× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#HUMANIORA

Krisis Literasi, Efek Kreatif Sebelum Bernalar (2)

Influenser dan buzzer kini menggeser nilai kebenaran dari objek ke subjek.

Metafisikawan
Krisis Literasi, Efek Kreatif Sebelum Bernalar (2)
Foto: Pixabay

14/12/2019 · 3 Menit Baca

Pada bagian pertama sudah disinggung sebenarnya apa hal-hal paling prinsip dalam literasi baik itu literasi digital atau literasi lain. Inti dari semua persoalan tersebut adalah pemahaman atau bagaimana individu memahami sebuah persoalan. Jika di dunia maya bagaimana seseorang memahami apa yang dilihatnya.

Sementara untuk mencapai sebuah pemahaman dalam arti pengetahuan yang benar seseorang harus menggunakan alat yang disebut logika. Jika tidak melalui proses tersebut bisa dipastikan pemahaman orang tersebut ngawur karena terjebak dengan kesalahan berpikir.

Pengetahuan atau ilmu dalam logika merupakan bahasan terpenting, karena hal itu merupakan aspek utama untuk bisa dikatakan seseorang menjadi manusia. Karena sangat jelas yang membedakan hewan dan manusia adalah pikiran. Sementara pikiran pada hasil akhirnya adalah pengetahuan. Untuk apa kita berpikir jika pada ujungnya adalah ketidaktahuan?

Para ahli logika mendefinisikan pengetahuan adalah gambaran tentang sesuatu di dalam benak atau akal. Hanya ada dua kondisi yang kontradiktif dalam akal manusia yakni "Tahu" atau "Tidak Tahu". Dan kedua hal kontradiktif tersebut mustahil ada dalam satu waktu di dalam benak. Jika salah satunya ada, maka lenyap yang lainnya, begitu sebaliknya. Karena hukum kontradiktif secara pasti berlaku.

Dalam hal ini penilaian paling mendasar tentang sesuatu adalah benar atau salah. Masyarakat digital saat ini cenderung mereduksi nilai-nilai kebenaran terhadap sebuah data menggunakan emosi. Benar atau salah dianggap sebagai sebuah rasa dan bukan hasil dari olah logika.

Misalnya, ketika seseorang melihat video kecelakaan yang beredar di media sosial dengan menampilkan para korban yang tergeletak, muncul pertama kali dalam benak adalah kengerian, kasihan, miris, ketakutan atau apapun gejolak emosi lainnya yang sama sekali tidak berhubungan dengan logika. Orang-orang yang terperangkap jauh ke dalam luapan emosional, tak lagi peduli dengan kebenaran video yang beredar tersebut.

Menurut Ibnu Sina dalam karyanya As Syifa, dikatakan bahwa kebenaran erat kaitannya dengan kualitas pengetahuan seseorang. Pengetahuan yang tidak mendalam, dapat mempengaruhi kualitas kebenaran yang diperoleh. Kebenaran yang demikian akan sangat mungkin didikte oleh subjektifitas.

Jika berkaca pada bapak rasionalis barat, Descartes memberikan solusi tentang pengetahuan. Menurutnya pengetahuan dalam artian kebenaran adalah keyakinan yang berdasarkan pada alasan kuat dan tak tergoyahkan. Caranya, adalah dengan meragukan semua pengetahuan. Keraguan harus menjadi renungan pertama untuk mencapai tujuan pengetahuan.

Pada dasarnya, persoalan keraguan atas kebenaran atau mempertanyakan klaim keabsahan kebenaran masuk dalam terma skeptisisme dalam filsafat. Skeptisisme merupakan sikap kritis mempertanyakan klaim-klaim tersebut sehingga argumentasi-argumentasi lahir dengan tujuan membabgkitkan keraguan. Dapat pula diartikan keraguan merupakan reaksi negatif dari keabsahaan pengetahuan.

Seorang teosof muslim Al-Ghazali misalnya, dalam perjalanan dirinya hingga menjadi seorang sufi, bahkan dianggap pernah menganut skeptisisme. Saat-saat dirinya mempelajari filsafat bahkan dia diklaim pernah mengkari seluruh pengetahuan yang diperolehnya dari jalan doktrin. Namun proses tersebut dinilai sebagai proses pembentukan kembali keyakinan.

Al-Ghazali bahkan dinilai pernah mengingkari pengetahuan yang telah diperolehnya, kecuali dalam tiga hal, yakni dasar agama, Tuhan, Rasulullah, dan kiamat. Selain itu Al-Ghazali juga tidak meninggalkan pengetahuan-pengetahuan yang apriori dan swabukti. Hingga akhirnya kemudian Al-Ghazali membangun kembali, mampu mencapai sebuah keyakinan yang tak tergoyahkan dan memasuki epistemologi tasawuf.

Istilah pengetahuan ataupun pemahaman kerap dipersamakan dengan kata idrak atau dalam bahasa Indonesia disebut persepsi. Sementara persepsi sendiri memiliki sejumlah definisi. Pertama, kemencakupan menyeluruh terhadap sesuatu. Kedua, pemahaman jiwa rasional terhadap sebuah bentuk. Ketiga, konsepsi realitas sesuatu tanpa negasi.

Untuk itu, persoalan literasi digital yang saat ini dianggap sebagai krisis, pada dasarnya terdapat hal utama yakni terkait dengan pergeseran nilai kebenaran.

Mayoritas netizen dunia maya telah menggeser nilai kebenaran (apa) yang seharusnya bebas dan merdeka dari (siapa). Saat ini warganet cenderung meyakini kebenaran sosok ketimbang materi yang disampaikan. Alhasil, tiap tokoh kerap dipandang hanya putih dan hitam atau benar dan salah dan hanya memiliki hal-hal yang bersifat kontradiksi. Padahal, mustahil manusia seluruhnya salah atau seluruhnya benar.

Fenomena ini yang kemudian menjadi implikasi terbentuknya istilah influencer, selebgram, youtuber atau bahkan yang disebut buzzer. Mereka kemudian dianggap benar dan menciptakan benchmark terhadap sebuah produk, materi, atau apapun dalam segala lini kehidupan. Dengan kata lain, seorang influencer kuliner atau food reviewer yang memiliki berjuta-juta follower mampu menjadikan sebuah kuliner pinggir jalan terasa memiliki cita rasa tinggi, meskipun hanya menyajikan telur ceplok.

Dengan kondisi tersebut, yakni pergeseran nilai kebenaran objektif menuju kebenaran subjektif, pengelola negara harus melihat literasi bukan hanya dari persoalan materi atau bagaimana membuat warganet memahami sesuatu yang dilihatnya di internet. Pengelola negara juga harus mempu menggeser literasi personal sehingga mampu dianggap benar oleh para folllower.


Share Tulisan Achmad Kirin


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca