akan berkurang karena harus mengakomodir salah satu penyerang agar bermain bersama. 

Di partai final ini. Indonesia tak boleh bermain bertahan sama seperti di fase grup. Vietnam harus ditekan. Ciri khas pendek merapat tetap dimainkan dengan determinasi dan kecepatan. Jaga fokus. Jarak antar pemain tak boleh jauh baik saat menyerang maupun bertahan. Ini poin ketiga kita. Transisi bertahan ke menyerang dan sebaliknya harus berjalan secara kolektif. Sekali lagi jangan memberi ruang bagi Vietnam untuk melepas tendangan dari luar kotak penalti. Terlalu beresiko. Jika Firza Andika belum sepenuhnya bugar. Posisi full back kiri lebih aman ditempati Bagas Adi. Duet center back bisa dipercaya pada sang kapten Andy Setyo dan Nurhidayat Haji Haris. Eksploisitas Asnawi Mangkualam Bahar di full back kanan juga jadi senjata. Kiper Nadeo masih yang terbaik. Jika ada pertimbangan taktikal, Mohamad Riyandi juga punya kualitas yang sama.  

Mentalitas Pemenang

Ada banyak cerita comeback yang fenomenal di sepak bola. Tergantung perspektif kita yang memujanya. Ada dua final Liga Champions yang terus diingat sampai hari ini. Final Camp Nou 1999 antara Manchester United vs Bayern Muenchen yang secara tidak masuk akal dimenangkan MU dalam waktu kurang dari dua menit di masa injury time. Ada juga Final Istambul 2005 antara Liverpool vs AC Milan yang juga secara ajaib dimenangkan Liverpool yang lebih dulu tertinggal 3 - 0. Benarlah kata Seep Herberger, pelatih Jerman Barat saat juara dunia 1954 bahwa sepakbola itu pertandingan 90 menit. Sepanjang peluit akhir belum ditiup maka segalanya bisa terjadi. 

Di tahun ini juga, ada dua comeback sensasional yang terjadi di Liga Champions Eropa. Yang pertama tentu kisah Liverpool yang membalikkan ketertingalan 3-0 dalam leg pertama di Champ Nou. Saat Lionel Messi dkk datang ke Anfield, dunia sudah tahu jika mereka akan menyaksikan Barcelona di partai final. The Reds meski bermain di kandang sendiri tetap tak dihitung. Apalagi tanpa Mohamad Salah dan Roberto Firmino. Lalu dua pemain yang jarang tampil bikin beda. Brace Divock Origi dan Georginio Wijnaldum membuat Messi dkk takluk empat gol tanpa balas.  Skuad Jurgen Klopp ke final dan akhirnya juara.

Di kompetisi yang sama tahun ini, Ajax Amsterdam juga bikin comeback luar biasa. Jika banyak cerita comeback terjadi saat bermain di kandang sendiri setelah sebelumnya kalah di kandang lawan, Ajax melakukan sebaliknya. Saat leg pertama babak 16 besar, Madrid menang 2-1 di Amsterdam Arena. Para pundit dan bandar judi memilih Madrid sebagai semifinalis yang akan bersua Tottenham Hotspurs. Dasarnya logis. Leg kedua akan mentas di Estadio Santiago Bernabeau. Lalu bak dongeng, gol Hakim Ziyech, David Neres, Dusan Tadic dan Lasse Schone membuat tim dengan banyak koleksi si kuping besar ini malu di rumah sendiri.  

Sepakbola bukan hitungan matematis. Serba excel. Secara teori, ada banyak kemungkinan. Aspek taktikal, keunggulan materi, pengalaman bertanding, head to head bolehlah dijadikan asumsi. Tapi penentuannya ada di lapangan. Ada di hati dan kepala tiap pemain yang sebelas orang itu. Merekalah aktor utama yang menjalankan semua arahan pelatih. Menjaga asa dan mimpi masyarakat. Jika punya hasrat menang. Apapun bisa mereka lakukan. Kita berharap kehormatan dan harga diri jadi pelecut. Osvaldo Haay dkk sempat diremehkan. Tapi harga diri dan nasionalime membuat mereka bermain full preasure. Kualitas individu pemain juga di atas rata rata. Nyaris sama dari belakang hingga depan. Ini poin keempat kita. So, bikin comeback Boys.

Saya ingin berbagi sebuah kisah menggetarkan dalam sejarah sepakbola dunia sebagai penyemangat. Tahun 1950, saat semua negara belum sepenuhnya pulih akibat Perang Dunia II, FIFA coba yakinkan publik dunia bahwa sepakbola adalah alat pemersatu. Pemicu kebangkitan bersama. Dan Piala Dunia mesti digelar lagi. Mestinya tahun 1949 dilaksanakan. Tetapi Brazil, satu satunya negara yang bersedia menggelar ajang empat tahunan ini belum siap dan minta diundur setahun. Saat Piala Dunia tergelar, seantero Brazil sangat yakin tim samba akan juara di kandang sendiri. Sejak fase grup, Brazil tak terkalahkan. Jogo bonito begitu dominan.

Di fase final four, Brazil lolos bersama Spanyol, Swedia dan Uruguay. Sistimnya setengah kompetisi tanpa partai final. Brazil memenangkan dua laga awal saat menghadapi Spanyol dan Swedia. Di sisi lain, Uruguay juga sekali menang dan sekali seri. Tuan rumah memimpin final four itu dengan nilai empat. Uruguay tiga. Saat itu, tim pemenang hanya dapat nilai dua. Penentuan juara ada di partai terakhir. Brazil vs Uruguay. Samba cuma butuh seri untuk juara. Publik Rio sudah berpesta jauh sebelum pertandingan. Banyak spanduk berisi ucapan selamat dipasang. Harian O Mundo bahkan memasang foto tim Brazil di halaman depan dengan caption “Inilah Sang Juara Dunia”. 

Estadio Maracana dipadati 200 ribu penonton. Sebelum sepak mula, Walikota Rio dengan pengeras suara mengucapkan selamat. "Kalianlah juara Dunia!!. Lalu balon-balon bertuliskan Viva O Brazil dilepas ke udara. Maracana bergemuruh. Takutkan Uruguay?. Di kamar ganti pemain, kapten tim Obdulio Varela mengambil koran O Mundo lalu dikencingi. Tindakan ini diikuti semua pemain. Mereka merasa dihina. Tak mau kalah. Ini soal harga diri bangsa. Lalu mereka melawan  tak hanya sebelas pemain tapi seisi Maracana yang 200 ribu itu. Saat mulai bermain, laga sepertinya jadi milik Brazil yang memimpin 1-0. Bahkan saat kedudukan menjadi 1-1, keyakinan juara tak pergi.

Hingga di ujung laga. “Ghiggia membawa bola dari lapangan tengah,  berlari…berlariiii..terus berlari. Dia menendang dan gooll. Gol untuk Uruguay? Gol untuk Uruguay?. Reporter radio O Globo Luiz Mendez yang tengah bersiaran langsung mengulang hingga enam kali kalimat, Uruguay mencetak gol? Lalu setelah itu sunyi. Dan sejarah kemudian menulis dengan pilu tangisan tak hanya 200 ribu yang di Maracana tapi di seantero negeri. Antropolog Nelson Rodriquez menyebut tragedi Maracana lebih menghancurkan dibanding bom atom yang meratakan Hiroshima dan Nagasaki. 

Efek dari kekalahan itu adalah tidak lagi dipakainya jersey putih yang digunakan tim Brazil saat kalah itu. Selamanya. Diganti dengan jersey kuning biru yang ada sekarang. Penjaga gawang Moa Barbosa juga jadi “terpidana”. Sejak 1950 itu, Brazil tak lagi memakai penjaga gawang berkulit hitam. Ini bertahan puluhan tahun hingga Dida menjadi penjaga gawang di tahun 2006. Saya tak ingin fokus kita pada tragedi Maracana karena Jerman juga menghancurkan Samba lebih dahsyat di rumah sendiri pada semifinal Piala Dunia 2014. Skor milenialnya 7-1. Dan Jerman juara di benua Amerika Latin.

Fokus kita dan juga Osvaldo Haay dkk sebaiknya meniru sikap dan semangat menolak menyerah yang ditunjukkan Obdulio Varela dkk. Jangan pernah berhenti berjuang sebelum peluit akhir berbunyi. Mentalitas kita adalah pemenang. Tak boleh takut. Kita belum juara dan kita mesti berperang untuk merebutnya. Fokus Timnas sepenuhnya pada laga final ini. Lupakan prestasi di fase grup dan semifinal. Hapus semua statistik luar biasa yang dibuat selama Sea Games ini. 21 gol dan hanya empat kebobolan tak punya arti apapun jika medali emas lepas.

Bermainlah seperti Uruguay. Bermainlah untuk sesuatu yang diyakini sebagai kehormatan. Yakinlah kawan, Selasa malam ini, lebih dari 200 juta orang bersama Timnas. Balas kekalahan kita. Gemuruhkan Manila. Indonesia sepenuhnya ada bersama kalian.


Share Tulisan Asghar Saleh


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca