× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#HUKUM

Menyandarkan Keadilan dengan Cinta dan Spiritualitas

Manusia cenderung memandang hukum sebagai solusi atas keadilan.

Metafisikawan
Menyandarkan Keadilan dengan Cinta dan Spiritualitas
Foto: Pixabay

20/12/2019 · 3 Menit Baca

Keadilan bukan hal yang asing bagi sejarah kehidupan manusia. Bahkan, orang sekarang dinilai menggeser makna keadilan yang menitikberatkan kepada hukum. Hukum berjalan di depan ketimbang keadilan itu sendiri. Keadilan selalu dipandang harus melalui forma-forma yang mesti disepakati sebuah komunitas masyarakat. Bahkan mayoritas kepala manusia saat ini, cenderung memandang hukuman sebagai satu-satunya cara mencapai keadilan.

Berbicara keadilan, ada sebuah gagasan yang sudah diterapkan di beberapa negara, bahkan dalam kasus tertentu pola tersebut sudah diterapkan, yaitu Keadilan Restoratif (Restoratif Justice). Konsep pendekatan restoratif merupakan suatu perkembangan dari pemikiran manusia yang berdasarkan pada tradisi-tradisi peradilan, penciptaan kedamaian, pemulihan kerusakan atau penggantian kerugian, sistem peradilan kekerabatan, yang merupakan sebagai sumber dari konsep dasar pendekatan restoratif.

Dalam jurnal yang berjudul Pemaafan dan Restorative Justice Dalam Perkara Pidana di Indonesia, Nova J. Rumengan, mengatakan Restorative Justice yang belakangan ini mulai dikembangkan dalam praktek perkara pidana untuk kesepakatan saling memaafkan (Pemaafan), antara korban, pelaku yang diprakarsai oleh penegak hukum. Bahwa pendekatan Restorative Justice sangat berperan sebagai jembatan perdamaian di antara para pihak, memberikan perlindungan atas segala derita dan kerugian akibat perbuatan pidana, baik dalam arti korban langsung, maupun korban tidak langsung, menghindarkan pelaku kejahatan dari sanksi pokok yang berat dan menghindarkan Negara mengeluarkan dana lebih banyak untuk menanggulangi kejahatan.

Dalam prinsip praktisnya, Keadilan Restoratif mengharuskan sejumlah pihak berperan aktif. Partisipasi sukarela para pemangku kepentingan dalam menentukan tindak lanjut setelah terjadinya kesalahan (pelanggaran). Jennifer Larson Sawin, Howard Zehr menjelaskan, pemangku kepentingan tersebut di antaranya korban, pelaku (pelanggar), komunitas, negara, dan fasilitator. 

Sementara, itu terkait akar spiritual Keadilan Restoratif, bahwa tema sentral Kekristenan adalah cinta dan tema sentral Islam adalah keadilan. Sudut pandang Barat atau Kristen dalan dikotomi ini tampaknya sangat berbeda. Menurutnya, sama seperti konsep cinta dalam agama Kristen yang meresap dan penuh dengan berbagai makna dan misteri, begitu juga konsep keadilan dalam Islam. Namun keadilan hukum dalam Islam secara erat terkait dengan agama, karena keduanya adalah ekspresi kehendak Tuhan. Tujuan akhir dari hukum adalah untuk memenuhi keadilan. Dengan demikian, dalam teori hukum Islam, hukum dan keadilan dan syariat dianggap menjadi bagian dari hukum yang sepenuhnya bersebelahan dengan keadilan, karena Al-Quran mewakili keadilan Ilahi.

Konsep Keadilan Restoratif dengan keadilan dalam Islam terkait yurisprudensi Islam erat dengan konsep martabat manusia dan konsep komunitas atau umat. Kedua konsep tersebut dinilai sangat penting bagi hukum Islam pada umumnya, dan hukum pidana Islam khususnya. Kedua konsep ini juga merupakan nilai yang ditekankan dalam Keadilan Restoratif. Martabat manusia adalah nilai dalam yurisprudensi Islam yang diasosiasikan pada hak asasi manusia. Dalam hukum Islam, keberadaan komunitas dalam konflik kejahatan menjadi bagian penting. Negara dibedakan dari komunitas, meskipun ia memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi masyarakat yang adil dan damai.

Dalam hukum pidana Islam, pengampunan sangat ditekankan, meskipun baik korban maupun negara tidak diberi wewenang untuk mengampuni para pelaku kejahatan yang telah dijatuhi hukuman. Dalam kasus hadd, individu dan komunitas yang juga didorong untuk mengampuni pelaku dan melakukan belas kasihan dalam konteks qisas.

Dalam Handbook of Restorative Justice A Global Perspective, Michael L. Hadley menulis bahwa Keadilan Restoratif adalah akar proses transformasi spiritual yang mendalam tentang orang, situasi, dan bahkan institusi. Keadilan Restoratif menggambarkan nilai-nilai spiritual yang menjawab kebutuhan manusia secara holistik, untuk mengembalikan ikatan moral masyarakat. Menurutnya, secara historis, hubungan antara hukum dan agama sangat dekat. Misalnya, dalam Torah dari Alkitab Ibrani sebagai jalinan agama dan hukum yaitu agama yang dipahami terutama dalam kategori hukum, atau sebaliknya, begitu pula dalam tradisi Hindu dan Islam.

Konsep spiritualitas dalam praktik Keadilan Restoratif diakui sebagai hal penting namun sering bias dan dipahami secara samar. Sembilan komponen spiritualitas dalam Keadilan Restoratif tersebut di antaranya; transformasi, keterhubungan atau kepemilikan, ikatan kemanusiaan, pertobatan, pengampunan, perbuatan benar, harmonisasi, ritual, dan fenomena spiritual yang tidak dapat dijelaskan. Konsep hubungan antara spiritualitas dan Keadilan Restoratif memberikan fasilitator lebih banyak alat untuk memperdalam interaksi korban, pelaku dan anggota masyarakat.

Keadilan Restoratif memiliki komponen spiritual karena dipandang sebuah prinsip universal yang berada di luar kendali individu. Misalnya, keterkaitan kita sebagai manusia. Prinsip-prinsip ini mewakili realitas obyektif (natural) yang tidak dapat diubah atau seperangkat aturan yang berada di luar kita, yang pada akhirnya mengatur perilaku kita. Zehr berpendapat bahwa Keadilan Restoratif, sama bergantung pada prinsip-prinsip yang tidak terkait dengan satu ideologi atau agama tertentu, tetapi malah mewakili prinsip universal tentang interaksi manusia. Keadilan Restoratif pada dasarnya bersifat spiritual. Keadilan Restoratif dan fenomena spiritualitas, saling terkait erat.

Oleh karena itu, komponen spiritual melekat pada Keadilan Restoratif dan religiusitas. Spiritualitas didefinisikan sebagai penghormatan untuk kehidupan, religiusitas didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan, nilai-nilai, dan praktik yang didasarkan pada ajaran seorang pemimpin spiritual yang secara formal terstruktur atau dilandasi secara institusional. Studi yang digagas Ted Grimsrud tersebut berusaha menggali beberapa komponen agama di bawah payung spiritualitas. Menurutnya, hubungan antara keyakinan agama, khususnya dalam pandangan orang-orang di Barat telah memandang Tuhan dan praktik peradilan pidana retributif sudah sangat mendalam. Tuhan dipahami sebagai dasar bagi praktik-praktik kemanusiaan yang menimbulkan rasa sakit bagi manusia yang dinyatakan bersalah, melanggar sebuah aturan dalam komunitas. 

Teologi retributif ini mendominasi pandangan dunia Barat pada Abad Pertengahan dan membentuk dasar-dasar praktik peradilan pidana yang mulai dilembagakan selama waktu itu. Pemahaman Alkitab tentang keadilan lebih mengarah ke restoratif, daripada keadilan retributif. Keadilan harus mengarah pada hukuman, seperti pemulihan hubungan dan menumbuhkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Dalam penelitian tersebut, Grimsrud mempersoalkan sistem peradilan pidana yang dinilai menangani persoalan korban dan pelaku tanpa mengedepankan cinta. Karena manusia tidak bisa ditangani tanpa cinta. Oleh sebab itu, Cinta dipandang sebagai hukum dasar kehidupan manusia. 

*Diolah dari makalah kuliah "Fondasi Spiritual Keadilan Restoratif". Magister Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra Jakarta.


Share Tulisan Achmad Kirin


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca